(3)

5.5K 621 31
                                    

"No, no, no it can be!" teriak Darwin buru-buru mendekat, sementara Ibrahim segera menuju ke monitor induk yang memantau semua keadaan vital para sampel.

"Ada apa ini?" tanya Ibrahim.

"Kita tidak membuat sistem untuk mengalirkan Oblivio dengan ukuran setengah, Pak," terang professor wanita bertubuh kecil bernama Helen sambil membetulkan posisi kacamatanya. "Jarumnya tidak mau keluar jika kita tidak menghabisi isi selangnya."

Darwin menghampiri Ibrahim yang mulai berkeringat dingin. "I think there's no other way. We just have to finish the stream."

"Tapi ini berbahaya, Pak. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada pasien," sela Helen.

Ibrahim terdiam sejenak dan memandangi monitor induk, memperhatikan angka-angka sel kanker yang ada. "Paling tidak kita akan kehilangan setengah dari mereka," sahut Ibrahim, menyadari sebagian dari pasien belum menunjukkan pengurangan sel kanker dengan signifikan. Di samping, hampir setengah di antara mereka memang menunjukkan hasil yang cukup memuaskan.

"Finish the stream!" teriak Ibrahim pada akhirnya. Michael sang asisten professor senior segera kembali menekan tombol-tombol di komputernya, menyelesaikan perintah pada sistem dengan menyentuh tombol enter di layar.

Oblivio di selang kembali mengalir ke tubuh para sampel hingga habis. Selang-selang pun secara otomatis menarik jarumnya keluar dari lengan sampel, kemudian bergerak masuk ke dalam tempat tidur dan tak terlihat lagi.

Lampu di kamar kaca kembali berwarna putih dan ruang monitor pun kembali terang. Keadaan hening. Masing-masing masih memantau komputer virtual di hadapannya.

"Thanks God!" Darwin bersyukur tidak ada kejadian buruk setelah proses diselesaikan. Tak ada perubahan signifikan sebelum dan setelah mereka menyelesaikan setengah aliran yang tidak direncanakan itu.

Sorak sorai kemudian merebak di antara kedua tim, selangkah lagi mereka berhasil menemukan obat yang sangat berarti untuk ilmu kedokteran. Darwin dan Ibrahim kembali memantau keadaan para pasien, dan menemukan beberapa di antaranya dalam kondisi yang memburuk.

"Let's talk a minute," bisik Darwin, mengajak Ibrahim berjalan ke sisi ruangan yang lebih sepi. Keduanya bicara dengan serius, sempat terlihat ekspresi wajah Ibrahim berubah kaget. Darwin memegang bahu Ibrahim sambil meneruskan perkataannya. Ibrahim menengok ke arah tim dan kamar kaca di mana para pasien masih tak sadarkan diri. Kemudian mengangguk.

"Michael!" panggil Darwin.

Michael segera menghampiri, mendengarkan baik-baik instruksi yang Darwin berikan. Sama seperti yang terjadi pada Ibrahim beberapa saat lalu, ekspresi wajah Michael sempat berubah pucat pasi sebelum akhirnya mengangguk dan kembali ke tempatnya.

"Baiklah, kita sekarang bisa beristirahat. Cukup dua orang yang tinggal, sejam lagi bergantian istirahat. Kamu yang standby, Helen?" tanya Ibrahim pada Helen yang tak bergerak keluar ruangan.

"Iya, Pak!" jawab Helen, "Saya dan Michael yang standby." Wajahnya memerah. Sejak masih hanya berkomunikasi lewat e-mail dan video call, Helen memang sudah tertarik dengan Michael dan tampaknya Michael memberikan warna lampu yang sama.

"Hi!" Sapa Michael ramah, sedikit kikuk karena ini pertama kalinya mereka bertemu secara langsung.

Melihat ekspresi Michael, Helen tak ragu sedikit pun untuk memulai percakapan. Untuknya ini kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu. Umurnya sudah menyentuh angka dua puluh tujuh, dan Michael adalah pria yang sempurna untuk dijadikan calon suami.

"Helen, can you get me some coffee?" tanya Michael di tengah-tengah obrolan mereka.

Entah mengapa Helen merasa sejak tadi Michael selalu melirik ke jam di tangannya. "Ofcourse, wait a minute," sahut Helen kemudian, dengan langkah pendek-pendek langsung menuju dapur yang terletak di pojok kanan Lab.

JAKARTA'S RUINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang