"Please.." (Dokyeom)

156 17 4
                                    

Suara mobil yang digas dengan begitu kencang terdengar, memekakan telinga gadis kecil dalam gendongan Ibunya. Jiya tertidur, kelelahan akibat perjalanan jauhnya dengan keluarga untuk menuju ke sini dengan berpindah-pindah bus sebanyak empat kali. Gadis umut tujuh tahun itu mengalungkan erat lengannya pada leher sang Ibu, tidak ingin rasanya melepaskan kehangatan itu.

Tapi tidurnya semakin terusik kala mereka sampai di depan gerbang rumah teman lama Ayah, suara mobil yang digas itu semakin terdengar berisik dan membuatnya terbangun.

Belum sempat dia bertanya, Ibu dan Ayahnya sudah berteriak kencang.

Dan yang dia lihat terakhir kali saat itu adalah, Ibu dan Ayahnya yang tengkurap di jalanan dan bergelimang darah. Lalu suara seruan-seruan lain muncul memenuhi telinganya.

--------

"Ji... Jiya, sayang...."

"Hah!"

Jiya terbangun dari tidurnya, tersentak karena mimpi itu lagi. Trauma yang sampai sekarang masih mendarah daging.

Keringat dingin sebesar biji jagung bercucuran dari dahinya, membasahi sekujur wajah dan beberapa helaian rambutnya yang menjulur ke depan.

Jiya menggapai gelas air di nakas, meminum isinya hingga tandas. Tapi nafasnya tidak juga teratur.

Sudah delapan tahun lamanya, tapi dia masih belum melupakan kejadian itu sama sekali. Kejadian di mana kebahagiaannya terenggut oleh kecerobohan seorang anak lelaki yang rasa ingin tahunya kelewat tinggi.

Seorang anak lelaki, yang menyebabkan dirinya menjadi sedingin es batu yang tanpa pernah mencair.

Yang menyebabkan kedua orang tuanya meninggal, karena percobaan bodohnya untuk mengendarai mobil baru Papanya.

Anak lelaki tolol yang menyebabkan hidupnya tidak pernah bahagia.

Jantung Jiya berdetak kencang, sakit sekali rasanya di dalam sana. Sakit sekali saat tahu, pilihan terakhir yang dia punya adalah tinggal bersama keluarga orang yang sudah tidak sengaja membunuh kedua orang tuanya-satu-satunya harta yang dia punya-.

Sakit sekali saat tahu bagaimana anak lelaki itu menghampirinya dulu, dengan wajah penuh air mata, sedangkan dia, untuk mengerti situasi orang tuanya saja susah. Untuk paham bagaimana keadaan orang tuanya saja, dia sungkan.

Sedangkan anak itu, tiba-tiba datang padanya, memeluknya dengan erat, dan mengucapkan kata maaf berkali-kali. Tanpa dulu dia tahu, kalau anak itu yang sudah merenggut satu-satunya yang dia punya.

--------

Jiya selesai mengikat tali sepatunya dan berniat berdiri, sebelum tiba-tiba lutut kakinya terasa kram.

"Aw-" jeritnya tertahan.

Saat memaksakan berdiri, dia justru terduduk ke belakang karena lutut yang tidak bisa diluruskan sama sekali.

"Apaan sih, ini," Gerutunya sambil menahan.

Jiya masih mencoba meluruskan kakinya, tapi tetap tidak bisa.

"Kenapa duduk di situ, Ji?"

Suara berat dari belakangnya membuat Jiya menoleh. Dia menarik bibirnya sekilas saat melihat Papa dari Dokyeom berjalan ke arahnya. Lalu dia menggeleng.

"Kakimu sakit?" Tanyanya.

Jiya lagi-lagi menggeleng dan mencoba meluruskan kakinya. Dengan sekuat tenaga mengontrol ekspresi kesakitan pada wajahnya.

"Om panggilin Dokyeom, ya, biar bantuin kamu berdiri,"

"Nggak Om, nggak usah," cegah Jiya.

"Tapi Ji-"

SEVENTEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang