Aku suka dengan sosoknya yang rupawan, yang mampu membuat jantungku berdetak melebihi kemampuannya. Aku menyukai karismanya, caranya berbicara, dan memimpin. Aku menyukainya, luar dan dalam.
Tania tahu, aku mencintai Seungcheol melebihi apapun. Tania tahu, aku bagaikan bunga layu tanpa adanya Seungcheol di sekitarku. Tania tahu, semuanya. Karena dialah sahabat yang telah kupercaya untuk berbagi kegilaanku terhadap seorang Seungcheol, sang ketua kelas.
Semua orang di kelas, bahkan sudah tahu kalau aku terobsesi, ah bukan, perasaanku lebih tepat jika disebut cinta. Mereka semua tahu bagaimana aku terhadap Seungcheol. Bagaimana aku berusaha mendekatinya setiap saat dan bagaimana Seungcheol berusaha menolakku sekuat tenaganya. Haha, ironis memang.
Sebut aku menggelikan jika kalian mau, tapi memang Seungcheol sudah menjadi sebagian dari hidupku semenjak aku bertemu dengannya, hampir 3 tahun lalu saat MOS.
.
Tadi siang, aku masih seceria biasanya. Aku masih berbagi perasaanku kepada Tania. Tadi siang, aku dan Tania tidak sekaku sekarang. Tadi siang, Tania juga mengungkapkan semuanya.
"Gue gak tau mau mulai dari mana, Syl. Gue gak tau harus seneng atau malah merasa bersalah atas ini. Tapi kalo lo mau tau, selama ini gue sakit. Lebih sakit dari lo yang terang-terangan ngungkapin perasaan lo dan terang-terangan ditolak sama Seungcheol." Katanya sambil menatapku. Tatapannya lain, tidak seperti tatapan seorang Tania yang lembut.
"Sisylia, gue tau gue salah udah ngelakuin ini sama sahabat gue sendiri. Tapi yang lo harus tau adalah gue sama sekali gak berusaha untuk nyakitin lo. Gue juga sakit, Syl. Lebih sakit saat mendem perasaan tanpa ada orang yang tau. Tanpa ada orang yang sadar kalo selama ini gue sakit." Tania menarik nafasnya panjang.
"Gue sayang sama Seungcheol. Gue sayang sama dia, banget. Bahkan, kalo lo mau tau, gue sesayang itu sama dia sampe harus nyakitin lo. Gue... gue tau lo gak habis pikir sama ini semua." Tania menggenggam kedua tanganku, erat.
"Sebulan yang lalu, gue jadian sama Seungcheol, dia nembak gue. Dia bilang dia sayang sama gue, dan gue pun sebaliknya. Gue gak tau harus gimana lagi nyuruh dia buat bilang sama lo. Dia tau gue takut buat bilang sama lo, tapi dia juga gak seberani itu bilang sama lo. Gue, sama dia sama-sama takut lo sakit hati." Mata Tania memerah dan sudut-sudutnya mulai mengeluarkan air mata.
"Gue tau sekarang lo udah bener-bener sakit hati. Gue tau lo gak akan maafin gue. Gue tau, dan karena itu gue beraniin ngomong sama lo. Gue berani nerima resiko atas semua yang gue putusin, gue berani Syl. Karena gue capek, gue gak tahan lagi untuk jadi tempat curhat lo tentang orang yang sama-sama kita sayang. Gue capek Syl, sakit.."
"Lo boleh lakuin apa aja sama gue, terserah. Tapi plis, let him go. Biarin gue sama dia bahagia, gue mohon. Gue mohon sama lo, Syl."
Tania melepaskan genggamannya, mengusap matanya yang benar-benar bengkak.
"Gue sayang sama lo, Syl. Gue sayang sama lo. Tapi gue gak nyesel untuk merjuangin cinta gue buat Seungcheol, maaf." Katanya kemudian lalu beranjak pergi meninggalkanku yang mematung.
Aku diam dengan pandangan lurus ke depan. Masih menatap tempat di mana Tania beranjak pergi meninggalkanku dengan bekas-bekas kejujurannya yang membuatku sangan sulit bernafas.
Kalau bisa, aku ingin dikubur hidup-hidup saja sekarang. Kalau bisa, aku ingin di angkat ke langit, dibawa pergi kemana pun, tanpa pernah kembali ke tempat menyakitkan ini. Tanpa pernah melihat wajah dua orang yang membuatku merasakan sakit yang benar-benar sakit ini.
Aku pernah merasakan sakit sebelumnya, sakit gigi dan aku begitu membenci rasa sakit itu. Rasa sakit yang membuatku tidak bisa merasakan manisnya permen kapas dan lolipop. Tapi sekarang, aku justru lebih menginginkan rasa sakit itu dari pada rasa sakit yang berasal dari hati ini. Rasa sakit yang sekarang jelas lebih terasa berkali-kali lipat dari sakit gigi yang terakhir kali aku rasakan ketika masih kecil dulu.
Rasa sakit kali ini membuatku tidak bisa menangis, padahal dulu aku akan terus-menerus menangis saat sakit gigi. Dadaku berasa dicabik, dihancurkan, dibakar. Sakit, perih, panas, sesak di mana-mana.
Aku sudah benar-benar kehilangan kendali diriku. Aku, Sisylia Tardian, dibuat hilang kendali oleh rasa sakit ini. Aku, gadis paling kuat dari semua gadis di kelasku, dibuat lemah oleh rasa sakit hati yang seperti ini. Aku, yang harusnya seceria itu, dibuat seterpuruk ini.
.
Salahkan diriku yang tak tahu batasan untuk menyukai seseorang. Salahkan diriku atas ketidakpekaan terhada orang lain. Salahkan diriku yang selalu mementingkan perasaanku sendiri. Aku benar-benar tidak peduli lagi dengan itu.
Aku tahu ini terlalu bodoh, tapi apa kalian tahu bagaimana rasanya harus melupakan seseorang yang kemarin masih kalian cintai? Tidak, kan?
Tertawai saja aku yang hari ini masih saja duduk di bangku sebelahnya dan menunggunya datang. Hujat saja aku yang dengan tidak tahu malunya masih membawakannya bekal sarapan padahal jelas-jelas, ada gadisnya di samping meja yang kutempati.
Aku hanya tidak mau menyerah secepat itu. Aku tidak akan menyerahkan perasaanku yang sudah sedalam ini dan membiarkan sahabatku merusaknya. Tidak. Aku memang lemah, kemarin. Tapi aku tidak akan lemah untuk sekarang, dan kedepannya.
Seungcheol datang, menggendong ranselnya dan menenteng sebuah goodie bag di tangan kirinya. Dia menatap ke arahku -yang sedang tersenyum- sebentar lalu melanjutkan jalannya. Bukan ke tempat duduknya yang biasa, melainkan ke tempat dudukku. Ah, tempat di mana aku biasa duduk kemarin dan beberapa bulan belakangan ini. Tempat dudukku bersama Tania.
Aku menatapnya bertanya dan hanya senyuman kecil yang menjadi jawaban dari pertanyaanku.
Seungcheol duduk di samping Tania yang tersenyum menyambut kekasihnya. Ia mengacak ujung rambut Tania dengan halus dan memberikan goodie yang dibawanya tadi kepada gadis itu.
Aku melihatnya, tersenyum dan mencoba mengajaknya bicara. "Coups, Tania aja yang dibawain bingkisan? Aku nggak?" Tanyaku sambil tetap tersenyum.
Coups, panggilan kesayanganku untuknya. Sejak awal, aku sudah memanggilnya begitu.
Seungcheol menatapku, tajam. Entah itu tatapan jenis apa, karena baru sekali ini dia menatapku seperti itu, tanpa senyum. Senyum yang kupaksa pertahankan dari tadi luntur, membuat bibirku menampilkan segaris kerutan datar. Dadaku sesak, seakan dipenuhi oleh jarum-jarum yang menusuk di sana-sini. Membuatku lagi-lagi kesulitan bernafas.
Kualihkan pandanganku saat suara ketukan pada papan tulis terdengar. Seseorang berdiri di sana dengan seragam guru, menatapku lamat-lamat.
"Saya persilahkan untuk ketoilet sebelum pelajaran saya dimulai."
Dan secepat ini aku keluar kelas sambil membawa bekal sarapan yang telah kupersiapkan tadi.
"Am I fooling myself?"
"Apa aku terlihat semenyedihkan itu sampai orang-orang tau bahwa aku sedang tidak baik-baik saja?"
"Apa seterlihat itu?"
Aku membekap mulutku sendiri ketika senggukan itu keluar dari mulutku. Sebelah tanganku yang masih memegang kotak bekal kugunakan untuk menyeka sudut-sudut mataku.
Aku menangis. Ya akhirnya aku menangis setelah kemarin tidak mengeluarkan setetespun air mata. Aku menangis, dan aku tahu ternyata aku selemah itu.
Aku tahu,
Aku ternyata lebih lemah dari apapun.
-------------------------
Sorry for typo(s).
Haaaaaaaaaa aku masih suka teriak teriakkkkkkkkk. Aku masih gregetan sama MV 예쁘다!!! Kenapa ganti latarnya cepet bangettttt?! Kenapa aku dibuat nggak fokussss?!!!! Kenapa Say Yes lagunya ugh banget?!!!! Kenapaaaa?!!!
Kenapa Minghao merusak segalanya? T^T
Kenapa Hoshi bikin jejeritan? T^TKenapa? Kenapa? Dan kenapa? T^T
Salam,
Anak alay T^T
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN
FanfictionStories of all SEVENTEEN's member. Jangan banyak berharap sama fanfiction ini, karena authornya labil, bisa jadi ff ini juga labil. Karena semua cerita di sini berawal dari sebuah kelabilan. Read enjoyly! xx