Jakarta, 10 tahun yang lalu.
"Pour votre attention et de la coopération, je vous remercie."
Siapa itu?, batin Ben ketika ia tak sengaja mendengar suara seorang perempuan berbicara dengan bahasa Perancis saat ia melewati ruang lab bahasa di sekolahnya, Sekolah Harapan yang terkenal amat megah dan mewah itu.
Penasaran, Ben melongokkan kepalanya. Ia tak bisa melihat siapapun, hanya wajah Mr Jean, guru bahasa Perancis sekolahnya yang mampu ia lihat.
Who can talk French with accent?, batin Ben lagi. Gadis itu pastilah keturunan asli Perancis atau pernah tinggal lama disana. Siapa ya? Mungkin Genevieve, Diané, atau Ava yang asli Perancis?
Ben pun berjalan menjauh.
----
Kompetisi pidato bahasa Perancis semakin dekat, membuat Adriana berlatih sesering mungkin. Ia bahkan mengejar-ngejar Mr Jean untuk menonton penampilannya, mengkritik bila ada kekurangan pada penampilannya. Syukurlah, seminggu menjelang lomba, penampilan Adriana sudah sangat memuaskan Mr Jean yang asli Perancis itu.
"You couldn't be more perfect, Adriana. Sometimes I wonder, you didn't take any formal education for French, and you got that perfect ability. Even Ava from XI Social 3 whose father is French can't talk perfect French like you," puji Mr Jean setelah sesi latihan mereka selesai.
"You're exaggerating, Sir. But I think I've got natural talent when it comes to language," balas Adriana. "I'll see you the day after tomorrow. Thank you so much, Sir."
"You are very welcome, sweetheart."
Sepeninggal Mr Jean, Adriana diam-diam menghela nafas. Semua ini melelahkannya. Ia tahu ia sangat mencintai apapun yang berbau bahasa, dan ia sangat bersyukur dipercaya menjadi wakil sekolah dalam perlombaan ini, tetapi segala kesibukannya ini membuatnya lelah. Urusan sekolah ditambah pekerjaan paruh waktunya di sebuah kafe kecil di pinggir kota sungguh menguras tenaga dan pikirannya.
"Semangat, Adriana! Kamu pasti bisa. Kamu kuat."
Setelah menyemangati dirinya sendiri, Adriana bergegas menuju toilet sekolah untuk berganti baju dan bersiap-siap bekerja paruh waktu di Mocca Café. Memasuki toilet, Adriana disambut gelak tawa yang berubah menjadi tatapan sinis dari gadis-gadis yang sedang berdandan disana.
"Ew."
"Kok tiba-tiba bau ya?"
"Deodoran bermerk sama bedak ketek emang beda ya."
Gadis-gadis itu pun tertawa.
Adriana tak menggubris sedikitpun perkataan gadis-gadis yang menurutnya bodoh itu. Ia sudah sangat terbiasa dengan segala tindakan bully yang dilancarkan hampir semua orang di sekolah ini. Pernah sekali ia melawan, bahkan melapor pada guru ketika ia merasa tidak tahan lagi, tetapi semuanya tak berguna. Lama kemudian Adriana sadar bahwa segala tindakan bully ini takkan bisa dihentikan oleh siapapun, oleh karena itu ia yang harus kuat menahannya. Semua penghinaan yang diterimanya sedikit banyak memberikan pengaruh positif baginya, yaitu tumbuhnya mental baja dalam dirinya.
Melihat Adriana yang sama sekali tidak terpengaruh, salah seorang dari gadis-gadis itu, Marsha menghadang langkah Adriana.
"Eh, muka lo kok nyolot banget sih?"
Adriana menatapnya malas. Ia bergeser ke kiri untuk melalui hadangan Marsha.
"Gue lagi ngomong sama lo anak kampung! Gak sopan banget sih lo!"
Adriana menghela nafas. "Ada lagi yang perlu diomongin? Gue tunggu."
Naik pitam, Marsha mengayunkan tangannya dan mencakar wajah Adriana hingga terluka.
"Aw! Apa sih maksud lo?"
"Ups maaf, ga sengaja."
Adriana tertawa sinis. "Lo tuh emang cuman menang muka sama nasib ya. Tapi otak lo gak ada isinya ya? Gue kasih tau 2 hal ya. Gue bisa aja laporin ini semua ke polisi karena ngelaporin hal ini ke guru tuh gak ada gunanya. Sel kulit dan darah gue pasti ada di bawah kuku-kuku mahal lo itu, dan itu adalah bukti kuat untuk menangkap elo. Kedua, tangan manusia itu disupport sama otot lurik which is dia bekerja secara sadar dan dikendalikan oleh otak. Kalo alesan lo adalah ga sengaja, gak ada satupun yang akan percaya kecuali orang-orang yang sama bodohnya kayak elo. Science talks."
Marsha membelalak marah, tak pernah ia dihina seperti ini oleh orang yang baginya bahkan tak pantas berbicara dengannya. Hampir saja ia menampar wajah Adriana ketika salah seorang temannya, Nola menahan tangan Marsha.
"Sha, kita pergi aja. Nanti urusannya ribet kalo ketahuan," ucapnya. Ia pun beralih pada Adriana. "Dan elo orang miskin, urusan kita belom selesai. Gue saranin jaga tuh mulut kotor lo, jangan sembarangan ngatain orang. Ngaca!"
Adriana mengacuhkan Nola dan segera masuk dan mengunci pintu bilik toiletnya.
----
Ben bersandar pada SUV hitam mewahnya, menunggu Marsha, pacar barunya yang adalah seorang kapten cheers Sekolah Harapan, which is the hottest girl at school.
Bukan rahasia umum lagi kalau Ben adalah playboy kelas kakap Sekolah Harapan, bahkan terkenal ke sekolah-sekolah lain. Kapten cheers? Juara umum? Kapten tim english debate? Cewek paling cantik dan paling seksi di Sekolah Harapan bahkan sekolah tetangga pun rela bertekuk lutut demi mendapat sedikit lirikan dari mata birunya yang menenggelamkan.
Sepasang mata Ben menangkap bayangan seorang gadis berpostur lumayan tinggi, dan berkacamata berjalan sedikit terburu-buru meninggalkan lobi sekolah. Pada pipi kiri gadis itu ada bekas goresan yang terlihat masih baru, karena Ben lihat sendiri darah sedikit mengucur dari goresan itu. Belum sempat ia bereaksi, gadis itu sudah berlari menuju pintu depan gerbang sekolah.
Setelah gadis aneh itu menghilang, mata Ben menangkap bayangan Marsha di lobby.
"Hi babe," ucap Ben lalu mengecup kening Marsha.
"Hai," balas Marsha pendek.
"Kenapa? Kok kayaknya kamu bete?"
"Gak tahu ah, ayo buruan pulang aku pengen pulang."
Ben membukakan pintu untuk Marsha. Lalu segera berlari ke pintu pengemudi. "Kenapa sih? Ceritain ke aku aja."
Tapi Marsha diam. Ben melirik Marsha yang sedang sibuk mengoleskan sesuatu pada kapas putih dan membersihkan ujung-ujung kukunya. Samar-samar Ben melihat bercak warna merah darah pada kapas itu. Seketika Ben teringat gadis aneh dengan bekas luka goresan di pipi kirinya yang masih mengeluarkan darah.
Did Marsha do this to that weird girl?
KAMU SEDANG MEMBACA
BLUE
RomanceAdriana Azura adalah seorang gadis sederhana. Selain dari kecerdasan otaknya, Adriana tak mempunyai apapun untuk disombongkan. Ia terlahir dari keluarga pas-pasan yang membuatnya terbiasa bekerja keras membiayai hidupnya sendiri sedari kecil. Apa...