Dua

58.6K 3.8K 41
                                    

Ben menghampiri gadis aneh itu, yang setelah ia ketahui bernama Adriana. Ia ingin sekali tahu apa yang terjadi dengan pipi kiri gadis itu, dan apakah Marsha yang menyebabkannya.

Karena Ben tak ingin berpacaran dengan perempuan yang kasar.

"Ada waktu sebentar?"

Adriana menoleh setelah merasa tangannya ditahan oleh sebuah lengan.

"Boleh gue tau apa yang terjadi sama pipi kiri lo?"

Adriana menaikkan alis. "Peduli apa lo?"

Gila, gue dijutekin cewek?!

Ben berdeham. "Kemarin sore gue lihat lo lari dengan pipi yang masih berdarah, dan gak lama kemudian gue lihat cewek gue muncul dateng-dateng marah-marah terus bersihin kukunya. Pas gue lihat di kapasnya ada noda darah. Terus gue mikir kalo cewek gue yang ngelakuin sesuatu sama lo."

"Oh, jadi tuh cewek gila itu pacar lo? Bilangin ya, ga usah panik bersihin kukunya. Gak akan gue laporin polisi. Bilangin ke dia kalo gue udah maafin dia, meskipun gue gak tau cewek lo ngerasa bersalah atau enggak," ucap Adriana. "Dan, gue minta maaf karena tubuh gue yang kotor dan hina ini ngotorin kukunya yang mahal."

"Jadi beneran Marsha yang lakuin ini semua? Boleh gue tau kenapa?"

"Adanya lo yang tanya sama pacar lo," ucap Adriana lalu meninggalkan Ben yang tidak percaya dirinya diacuhkan oleh seorang cewek.

Siapa sih nih cewek? Dia gak tau gue siapa?

----

Setelah mengetahui kebenarannya Ben sesegera mungkin mencari Marsha. Bukan apa-apa, ia sangat tidak menyukai kekerasan pada siapapun, apalagi perempuan, sekalipun yang melakukannya adalah pacarnya sendiri.

Terus apa? Gue mau putusin Marsha?

Pertanyaan itu terus terngiang di kepala Ben. Ia bukannya sangat mencintai Marsha. Marsha sama saja seperti cewek-cewek lainnya. Wajah cantik, tubuh seksi, feminim, dan... sedikit matre. Bukannya Marsha orang miskin, ia juga terlahir dari keluarga kaya. Tetapi semua orang di Sekolah Harapan jika ditanya siapa murid terkaya di sekolah itu, tak ragu lagi mereka akan menyebut Ben. Ayah Ben, Nicholas Mattheson memiliki garis keturunan asli Mattheson Family yang terkenal sebagai salah satu keluarga konglomerat tertua dan yang paling jaya di Amerika Serikat. Kekayaan keluarga Mattheson memang tak perlu dipertanyakan lagi.

Jadi tak heran gadis-gadis yang pernah menjadi pacar Ben pastilah matre, berharap diajak shopping ke mall dan dibayari Ben.

Tak ada bedanya dengan Marsha. Sehari setelah jadian, Ben langsung diajak Marsha ke mall dan gadis itu dengan entengnya menggunakan kartu kredit yang diberikan Ben untuk berbelanja.

One thing Grandma always tells me, never hurt. I will never hurt, and I won't be with someone who hurts.

Jadilah Ben dengan mantap ingin mengakhiri hubungannya dengan Marsha. Menemukan Marsha yang sedang makan di kantin bersama Nola dan Fanny sahabatnya, Ben segera menghampiri gadis itu.

"Hai Ben, udah makan?"

Ben menggeleng. "Belum. Ada yang mau aku omongin, Sha."

Marsha menatap Ben bingung. "Tentang apa?"

"Tentang bercak darah di kuku kamu kemarin sore. Kok bisa ada darah disana?"

Marsha seketika melirik kuku-kuku jari tangan kanannya. "Oh itu.."

"Marsha gak sengaja ngegaruk kakinya sampe berdarah, Ben. It's nothing," sambar Nola. Ben, Marsha, dan Fanny langsung melirik Nola.

"Iya, Ben karena itu," ucap Marsha lalu tertawa canggung.

Ben diam sejenak. "Kalo gitu aku mau lihat luka di kaki kamu yang kemarin kamu garuk itu."

Marsha tersedak lalu membelalak panik. "Hm buat apa sih Ben? Kamu belom makan kan? Aku suapin ya."

"Jangan alihin pembicaraan Marsha. You know this is serious. I don't want to be with an abusive girl, no matter how perfect she is."

"Ben okay aku ceritain semuanya. Kemarin tuh waktu aku sama Nola dan Fanny di toilet tuh kita ketemu si anak kampung yang namanya Adriana itu. Tau kan? Dia tuh nyolot banget masa aku ngomong dikacangin? Gila aja dia kira siapa dia? Cowok-cowok aja bisa ngelakuin apapun supaya bisa ngobrol sama aku. Eh ini cewek murahan gak tau diri dengan nyolotnya ngacangin aku?"

"Sebelumnya emang dia ngapain kamu sampe kamu marah begitu dan cakar pipinya? You know you don't have to do that."

"Ya aku cuman ngejekin dia miskin doang sih. Ya elah, siapa sih yang mau baik-baik sama Adriana? Cewek miskin, jelek, belagu lagi."

Ben menghela nafas. Tidak ia sangka paras cantik Marsha ternyata tidak sama dengan hatinya.

"Tadi aku sebenernya ketemu sama Adriana, dan dia bilang dia udah maafin kamu."

"Maafin aku? Please, Marsha gak pernah minta maaf. Apalagi sama cewek kampung itu. Lagian juga bukan salah aku kok. Udah sepantasnya cewek rendahan kayak dia gak belagu sama cewek paling populer se Sekolah Harapan."

Terngiang kata-kata Adriana di kepala Ben.

Bilangin ke dia kalo gue udah maafin dia, meskipun gue gak tau cewek lo ngerasa bersalah atau enggak.

"Oh ya, adanya dia yang minta maaf! Ew please deh kuku aku jadi kotor karena dia."

Dan, gue minta maaf karena tubuh gue yang kotor dan hina ini ngotorin kukunya yang mahal.

Ben menatap Marsha tak percaya. Bagaimana bisa ia menyukai gadis seperti ini?

"Sha, aku gak nyangka kamu ternyata orangnya kayak begini," ujar Ben tanpa melepas tatapannya sedetik pun pada wajah cantik Marsha.

Marsha menatap Ben. Pandangannya bercampur antara terkejut, marah, dan takut.

"Kayaknya kita sampai disini aja ya."

BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang