Empat Puluh Tiga

21.2K 1.1K 13
                                    

"Kamu... Kamu mau ngelamar aku?"

Adriana menatap Ben yang masih bertekuk lutut itu gemetar. Gadis itu sungguh tak siap.

Tiba-tiba, Ben tertawa.

"Kamu kenapa ketawa?" tanya Adriana bingung.

Ben bangkit berdiri, lalu menepuk-nepuk lututnya. "Ternyata selama ini kamu berharap dilamar ya?"

Wajah Adriana merona merah, malu setengah mati. Ia lalu membuang muka. "Abisnya kamu ngapain berlutut begitu."

Ben meraih bahu Adriana, memaksa gadis itu untuk menatap mata birunya.

"Sweetheart, kalo aku mau melamar kamu, aku bakal melakukan hal yang lebih bagus daripada sekedar berlutut. Gak mungkin aku melamar kamu sesimpel ini, di kuburan pula."

Adriana menunduk, terlalu malu untuk menatap Ben. Karena itu, Ben meraih dagu Adriana agar menatapnya.

"But I promise, I'll do that soon. In a way you won't expect, in a way you won't forget in your entire life."

Adriana tak tahu harus merespon apa. Gadis itu hanya tersenyum kikuk.

Ben dan Adriana pun kembali berjalan, menyusuri keindahan taman buatan itu. Sulit mempercayai bahwa sebetulnya taman indah ini adalah sebuah kuburan.

Tak lama, sepasang bola mata Adriana melihat sesuatu. Sesuatu yang tidak terlalu besar, berbentuk persegi, berwarna hitam, dan tergeletak di tanah. Batu nisan Sharon Mattheson.

Adriana dan Ben pun berhenti melangkah ketika mereka telah berjarak cukup dekat dengan batu nisan itu. Suasana di sekitar batu nisan itu sungguh tenang, memancarkan kedamaian.

"So, here we are," ucap Ben. Lelaki itu lalu berjongkok, mengusap pelan batu nisan itu.

Adriana mengikutinya. "She's beautiful."

Ben melirik Adriana. "Kamu tau darimana?"

"Siapa sih yang gak tau Sharon Mattheson? Businesswoman, philanthropist. One of the most powerful woman back then," ujar Adriana. "Sejujurnya, aku termasuk pengagum dia sewaktu dia masih hidup."

"Kamu pasti tau Nenek aku setelah kenal sama aku kan?" tanya Ben usil. "Pasti waktu aku pindah ke New York, kamu jadi penasaran sama aku. Kamu jadi googling tentang keluarga aku, terus kamu jadi tau tentang Nenek aku. Terus kamu jadi kagum sama dia."

Adriana mencibir. "Mr Know-It-All."

Ben tertawa puas. "Sekarang kamu percaya kan, kalo aku bisa nebak jalan pikiran kamu? Aku kan udah bilang sebelumnya, kalo aku tuh terlalu mengenal kamu, Adriana."

Adriana memutar bola matanya sebal. "I can't believe we argue in front of your Grandma."

Ben tertawa. Ia lalu kembali mengusap batu nisan Neneknya. Sempat ada rasa sedih yang kembali menguasai hatinya, namun ketika ia sadar bahwa ada Adriana di sisinya, ia buru-buru mengusir kesedihan itu.

Lagipula, kali ini ia datang mengunjungi Neneknya bukan untuk bersedih. Ia hendak berbahagia.

Berbahagia, karena ingin mengenalkan Adriana pada Neneknya.

"Sharon, you're watching us, right?" bisik Ben pelan, seraya menengadah ke langit.

Adriana diam-diam mendekat pada Ben, lalu meraih lengan lelaki itu untuk bersandar. Seandainya kuburan ini tidak seindah ini, ia mungkin agak sedikit merasa takut. Maklum, terkadang Adriana percaya takhayul.

"This is Adriana," ucap Ben lagi. Lelaki itu lalu tersenyum hangat. "I believe, she is my future wife."

Adriana mendongak, menatap Ben. Ia sudah seringkali mendengar perkataan ini, tetapi biasanya Ben hanya melontarkannya untuk bercanda. Tidak dengan kali ini.

BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang