Vernon membuka ransel yang ia letakkan di atas meja, mengambil buku paket dan buku latihan Matematikanya dari sana. Membuka buku paket, ia mencoba fokus pada 10 soal yang ada di sana. Mencoba memahami metode apa yang harus digunakan untuk mengerjakan soal nomor 1, 2, 3, dan seterusnya. Tapi lagi-lagi fokusnya hilang, dari semalam, setelah dia bermimpi.
Agak jauh di belakang Vernon, Tasya memerhatikan gerak-gerik cowok itu dari mulai ia memasuki kelas. Kerutan di keningnya tidak hilang, bahkan semakin bertambah ketika objek pandangannya berlaku tidak seperti biasa.
Vernon bukan tipe yang suka menyibukkan diri dengan buku, bahkan satu-satunya hal yang ia ingin hindari adalah membaca buku. Sama halnya dengan yang sekarang ia lakukan. Latihan soal yang ada pada buku paket Matematika adalah hal yang terakhir yang ada pada list keseharian cowok blasteran tersebut. Oh tidak, bukan berarti ia bodoh. Vernon hanya tidak suka berurusan dengan buku.
Tubuh Tasya merinding melihat kelakuan Vernon yang aneh hari ini. Bahkan, cowok itu terlihat masuk kelas jauh sebelum bel masuk berbunyi, biasanya ia akan tepat waktu. Benar-benar tepat waktu. Tasya tidak banyak tahu tentang Vernon sebenarnya, mereka pun jarang -sangat amat jarang- berinteraksi. Vernon yang benar-benar cuek membuat Tasya dan teman-teman ceweknya ogah berurusan dengan cowok cuek itu. Tapi hari ini terhitung sejak bel masuk sekitar 1 jam yang lalu, tidak tahu kenapa, Tasya justru hanya fokus menatap punggung dan pergerakan Vernon yang menurutnya 'aneh'.
Tasya mengetukkan jari-jari tangan kanannya ke meja. "Kok bisa gue kepikiran sama mimpi itu terus?" Gumamnya.
Tasya melirik Nana yang ada di sebelahnya, memanggil Nana dengan bisikan seperti yang biasa mereka lalukan jika di kelas sedang ada guru. Nana yang merasa dipanggil hanya bergumam. Merasa direspon, Tasya kemudian lanjut bertanya. "Kok gue bisa mimpiin Vernon ya semalem? Padahal kan gue sama dia nggak pernah ngobrol."
Nana menoleh, mengerutkan kening seperti yang Tasya lakukan sejak tadi. "Lo mimpiin Vernon? Mimpi yang kayak gimana?"
Tasya menghela napas, membuat kerutan di dahi cewek itu menghilang. "Em, kalo gue cerita, lo nggak akan ngetawain gue, kan?"
"Tergantung jenis ceritanya, sih." Kata Nana sambil memgetukkan jari telunjuk kirinya ke dagu.
"Awas kalo ketawa, gue tonjok lo." Ancam Tasya. Nana hanya mengangkat bahu sebagai respon.
"Gue.. em, gimana ya, gue malu ceritanya, Na."
"Kayak masih punya malu aja."
"Sialan."
"Haha."
"..."
"..."
"Jadi..." Tasya sebenarnya ragu untuk menceritakan mimpi absurdnya semalam. Mimpi yang ia masih bingungkan, kenapa bisa ada Vernon yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya barang sedetik pun?!
"Jadi semalem....." Tasya menggaruk tengkuknya. "...gue mimpi dating sama Vernon." Ucap Tasya berbisik lebih pelan dari sebelumnya.
"Apa, Sya? Bisikan lo kekecilan. Belum korekan kuping, nih." Nana tidak meledek, ia memang benar-benar tidak mendengar apa yang diucapkan oleh Tasya.
"Ish. Dengerin makanya!" Sungut Tasya kesal karena harus mengulangi kata-katanya yang memalukan.
"Gue, semalem mimpi dating sama Vernon!" Ucapnya agak lebih keras.
Nana diam, tidak merespon. Cewek berwajah lucu itu telah menghentikan kegiatan mencatatnya sedetik setelah Tasya selesai bicara satu kalimat yang membuatnya kehabisan kata-kata.
Mata Nana melotot, ia tiba-tiba menghadap Tasya dan mengguncang pundak teman sebangkunya itu dengan cukup keras. "LO, MIMPI DATING SAMA VERNON SEMALEM? GAK NGAYAL KAN LO?" Teriaknya di tengah kesunyian kelas, membuat seisi kelas bahkan cicak, ikut menoleh ke arah mereka berdua. Objek pembicaraan mereka pun ikut menoleh dengan ekspresi datarnya, tapi dengan mata yang sedikit membesar. Vernon terkejut, tapi tidak ada yang mengetahuinya.
"Eh, mimpi sama ngayal sama nggak, sih, Sya?" Tanya Nana polos sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Orang yang ditanyanya tidak menjawab justru menenggelamkan wajahnya pada lekukan tangan di meja.
Tasya ingin menghilang saat ini juga rasanya. Ia ingin bersembunyi di bawah kolong meja dan meminta siapa pun untuk menghilangkannya saja.
"Kalian berdua, kenapa mengobrol saat saya sedang menjelaskan?" Di depan, Mr. Andreas sedang menjelaskan tentang matrix. Beliau merasa tersinggung karena tidak diperhatikan saat mengajar.
Nana yang telah sadar dengan apa yang susah dilakukannya pun merasa tidak enak. "Maaf, Mister. Saya keceplosan. Abis Tasya cerita kalau dia mimpi dating sama Vernon, cowok yang sama sekali gak masuk daftar incarannya." Jawab Nana bodoh dengan ekspresi bodoh juga.
Tasya yang mendengarnya sudah ingin menangis. Ia malu. Bagaimana tidak?! Teman dekatnya sendiri dengan mulut tak-bisa-bohongnya dengan tidak sengaja membeberkan rahasia yang dari semalam disembunyikannya.
"Oh begitu. Baiklah kalau begitu, kalian berdua, Nana dan Tasya, silahkan keluar dari kelas dan berdiri di depan tiang bendera." Ucap Mr. Andreas lembut, tapi tegas, dan menusuk.
Nana sudah memasang wajah ingin menangisnya, sedangkan Tasya, dia dengan secepat kilat keluar dari kelas dengan wajah semerah kepiting rebus.
-----------
"Oh ternyata lo mimpi kayak gitu juga, ya?" Vernon berdiri di sebelah kanan cewek dengan rambut kuncir kuda di depan tiang bendera.
Tasya yang tadinya menunduk, sekarang menoleh, benar-benar menoleh, melihat wajah Vernon yang sedikit berkeringat dan bibirnya yang menyunggingkan senyuman miring. Ekspresi yang tidak pernah terpikirkan oleh cewek itu akan dilakukan oleh Vernon.
"Maksud lo?" Tanya Tasya tidak mengerti.
"Gue juga mimpi kayak gitu semalem, dan gara-gara mimpi absurd itu, gue jadi gak bisa tidur lagi dari jam 2 pagi." Vernon tertawa garing.
"Kok lo bisa mimpi kayak gitu juga?"
"Gue nggak tau. Gue bukan yang buat mimpi."
Vernon membalas tatapan cewek di sebelahnya. "It's just a dream. Lupain aja dan anggap kita nggak pernah ngobrol kayak sebelumnya. Gue nggak mau hal sepele kayak gini bikin fokus gue pecah. Ini cuma kebetulan, dan nggak penting."
Tasya diam. Dia tidak tahu harus bagaimana merespon ucapan cowok dengan bola mata cokelat yang sedang ditatapnya sekarang.
"Ngerti?" Tanya Vernon memastikan. Tasya mengangguk walaupun reaponnya agak lama. "Bagus." Vernon memutuskan tatapannya dan melihat sekeliling.
"Gue cabut." Katanya lalu meninggalkan Tasya sendirian di lapangan.
Tasya diam, ya, dia memang hanya diam dari tadi. Tapi kini diamnya itu berbeda.
"Sya, nih minum dulu." Nana dari belakang menempelkan botol air mineral dingin ke pipi Tasya yang penuh keringat. Tidak seperti dugaan, temannya itu hanya diam, tidak merespon.
"Sya, lo kenapa diem? Pusing? Cepek?" Tanya Nana khawatir sambil menatap wajah Tasya yang muran. "Sya jawab ih! Jangan diem aja!"
Tasya masih diam, tapi kini dia menatap balik Nana. "Na, kok rasanya sakit, ya? Di sini sakit banget." Ucap Tasya ambigu sambil memegang dada sebelah kirinya.
"AYO GUE GENDONG KE UKS! LO HARUS DIPERIKSA GUE GAMAU LO MATI SYA!" Teriak Nana heboh yang membuat Tasya makin lemas dan akhirnya jatuh terduduk di lantai lapangan yang panas.
-------------------
Hai guys! Apa kabarrrrr? Semoga kalian semua baik yaaa! Hehe.
Maaf buat keterlambatan fanfic ini. Aku.... stuck. Aku stuck di ceritanya Vernon dan Dk. Aku galau mau ngelarin yang mana dulu, dan aku bingung mau buat tema yang kayak gimana. Aku udah 3x buat cerita ini (vernon part), dan 2x hapus cerita. Cerita yang pertama sama kedua, mungkin udah ada +-1000 words, tapi aku bener-bener gak suka sama hasil keseluruhannya. Dan itu kepanjangan -_- 1200 words aja masih bagian intro. Jadiiii, aku hapus dan bikin ulang 😂
Maaf ya, sekali lagi maaf karena ngaret 😂
Dan mungkin cerita ini nggak bagus, jadi, kalau ada kritik dan saran, bisa silahkan ditulis di kolom komentar.
Please don't forget to leave traces. I will be so thankful. 🙏
Terimakasih teman-teman Carats!!💕💕
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN
FanfictionStories of all SEVENTEEN's member. Jangan banyak berharap sama fanfiction ini, karena authornya labil, bisa jadi ff ini juga labil. Karena semua cerita di sini berawal dari sebuah kelabilan. Read enjoyly! xx