Tujuh (REPUBLISHED)

4.9K 49 0
                                    

Jocelyn termenung. "Pindah? Kenapa tiba-tiba begitu?"

"Pokoknya besok kalo Mama udah sampe di Jakarta langsung urus semua urusan kepindahan Ben ya."

"Ben, kamu yakin?"

Lagi-lagi Ben menghembuskan nafas. "Ben gak pernah seyakin ini dalam hidup Ben."

Jocelyn menatap putra bungsunya dalam. Ia mengelus pipi Ben. "Mama gak tau apa Mama bisa ngelepas my baby boy ke negeri orang."

Ben menggenggam tangan ibunya. "Ma, please. Ben mohon Mama bolehin Ben pindah kesini ya? Ben janji Ben gak bakal nakal, Ben bisa tinggal di rumah Grandpa kalo misalnya Mama takut Ben tinggal sendirian."

Jocelyn hanya tertunduk diam. Melepas putra bungsunya ke negeri Paman Sam tak pernah muncul dalam bayangannya. Baginya, Benjamin adalah bayinya. Akan selalu tetap menjadi bayinya.

"Ma, please," pinta Ben lagi. "Sejujurnya ini permintaan Grandma tadi."

Jocelyn mendongak dengan tatapan tanya. "Permintaan Grandma?"

Tanpa sadar, air mata Ben mengalir membasahi pipinya. "Ben takut, Ma. Ben gak bayangin hidup Ben tanpa Grandma. Jadi waktu Grandma minta Ben untuk gak ninggalin dia, Ben bersumpah Ben akan penuhi permintaan dia."

Jocelyn menatap putra bungsunya, tersenyum kecil. Ia merengkuh wajah Ben dalam pelukannya. "Bayi Mama udah besar ya."

"Kalau begitu keputusan kamu," ucap Jocelyn."Terpaksa Mama harus nunda flight besok. Mama akan urus semua keperluan kamu disini, dan asisten Mama akan urus urusan kepindahan kamu di Jakarta."

Ben tersenyum lebar. "Beneran, Ma?"

"Tapi janji sama Mama. Kamu gak boleh terjerumus pergaulan bebas disini. New York sangat berbeda dengan Jakarta, dan Mama gak bisa pantau kamu 24 jam. Kalau sampai Mama dengar kamu berbuat aneh-aneh, Mama akan pulangkan kamu ke Jakarta. Ingat ya, Ben, Mama sangat serius soal ini. Kamu tau keluarga kita adalah keluarga terpandang, jaga baik-baik nama keluarga kita."

"Ben janji sama Mama."

"Ya sudah sekarang kamu tidur di kamar sebelah aja ya, biar Mr Brown, asisten rumah tangga Grandpa yang jaga Grandma ya? Ini udah malem sayang."

"Iya, Ma."

----

Adriana berdiri di depan lobi sekolah, memperhatikan barisan mobil-mobil mewah anak-anak Sekolah Harapan yang terparkir disana. Ia menyipitkan matanya, berusaha mencari sebuah mobil SUV hitam.

Mobilnya Ben kok gak ada?

Kemudian Adriana tertawa kecil. "Siapa tau dia ganti mobil? Orang kaya mana yang cuman punya satu mobil?"

Adriana kemudian melirik kantung kertas berisi hoodie Ben yang sudah ia laundry. Tentu saja Adriana tak familiar dengan laundry, tetapi rasanya ia takut sabun colek yang biasa ia pakai untuk mencuci baju di rumah akan merusak material hoodie Ben.

"Apa gue cek di lapangan ya? Siapa tau dia main basket."

Adriana berbalik badan, hendak menuju lapangan basket. Dari kejauhan ia melihat tim basket Sekolah Harapan sedang berlatih. Adriana lagi-lagi menyipitkan matanya, memfokuskan pencariannya pada sesosok Ben.

Gak ada? Kemana sih dia?

Bukan Adriana namanya kalau mudah menyerah. Ia melihat Nico, teman setim Ben berjalan menuju bench untuk minum. Adriana segera berlari menghampirinya.

"Hai, Nico ya?" tanya Adriana.

Nico mendongak, sedikit terkejut. Ia memperhatikan sekelilingnya, takut ada orang yang melihatnya berbicara dengan Adriana. "Kenapa?"

BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang