Tiga (REPUBLISHED)

16.6K 127 0
                                    

oke karena kemarin kalian bilang di republish aja, maka sekarang aku akan republish part-part yang sebelumnya aku private. terima kasih semuanya! 


------


Kalau orang normal akan merasa sedih setelah putus, Ben sama sekali tidak merasakannya.

Ben merasa lega. Menjadi power couple dengan Marsha di Sekolah Harapan memang hal yang keren, tapi tidak jika Marsha adalah perempuan yang kasar.

Sebetulnya Ben jarang memedulikan lingkungan di sekitarnya. Ia tak pernah tahu ada gadis seperti Adriana yang bersekolah di sekolahnya, yang notabenenya sekolah orang-orang kaya.

Ben baru tahu bahwa seisi sekolah ini mungkin membully Adriana. Ia memang playboy, tapi membully gadis lemah tak pernah ada dalam kamus hidup Ben. Bukannya ia bertindak sok suci, tapi Ben hanya jijik melihat anak-anak orang kaya yang menggunakan status sosialnya untuk merendahkan orang lain. Ben sadar betul bahwa segala kekayaan dan fasilitas yang dimilikinya adalah milik orangtuanya, begitu pula dengan semua anak-anak orang kaya di luar sana. Siapapun mereka, sehebat apapun orangtua mereka, status sosial bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan ajang pamer-pameran.

----

Kenapa sih pada ngeliatin gue begitu?

Pagi hari itu terasa berbeda bagi Adriana. Tentu saja ia masih mendapatkan tatapan jijik dari siapapun yang berpapasan dengannya, tapi... rasanya hari ini tatapan mereka sedikit berbeda.

"Lo tau gak sih power couple sekolah kita udah putus?"

"Eh serius? Kapan? Gimana ceritanya? Kok gue gak tau?"

"Gue sih bodo amat. Tuh nenek sihir emang gak pantes pacaran sama Ben. Semenjak dia pacaran sama Ben, dia jadi protektif abis sama Ben. Masa gue mau ngerjain tugas kelompok bareng Ben aja dicurigain mau tebar pesona?"

"Tapi gue denger-denger ya, katanya mereka putus gara-gara si cewek kampung itu."

"What? Ga mungkin banget cowok sekeren Ben mutusin Marsha buat si cewek kampung itu?"

Adriana termenung. Pastilah seluruh sekolah akan membencinya. Ia berusaha berkonsentrasi dengan PR Bahasa Perancisnya, sampai ia merasa sepasang tangan menyentuh telinganya, menutupnya rapat.

Adriana mendongak, dan seketika bertemu dengan sepasang bola mata paling biru yang pernah ia lihat. Adriana merasa tersihir.

"Jangan dengerin kata-kata mereka."

Adriana masih terdiam. Tak bergerak seinci pun. Suasana di sekitar taman sekolah sudah heboh melihat pemandangan langka ini.

Sedetik kemudian Adriana sadar. Buru-buru ia menepis tangan Ben. Adriana berdeham.

"Lo ngapain disini?" tanya Adriana.

"Gue gerah digosipin terus. Lo sendiri?"

"Ada PR Bahasa Perancis."

"Wow."

"Kenapa? Ada yang lucu?"

"Gak sih. Gue rasa cuman elo doang di sekolah ini yang mau ngerjain PR Perancis dari guru kejam itu."

"Mr Jean? Dia baik kok."

Ben menatap Adriana tak percaya. "Baik?"

"Dia mau dengerin gue latihan."

Ben terdiam sejenak. Keningnya mengerut. "Jangan-jangan orang yang waktu itu gue denger ngomong pake bahasa Perancis itu elo? Yang waktu di lab bahasa?"

"Mungkin."

"Wow. Jadi itu elo? Les dimana? Aksen lo dapet banget serius."

"Gue otodidak."

"Jangan bercanda lo. Pronunciation kayak gitu gak mungkin otodidak."

Adriana memasukkan buku dan pulpennya ke dalam ransel kecilnya. Ia mengacuhkan Ben.

"Eh lo mau kemana?"

Adriana menatap Ben malas. "Lihat sekeliling lo."

Gadis itu pun pergi begitu saja, meninggalkan Ben yang linglung. Baru disadari cowok itu bahwa sedari tadi sudah berkerumun gadis-gadis penggosip yang sibuk memfoto, mengambil video pembicaraan Ben dan Adriana.

----

Sekolah hari ini amat melelahkan. Ia sudah terbiasa dibully oleh seisi sekolah ini, tapi rasanya hari ini adalah hari terberatnya. Bertahan hingga lulus saja sudah sangat menguras tenaga dan pikiran Adriana, kini dia harus terlibat dalam gosip-gosip tak jelas yang menyatakan bahwa dirinya adalah penyebab power couple, Ben dan Marsha putus.

Snap out of it, Ri. You gotta forget that.

"Riri, bisa kesini sebentar?"

Adriana mendongak ketika mendengar suara ibunya dari kamar sebelah. "Ya, Bu?"

Mariana, Ibu Adriana, seorang wanita paruh baya berwajah ramah, hangat, dan seolah-olah selalu tersenyum.

"Gimana persiapan lombanya, Nak? Udah mantap?"

Adriana menghela nafas. "Aku kira apa, Bu. Udah siap kok, siap banget."

"Coba sini kamu pidato di depan Ibu sama Verena. Ibu mau lihat."

Verena, adik perempuan Adriana yang masih berumur 8 tahun menatap Adriana penuh harap.

Adriana tertawa kecil. "Males ah. Emang Ibu sama Verena bakal ngerti?"

"Yah, Kak, Verena suka banget denger kakak ngomong bahasa Perancis. Keren tau."

"Bukannya gimana-gimana nih, Bu, Riri lagi males. Hampir sebulanan ini ngomong bahasa Perancis terus. Sampe rasanya gatel deh lidah Riri."

Gelak tawa ibu dan anak itu terhenti ketika mendengar suara mesin sepeda motor dari arah pintu depan.

Verena tersenyum lebar. "Ayah udah pulang!"

Verena langsung berlari dan membukakan pintu untuk Ayahnya, diikuti Adriana dan ibunya.

"Eeeh anak Ayah yang bukain pintu," ucap Handoko, Ayah Adriana sembari meletakkan tas kerjanya dan memeluk putri kecilnya itu. Raut wajah kelelahan memang tampak jelas pada wajahnya.

Adriana mengambil tas kerja Ayahnya dan menaruhnya pada meja ruang tamu. "Ayah mau aku bikinin air hangat buat mandi?"

Handoko mendongak dan tersenyum kecil pada Adriana. "Iya, tolong ya, Ri."

"Ayah tadi Verena dapet nilai 100 pas ulangan matematika! Verena inget ajaran Ayah yang perkalian pake jari itu lho!"

"Kan udah Ayah bilang cara itu yang paling gampang. Kemarin kamu gak percaya, maunya pake cara Ibu Euis. Huu makanya denger kata Ayah."

Mariana tersenyum kecil melihat suami dan putri bungsunya bercengkerama. Ia sungguh merasakan kehangatan.

Begitu pula Adriana yang merasakan kehangatan mendengar suara Ayah, Ibu, dan Verena yang mengobrol santai dari ruang tamu. Betapa ia sangat mencintai keluarganya, dan bersumpah akan melakukan apapun demi keluarganya. Ia tak pernah sedikitpun merasa menyesal dilahirkan di keluarga yang pas-pasan, ia justru amat bersyukur bisa menjadi putri seorang Handoko yang sederhana,
pekerja keras, lembut dan Mariana yang sama sederhananya, hangat, juga penyayang. Adriana sungguh berpikir bahwa menjadi anggota keluarga sederhana ini adalah karunia terindah yang pernah ia terima.

BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang