"Like I Said Before" (Vernon)

342 37 14
                                    

Bukan karena hujan dia berdiri di bawah lindungan payung biru tua yang digenggamnya erat. Bukan karena udara yang dingin dia mengenakan jaket tebal yang membuat badannya hangat.

Tidak ingin, bahkan tidak ada sedikitpun niatannya untuk menghindari serangan air hujan yang datangnya tidak tiba-tiba itu. Tapi entah kenapa, tangannya tiba-tiba menggapai dua benda tersebut, yang jelas-jelas tanpa niat untuk menggunakan keduanya sebagai pelindung.

Vernon hanya tidak tahu dia melakukan ini untuk siapa, yang pasti sebelum ini dia sangat tidak suka menggunakan payung.

 Vernon berdecak, menatap gerbang sekolahnya yang telah ditutup sempurna dan dikunci dari dalam. Sudah tidak ada celah untuk bisa masuk ke sana. Vernon merutuki kemacetan akibat genangan air di jalur yang tadi silaluinya, sial!

Walaupun Vernon tahu yang dia lakukan tidak akan berhasil, Vernon tetap berjalan mendekati pagar, mengguncangnya dua kali dengan tangannya yang bebas, memberi tanda bahwa ada orang di luar sekolah yang butuh masuk untuk menuntut ilmu. Tapi jelas seperti yang di tahu, tidak akan ada sahutan dari dalam, dan memang tidak ada sama sekali kecuali bunyi air hujan yang menimpa asbes yang digunakan sebagai atap pos satpam, satu-satunya berisik yang bisa dia dengar. Dia tahu, konsekuensi untuk yang sudah terlambat, lewat dari sepuluh menit kompensasi yang seharusnya.

Suara dari sepatu yang menghentak genangan air mengalihkan atensi Vernon dari pagar menjulang di depannya. Berisik, suara seruan yang agak teredam bunyi hujan itu masih sangat jelas didengarnya.

Jangan tutup dulu dong!

Pak buka dulu, Pak!

Padahal dia yakin, jarak gerbang dengan orang yang dari tadi berseru itu lumayan jauh.

Vernon menoleh saat dilihatnya bayangan di sebelah kanannya. Seorang cewek dengan keadaan basah kuyup tanpa payung, mengguncang gerbang dengan nafasnya yang terdengar putus-putus. Mungkin akibat berlari.

Dengan basah yang segininya, dia mau memaksakan masuk sekolah?

"Vernon kok lo diem aja, sih?! Bantuin gue dong!" Ucap cewek itu tanpa menoleh, dia jelas tahu siapa cowok yang memegang payung itu. Teman sekelasnya, jelas saja.

Vernon mendengus. "Mau lo gebrak-gebrak ni gerbang sampe ujan berenti juga, gak bakalan dibukain. Lo gak hafal peraturan sekolah, ya?" Nada malas sekaligus jengkel terdengar.

"Tauuu, tapi kan kita ada ulangan kimia nanti abis istirahat." Cewek itu menunduk.

Vernon menyipitkan kedua matanya, berekspresi. Jika saja cewek di sebelahnya ini melihat, sudah bisa dipastikan bahwa dia akan menggelepar. Karena, Vernon tanpa wajah datar, bukanlah Vernon. Lagipula, semua orang juga setuju kalau wajah Vernon jauh di atas kata tampan. Sangat. Dan sangat sangat.

"Lo juga gak bakalan diizinin masuk kelas dengan keadaan basah kuyup gini, Ta."

Tasya diam, mulai mematai baju dan seluruh badannya yang memang basah kuyup, bahkan sepatunya juga. Bersyukurnya tasnya anti air, kalau tidak ya, sudah bisa dipastikan dia akan mati suri.

Vernon mematai jam tangannya sekilas. "Ini udah lewat lima belas menit dari kompensasi keterlambatan."

Tasya menoleh, wajahnya memelas. "Terus gimana, dong?" Suaranya pelan, sarat akan ketakutan dan kekhawatiran.

"Pulang." Vernon mengangkat kedua bahunya lalu balik badan, berencana pulang. Toh, mamanya juga tidak akan marah, karena ini murni ketidak sengajaan karena hujan.

"Gue gak bisa pulang,"

Vernon tidak jadi melangkah, seperti kedua kakinya ditahan erat oleh tempatnya berpijak setelah Tasya mengucapkan cicitan yang masih bisa didengarnya.

SEVENTEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang