Suara segerombolan orang yang sedang tertawa berhasil terdengar oleh telinga Jiya yang sudah disumpal dengen earphone. Volume musik yang sengaja ia penuhkan serasa percuma, tidak ada gunanya. Jiya frustasi mendengar suara ribut di barisan belakangnya yang tidak pernah sepi, tidak pernah mereda. Dia hanya ingin sekaliiiii saja, selama masa SMAnya ini, mendapatkan hari tenangnya di kelas. Tidak ada ribut-ribut orang bernyanyi, suara meja yang dipukul untuk mengiringi nyanyian tersebut, dan suara tawa yang kelewat jauh dari batas normal. Dia hanya menginginkan kedamaian, sehari saja.
Semua orang di kelas ini, termasuk Jiya tahu bahwa nyanyian dan suara-suara berisik itu ditujukan kepadanya. Lagu-lagu cinta dari A sampai Z sudah pernah ia dengar dari siswa-siswa barisan paling belakang di kelasnya. Barisan yang diisi oleh cowok-cowok bersuara merdu. Jiya mendengus ketika mengingat kata merdu yang dibuat sarkas olehnya.
Ponsel Jiya bergetar kala cowok-cowok itu selesai menyanyikan lagu cinta ke empat. Ia sudah paham betul apa sebab ponselnya bergetar bersamaan dengan berakhirnya nyanyian itu. Tanpa membuka pesan di ponselnya, Jiya segera berdiri dan berjalan cepat ke luar kelas.
"Yah yah... Jiya keluar.." adalah salah satu kalimat yang keluar dari cowok yang duduk tepat di belakangnya.
"Ah, lo, sih Wan, nggak bener banget nyanyinya! Dia jadi pergi, kan!" Kemudian seruan lainnya terdengar samar di telinga Jiya.
Jiya duduk di salah satu bangku taman belakang sekolah. Ia sengaja duduk sambil menghadap ke pepohonan besar. Jiya kesal, setiap hari Jiya selalu kesal. Dia tidak suka diperlakukan seperti itu oleh teman-teman sekelasnya. Terutama oleh Dokyeom, orang di balik semua keributan tersebut. Jiya tidak suka ketika teman-teman kelasnya selalu bilang bahwa Dokyeom sukad bekerja keras untuk menarik perhatiannya, bahwa mereka salut dengan cowok itu, bahwa seharusnya Jiya menerima saja cinta Dokyeom. Padahal, yang mereka dapat tangkap dengan apa yang sebenarnya Dokyeom lakukan adalah sesuatu yang sangat berlawanan.
Jiya sudah sering bilang bahwa ia sama sekali tidak tertarik dengan siapa pun di kelasnya, apalagi Dokyeom. Lagipula, ia dan Dokyeom sudah saling mengenal sejak kecil. Mereka saling mengenal, tapi bukan berarti mereka berteman dekat apalagi bersahabat. Jiya bahkan tidak pernah merasa bahkan menganggap seorang Dokyeom ini ada di kehidupannya. Jahat? Memang. Jiya akan menjadi orang paling jahat jika menyangkut Dokyeom. Karena Dokyeom juga sudah terlalu jahat kepadanya.
"Ji..." Sebuah suara, yang hanya memanggil sepenggal namanya, berhasil membuat punggung Jiya menegak.
"Aku gak tau, mau sampai kapan kamu ngediemin aku kayak gini." Dokyeom duduk di bangku depan Jiya. Menatap intens mata yang juga sedang menatapnya.
Jiya hanya diam mendengar ucapan Dokyeom yang sudah kesekian kali diulanginya. Hanya menatap tajam dengan pandangan tidak suka. Hanya itu yang selalu Jiya lakukan.
"Aku cuma gak pengen kamu ngerasa sendirian lagi, Ji. Kamu tau itu." Dokyeom tersenyum, tulus.
"Gue gak tau, dan gak pernah minta itu dari lo. Lo juga tau itu." Jiya berdiri. Baginya, melihat Dokyeom dalam jarak sedekat ini saja sudah membuatnya bosan, membuatnya muak dan marah dalam waktu yang bersamaan.
"Aku tau aku udah buat kesalahan paling fatal buat kamu. Tapi please, maafin aku, Ji." Permohonan maaf yang ke sekian ribu kali itu pun tetap diabaikan oleh Jiya.
Jiya berdiri, masih menatap tajam Dokyeom yang sekarang menatapnya dengan mata memerahnya.
"Gue gak bakal lupain kesalahan lo itu. Sampai kapan pun." Final. Jiya telah mengatakan finalnya sebanyak Dokyeom mengatakan maafnya.
Jiya sudah akan berbalik ketika tangannya dicekal dengan lembut tapi kuat oleh Dokyeom.
"Aku mohon, Ji. Aku gak mau terus-terusan ada di keadaan kayak gini. Aku mohon!" Dokyeom berlutut di depan Jiya sambil menggenggam salah satu tangan cewek itu.
"Lo pikir gue mau kayak gini?" Jiya mengangkat sebelah bibirnya. "Lo pikir gue bisa dengan gampangnya hidup kayak gini? Hidup karena kasih sayang orang lain yang bahkan gue sendiri gak tau siapa mereka? Lo pikir gue mau kayak gini?" Jiya berusaha melepaskan genggaman Dokyeom di tangannya.
"Ji, aku mohon, maafin aku.."
Mata Jiya memerah, menandakan bahwa cewek itu sudah benar-benar tidak tahan dengan segala tingkah Dokyeom.
"Aku akan lakuin apapun yang kamu mau, Ji. Apapun itu, aku mau. Asal kamu maafin aku setelahnya." Mohon Dokyeom.
Jiya tertawa sarkas. Tertawa karena ucapan Dokyeom yang selalu seenaknya. Dia benci dengan Dokyeom yang selalu tertawa lepas seperti tanpa beban sedangkan dia tidak, bahkan untuk tersenyum pun dirinya sangat susah. Dia benci dengan Dokyeom karena ia dengan mudahnya mendapatkan teman, mendapatkan kasih sayang, dan kebahagiaan sedangkan dia tidak. Dia benci ketika melihat Dokyeom dengan kedua orang tuanya, tertawa bersama di ruang tengah karena acara konyol. Dia benci dengan Dokyeom yang tidak pernah terlihat salah walaupun cowok itu yang sebenarnya telah merusak hidupnya, hidup sebatang karanya. Dia benci dengan semua yang telah Dokyeom lakukan padanya.
"Apapun, Ji, Kamu mau apa? Bilang Ji sama aku!"
"Lo mau gue maafin?" Tanya Jiya dengan suaranya yang datar.
Dokyeom mengangguk.
"Pergi dari hidup gue. Dan biarin gue pergi. Itu cukup."
----------------------------------------------------------------------
Hai semuanya! :)
Aku lagi gak mau yang bertele-tele. Pokoknya, kasih review kalian tentang cerita ini. Gantung? Memang, aku lebiih suka buat cerita gantung kayak gini. jadi jangan protes ya hehe.
Aku tetep berharap kalian suka sama cerita ini. Karena, aku udah dengan sepenuh hati udah ngetik cerita yang mungkin menurut sebagian dari kalian, hasilnya failed.
Maaf kalau cerita ini gak memuaskan dan gak ngena. Maaaaaffffff banget.
Btw, kalo aku udah ngasih note yang agak serius kayak gini, berarti aku lagi agak serius juga ya... (apaan sih-_-) ya pokoknya gitulah hehehe.
Yaudah deh gitu aja. Sorry for typo's). Read,Vote, and Comment! Terima kasih :)
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN
FanfictionStories of all SEVENTEEN's member. Jangan banyak berharap sama fanfiction ini, karena authornya labil, bisa jadi ff ini juga labil. Karena semua cerita di sini berawal dari sebuah kelabilan. Read enjoyly! xx