Epilog

135K 5.6K 183
                                    

Hidup itu seperti berjudi.
Kalau kamu masih memegang sebuah koin di tanganmu, maka harapan itu masih ada.

Sama seperti kita saat ini.
Aku hanya bisa bertaruh dengan takdirku dan takdirmu.
Dan Janin yang ada di rahimku, itu seperti koin di meja judi.
Kehadirannya seakan memberiku harapan kalau suatu saat takdir akan mempertemukan kita.
Atau malah aku akan kalah bertaruh meskipun sudah memiliki koin harapan denganku.

Tidak ada satu orangpun yang tahu kemana takdir akan membawa kita nantinya.
Sama seperti pertanyaan mengenai kapan kamu akan sadar dari komamu. Setahun? Dua tahun? Tiga tahun? Atau kamu tidak akan pernah sadar sama sekali?

Al...
Aku takut kalau penantian lama itu akan membuatku melupakan dirimu.
Melupakan wajahmu.
Bahkan melupakan namamu.
Nama dari ayah calon bayi kita.

Tapi aku berjanji padamu, meskipun aku tahu yang kulakukan dengan menulis surat ini, atau berjanji entah dihadapan siapa ini terlihat sia-sia.
Tapi aku berjanji dengan segenap hatiku, aku akan menjaga anak kita, bukti cinta kita.

Kelak kalau sudah besar dan takdir memang tidak membawa kita untuk bersama, aku akan menceritakan tentang seberapa hebat ayahnya, seberapa setia kawan dan penyayang ayahnya. Aku akan menceritakan semua tentangmu yang masih tersisa di kepalaku nantinya.

Apa kamu percaya aku sedang tertawa saat ini? Aku tertawa memikirkan apa yang akan terjadi padaku kalau saja malam itu aku tidak memaksamu menyentuhku hingga menghasilkan janin di rahimku sekarang.

Dengan keadaanmu yang koma, apa aku bisa bertahan dengan tidak adanya kehadiranmu bersamaku?

Tapi janin di kandunganku adalah bukti kalau sebagian dari dirimu, ada bersamaku. Dia menguatkanku. Dan aku yakin, saat besar nanti, anak kita akan tumbuh menjadi sosok yang bertanggung jawab dan pengertian hanya dengan melihat bagaimana anak kita menguatkanku disaat aku terpuruk dan bersedih.

Al...
Al...
Al...

Aku tahu kamu tidak mempercayai takdir.

Kamu juga tidak mempercayai prakata
Mengenai pertemuan pertama adalah sebuah kebetulan, pertemuan kedua adalah kepastian, dan pertemuan ketiga adalah takdir.

Tapi aku mempercayainya.
Hanya saja... apa aku seberuntung itu bisa bertemu lagi denganmu untuk ketiga kalinya? Entah lah...
Kalau memang suatu saat kita bertemu lagi, apakah boleh aku menyimpulkan kalau kita memang--

"Apa yang kamu lakukan?" Suara seorang perempuan mengagetkan Alvero yang tengah serius membaca secarik kertas di meja kerjanya.

Dengan cepat Alvero melipat kertas lusuh yang sudah sering di buka dan di lipat kembali itu dan menyembunyikannya di balik map kerja.

"Tidak ada." Jawab Alvero sambil memamerkan deretan gigi putihnya. "Anak-anak sudah tidur?" Tanya Alvero mengalihkan pembicaraan.

"Sudah. Alexis juga sudah minum obat penurun demamnya." Jawab Perempuan itu sambil berjalan mendekati Alvero yang masih duduk di meja kerjanya. "Dan ini waktunya untuk aku menidurkan bayi besar ini."

Alvero tertawa saat Perempuan itu menggodanya sambil mengalungkan lengannya di leher Alvero.

"Apa yang sedang kau baca? Dongeng baru?" Tanya Perempuan itu yang ternyata masih penasaran.

"Hanya beberapa berkas." Bohong Alvero. Tapi sepertinya perempuan itu tidak percaya.

Sudah sebuah kebiasaan kalau mereka tidak bisa membohongi masing-masing.

Fated! [#DMS 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang