🎧 Passenger - Let Her Go
Hari ini adalah hari pemakaman Sharon Mattheson. Semua media datang meliput, karena banyak orang-orang penting dari deretan pengusaha terkemuka, pejabat, aktivis sosial, bahkan senator-senator datang untuk memberikan penghormatan terakhir bagi Sharon.
Ben hanya memandang kosong sang pendeta yang sedang memberikan khotbah. Tubuhnya memang disini, tapi hatinya tidak.
Hatinya sudah mati. Mati bersama jiwa Sharon.
Ben menatap jasnya. Ia baru mengerti maksud perkataan Sharon saat ia meminta Ben mengenakan jas karena nanti akan ramai. Pastilah pemakaman ini yang dimaksud Sharon.
Ben tak lagi menangis saat peti mati Sharon diturunkan, menuju ke peristirahatan terakhirnya. Air matanya mungkin sudah habis. Semalaman ia menangis, berteriak, meninju, menendang, membenturkan kepalanya pada dinding.
Ia tak tahu bagaimana ia bisa melanjutkan hidupnya tanpa Neneknya.
Kesedihan yang dirasa Ben terlalu mendalam. Ia betul-betul merasa mati, tak bernyawa. Pikiran tentang kepergian Neneknya sungguh melumpuhkan seluruh hati dan pikiran Ben. Seakan-akan ia tak punya hal lain yang dapat membahagiakannya.
Rasanya ada lubang yang begitu besar dalam hati Ben, menghisap semua kebahagiaan Ben. Kini yang tersisa hanya kesedihan yang menguasai setiap sel dalam tubuh Ben.
Tanpa sadar, Ben menangis lagi.
Terkenang kembali semua memori yang Ben punya bersama Neneknya. Ben teringat saat Neneknya membacakan dongeng sebelum ia tidur, memeluknya ketika Ben bermimpi buruk.
Ben teringat pula pada pesan-pesan yang diberikan Neneknya padanya.
Marry someone who loves your soul.
Ben menatap kosong peti mati Grandma yang sudah mencapai dasarnya.
Ben janji, Ben akan menemukan wanita yang paling tepat. Dan saat itu tiba, Ben akan membawa dia kesini, ke rumah Grandma.
Till we meet again, bisik Ben.
----
Hari sudah berganti malam, keluarga Ben sudah kembali ke hotel.
Ben menghampiri ibunya, Jocelyn. "Ma, Ben mau balik ke Jakarta."
Jocelyn menatap Ben. "Pulang?"
Ben mengangguk. "Iya, pulang ke Jakarta."
"Terus semua usaha kamu disini gimana?" tanya Jocelyn.
"Ben bisa kerja di perusahaan aku sama Naomi, Ma," ucap Timothy yang tiba-tiba muncul.
Jocelyn menoleh pada putra sulungnya. "Mama sih terserah. Malah Mama senang banget kalo Ben bisa kembali ke Jakarta."
"Grandma... Minta maaf sama Ben karena dia udah egois, dia udah membuat Ben ninggalin semuanya di Jakarta. Jadi Ben yakin, Grandma minta Ben untuk kembali ke Jakarta, kumpul lagi sama Mama Papa," ujar Ben.
Jocelyn mengangguk. "Papa pasti seneng."
"Ben akan urus semuanya besok. Mungkin minggu depan Ben bakal pulang ke Jakarta. Tim, tolong urus semua keperluan gue di perusahaan ya, gue percaya sama lo."
"Leave it to me," jawab Timothy.
----
Ben mengepak sendiri semua barang-barangnya dari apartemennya. Padahal ia bisa saja menyuruh Mr Brown untuk menyiapkan segala keperluannya.
Ia mengepak semuanya. Baju-bajunya, sertifikat kelulusannya, foto-fotonya selama kuliah dan sekolah.
Sekolah.
Pikiran Ben berkelana jauh, mengingat memorinya 10 tahun yang lalu. 10 tahun yang lalu ia hanya anak SMA biasa yang tak pernah berpikiran panjang. Dibesarkan di keluarga kaya raya membuat Ben tak pernah takut melakukan sesuatu, karena ia yakin uang akan menyelesaikan segalanya.
Ben sungguh berbeda ketika ia bersekolah di New York. Motivasi Neneknya begitu kuat terpatri dalam hatinya. Ben yang tadinya bukan apa-apa untuk urusan akademik, menjadi pintar dan selalu masuk kandidat juara umum di sekolahnya di New York. Begitu pula ketika ia masuk kuliah bisnis, ia pun lulus dengan nilai sempurna.
Kepergian Neneknya masih membuat Ben terkadang menangis di malam hari. Sampai detik inipun, ia masih terbayang-bayang memori tentang Neneknya.
Ben berjanji dalam hatinya, kalau ia akan bangkit. Ia yakin Sharon takkan suka jika Ben berlarut-larut dalam kesedihan. Ia harus bisa tetap cemerlang, sama seperti ketika Sharon masih hidup.
I'm going to start my very new life back in Jakarta.
Dan Ben lebih dari siap untuk menyambut kehidupan barunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLUE
RomanceAdriana Azura adalah seorang gadis sederhana. Selain dari kecerdasan otaknya, Adriana tak mempunyai apapun untuk disombongkan. Ia terlahir dari keluarga pas-pasan yang membuatnya terbiasa bekerja keras membiayai hidupnya sendiri sedari kecil. Apa...