Delapan

37K 2.6K 11
                                    

New York, 10 tahun kemudian

Ben bersiul sembari mengendarai Range Rover hitamnya, menyusuri jalanan kota New York yang sibuk. Ia sedang memiliki mood yang baik.

Hari ini ia dapat klien besar. Ia sudah bisa memprediksikan profit besar menantinya.

Ben, di usianya yang menginjak 27 tahun telah memiliki firma kecil di New York, hasil usahanya sendiri. Memang belum ada apa-apanya dibanding perusahaan raksasa milik keluarga Mattheson. Tapi, tetap saja ia sangat bangga dengan pencapaiannya.

Ben memasuki basement parkir Mount Sinai Medical Center, hendak mengunjungi Neneknya untuk memberikan kabar gembira ini.

Sudah hampir 10 tahun Sharon dirawat di rumah sakit ini. Ia menderita comma berkepanjangan, namun sesekali ia terbangun, bahkan bisa berbicara, sebelum akhirnya tertidur lagi.

Sharon memang tak pernah sembuh, tapi itu tak apa bagi Ben. Selama Ben bisa melihat tubuh lemah Neneknya yang semakin lama semakin kurus, selama Ben masih bisa mendengar suara detak jantungnya, walaupun melalui mesin.

Ben membuka pintu ruang rawat Neneknya, dan mendapati Tantenya, Mathilda sedang duduk dan menggenggam tangan Neneknya. Mathilda memang hampir setiap hari menyempatkan diri untuk menjenguk Sharon di rumah sakit. Mathilda dan Joe adalah Tante dan Om favorit Ben. Sangat berbeda dengan saudara-saudara Ayahnya yang lain, yang menurut Ben fake, sebetulnya tidak pernah peduli dengan Kakek dan Neneknya. Mereka hanya perlu uang, jabatan, dan... nama besar keluarga Mattheson. Buktinya, mereka tak pernah lagi datang menjenguk Sharon sejak pertama kali wanita tua itu masuk rumah sakit. Hanya Baron Kakeknya, Joe, Mathilda, dan kedua anak mereka yang adalah sepupu Ben, Leonard dan Veronica yang masih rutin mengunjungi Sharon. Bahkan ibu dan ayah Ben yang tinggal nun jauh di Jakarta paling tidak 2 bulan sekali datang ke New York untuk menjenguk Sharon dan Ben.

"Hey, Mathilda," gumam Ben. Raut wajah Ben seketika berubah bahagia ketika ia melihat Sharon membuka matanya, dan tersenyum lemah pada cucu kesayangannya.

"Grandma you're awake?" bisik Ben. Ia meraih tangan kurus Sharon. Mathilda tersenyum kecil, sebelum akhirnya keluar kamar meninggalkan Sharon dan Ben.

"Wear your suit," bisik Sharon lemah. "It's going... to be crowded."

Ben menaikkan alisnya, bingung. "Crowded?"

Sharon tak menjawab. Ia menutup matanya sebentar, lalu membuka lagi. "I really wish... I could meet... your future wife... and tell her... how lucky she is... to have my grandson... as her husband."

Ben tertawa kecil. "I promise I will bring her to you. I just haven't found the right person yet."

Sharon tersenyum lemah. Bola mata birunya menatap bola mata cucu kesayangannya yang berwarna sama. "Marry someone... who loves your soul."

Ben mengangguk. "Roger that. I will marry someone who loves my soul."

"That's my boy."

----

Ben keluar dari rumah sakit sebentar untuk makan siang, bertukaran dengan Mathilda.

Tiba-tiba Naomi, kakak perempuan Ben menelepon.

"Apaan?" sergah Ben malas. Ia tau ia hanya bercanda, ia hanya ingin membuat Naomi marah.

Dan tampaknya ia berhasil.

"Galak amat?!" balas Naomi di ujung telepon.

"Bercanda, Kak, kenapa?"

"Well mau ngasih tau aja gue sama Timothy bakal ke New York besok. Gak tau deh Mama sama Papa bakal ikut atau enggak."

BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang