Part 6-3

45 3 0
                                    

Angin berhembus kencang, bulu kudukku seperti terangkat semua.
Udara disini begitu dingin, kuperkirakan suhu disini -14˚c
Sekali lagi aku katakan disini begitu dingin.
Aku melihat jam tanganku. Tidak terasa ini sudah dua jam berlalu.
Tetapi, aku dan willy janskey belum begitu mabuk.

"Dania, kau mau minum lagi?" Tanyanya menyadarkan aku yang sedang menatap pemandangan yang gelap gulita.
"Tidak, terima kasih." Jawabku menolak dengan halus.
"Baiklah.." dia juga menatapku sambik tersenyum manis dengan bibirnya.

Bibir yang pernah menciumku.
Kataku dalam hati. Lalu menatap kembali kesekeliling tempat itu.
Aku menatap langit, ada cahaya bulan. Bukan bulan sempurna. Tapi hanya setengahnya.
Membentuk lengkungan yang indah.

"Willy.." panggilku lalu dia menatapku dalam.
"Ehmm" alisnya sekarang terangkat.
"Bagaimana di paris? Apa menyenangkan? Emm, kau ada pekerjaan disana cukup lama ya?" Tanyaku lalu meminum sisa wine yang ada digelasku.

"Tidak juga." Lalu dia menatap kearah ujung kakinya. Akupun mengikuti arah pandangannya.
"Lalu?"
"Kau tau tidak," kini lingkaran mata berwarna biru itu menatapku. Jantungku ikut berdebar saat mata itu menatapku tanpa kedip.

Buru-buru aku melempar pandanganku.
"Kau tau, paris tidak seperti yang semua orang bilang padamu. Itu bohong paris begitu menyakitkan."
Nada suaranya berat. Seperti ingin menangis. Kepalanya juga ikut menggeleng sambil berkata.
"Paris? Kota romantis?"
"Bukankah itu benar?" Aku mengerutkan dahiku. Dan memberanikan mataku bertemu dengan matanya yang begitu indah.
Biru. Biru laut.

"Dulu aku memiliki kekasih, seorang model. Dia berkewarga negaraan paris." Jelasnya, terdiam sejenak.
"Teruskanlah." Kataku sambil menatap langit yang diterangi bintang dan bulan sabit yang indah.
"Hubungan kami begitu romantis, begitu indah. Sampai tuhan tidak menyukai itu.."

Sepontan aku melihat kearahnya.
"Kalian berkeyakinan beda?"
"Bukan, bukan itu." Katanya lalu melanjutkan perkataannya.
"Namanya nataly, hubungan kami memang tidak pernah terbuka. Seperti selebriti yang lain."
Suara willy semakin lemah.
"Kalau kau tidak sanggup, jangan diteruskan." Pintaku yang menyadari pria yang ada disampingku hampir saja meneteskan air mata.

"Baiklah, nataly punya penyakit seperti anak kecil itu?"
"Siapa?"
"Micell.." jawabnya singkat.
"Lalu bagaimana hubungan kalian?"
"Nataly, wanita yang paling aku cintai. Akhirnya meninggal beberapa tahun lalu."
Penjelasan willy janskey menusuk jantungku.

Aku mengerti betapa hal itu begitu menyakitkan.
"Jadi, untuk apa kau keparis kemarin?" Tanyaku hati hati pada willy janskey.
"Merayakan tahun baru bersama nataly. Sebelum malam di paris aku ke makamnya." Jelasnya dengan nada menyesakan dadaku.

Aku menyentuh tangannya. Menatapnya dalam. Walaupun aku tau ini membuatku begitu berdebar tetapi aku meyakinkan diriku untuk memberankkan diri.
"Willy, kau harus selalu ingat kata kataku ini. Janganlah kau membenci suatu tempat yang pernah memberikanmu sebuah kenangan paling indah. Walaupun ditempat itu kau telah kehilangan orang yang paling kau cinta. Ingatlah tempat itu pernah menjadi saksi kisah hidupmu."

Aku mendapati diriku yang perlahan meneteskan air mata.
Mataku masih menatap mata biru itu. Tetapi aku tidak bisa menyembunyikan kesedihan ini.

Love (why so difficult)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang