Albert tahu yang Angga lakukan adalah menyelamatkan semua yang ada di mobil, daripada menegurnya dan menghabiskan waktu percuma ia memilih untuk menekan tombol di earphone-nya, "Adam. Lusi? Kalian di tempat aman? Apa kalian baik-baik saja?"
Lusi terdiam, memandangi ruangan di sekelilingnya. Di telinganya suara Albert memanggil. Tepat di belakang Lusi, Adam berjalan mundur, pistol terus siaga di tangannya. Kini mereka berada di dalam laboratorium tempat penelitian Oblivio dilakukan. Tempat yang sudah tak jelas bentuknya ini menyisakan darah kering dan pecahan kaca di mana-mana.
Lusi meringis melihat sebuah layar kaca yang ia duga adalah layar kaca komputer, pecah di salah satu bagian dan dari bentuknya jelas adalah bekas gigitan, ditambah darah kering ada di sana.
"Saat ini aman." Walaupun ragu, Adam menjawab panggilan Albert semampunya. "Kami ada di dalam laboratorium yang hancur berantakan."
Albert melirik ke arah Helen yang juga tengah menyimak jawaban Adam. "Dimana laboratorium?"
"Di bawah tanah," jawab Helen, tiba-tiba mengingat sesuatu. "Di pojok kanan laboratorium tak jauh dari rak berkas ada sebuah pintu." Ia menekan tombol earphone-nya sehingga Adam dan Lusi mendengar suaranya. "Itu sebuah toilet, tidak terlalu besar, tapi ku rasa di sana aman." Ia terdiam, mencoba mengingat sesuatu. "Ya benar, saat kejadian aku rasa tak ada yang di dalam toilet," ucapnya yakin. "Jika darurat, bersembunyilah di sana," tambahnya.
Mungkin Adam mendengar saran Helen sebagai sebuah bantuan, tapi tidak dengan Lusi yang langsung mengerti apa yang sedang terjadi. Ia segera menekan earphone-nya, "Kalian meninggalkan kami?" dugaannya ternyatar benar. Ia sudah berfirasat bahwa dirinya sedang ditinggalkan semenjak ia dan Adam beberapa menit lalu kembali ke ruang istirahat namun tak ada siapa pun di sana, termasuk tas mereka.
Angga memberhentikan mobil di depan sebuah gedung bank swasta yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah sakit. Mematikan mesinnya dan menengok ke arah Albert.
"Keadaan terlalu berbahaya saat ini. Bagus kalau kalian bisa menemukan tempat aman," jawab Albert.
"Sekarang kalian dimana?" Adam berusaha tetap tenang.
"Di depan gedung tak jauh dari rumah sakit. Kami menunggu kondisi kondusif untuk kembali menjemput kalian."
Mendengar jawaban Albert, Adam menundukkan kepala dan memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya membukanya lagi.
"Kami tunggu kabar selanjutnya," sahut Adam, langsung disambut tatapan sinis dari Lusi.
"Mereka meninggalkan kita!" protes Lusi.
Adam berjalan mendekat, "Aku tahu, tapi apa kamu tadi tidak dengar berapa kali bunyi tembakan? Bisa jadi puluhan Obs yang mengejar mereka. Albert pasti sudah memperhitungkan apa yang harus ia lakukan."
"Ch!" cibir Lusi, "Kau percaya padanya? Pada orang yang baru kau kenal?" Matanya terlihat merah oleh emosi.
Adam menggeleng, "Aku tidak percaya pada siapa pun di tim, termasuk kamu." Ia membanting tubuhnya duduk di lantai. "Tapi ini bukan waktunya untuk percaya atau tidak percaya," lanjutnya, "Ini saatnya mempertahankan keselamatan diri sendiri, dan jika di posisi Albert kita pun akan melakukan hal yang sama." Kali ini Adam melemparkan padangan tajam ke arah Lusi yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. "Jika itu dirimu, kamu pasti akan melakukan hal yang sama seperti Albert, kan?"
Lusi terdiam, hanya menghela nafas kencang lalu kembali melihat ke sekeliling. "Ini laboratorium tempat penelitiannya?" Ia mengalihkan pembicaraan.
"Sepertinya begitu." Adam kembali berdiri dan berjalan ke arah kamar kaca yang berjajar di pojok laboratorium. "Benar-benar berantakan. Aku tak bisa membayangkan saat kekacauan ini terjadi." Ia kemudian berhenti melangkah dan kembali memejamkan mata, terasa perih di hatinya, terbayang bagaimana anak dan istrinya mengalami hal ini. Rasa sesal terus membengkak dan semakin bernanah di hati.
Lusi mengalihkan pandangan dari Adam yang tiba-tiba terlihat 'sekarat' mental ke sebuah map merah di atas meja. Ia membuka map yang ternyata adalah kumpulan berkas dari para pasien yang menjadi objek penelitian. Lembar demi lembar ia buka, di tiap lembarnya ada foto dan data diri lengkap para pasien, seperti nama, alamat, jenis kelamin dan sebagainya. Yang paling mengiris hati adalah catatan tambahan yang ada di pojok kiri di tiap lembar, ditulis tangan dengan tinta hitam, yaitu berapa lama pasien menunggak biaya rumah sakit.
Ia berhenti di salah satu halaman, memandang foto salah satu pasien yang bernama Suryana. Dahinya berkerut dan matanya menyipit, mencoba mengingat di mana ia melihat orang ini. "Hah!" Ia buru-buru menekap mulutnya yang terbuka lebar, "Ya ampun!" pekik Lusi ketika mengingat wajah pria ini adalah Obs yang menarik kaki Joko di malam sebelum mereka tiba di rumah sakit.
Tanpa disadari Adam sudah berdiri di sebelahnya sejak tadi, memandang ke berkas yang Lusi pegang. Ia juga ingat wajah pria ini karena dengan jelas ia menghadapinya saat berusaha menarik Joko ke dalam mobil sekuat tenaga, meskipun dalam ingatannya wajah pria ini sudah jauh lebih tak berbentuk dan berantakan. "Obs murni, begitu orang-orang menyebut kumpulan pasien yang menjadi awal dari semua monster di Jakarta ini."
"Iya. Sepertinya mereka sudah benar-benar menyebar, pria ini saja sudah sangat jauh dari sini." Tunjuk Lusi ke foto Suryana.
Keduanya terdiam, kembali membalik-balik berkas di atas meja saat kemudian terdengar suara benda berderak. Adam menengok ke pintu kamar kaca yang memang sudah terlihat tak pada posisinya sejak ia masuk laboratorium. Benar saja pintu kaca itu terlihat bergerak menjauh dari ikatan engselnya. Lusi tidak menyadari pintu yang tepat di belakang tubuhnya itu mengarah ke tubuhnya.
"Masya Allah!" teriak Adam begitu kaca setinggi dua setengah meter itu bergerak jatuh, buru-buru menarik Lusi yang hampir tertimpa, kaca jatuh menghantam meja komputer yang semula ada di hadapan Lusi.
Lusi terjatuh di lantai, kepalanya terbentur cukup keras dan pinggangnya tergores ujung pecahan layar komputer yang ada lantai. Ia meringis kesakitan menyadari jaket serta t-shirt-nya robek dan darah mengalir dari pinggangnya. Adam di sebelahnya, berbaring dan berusaha menarik kakinya yang tertimpa besi meja yang patah karena tak mampu menahan beratnya pintu kaca yang menghantam permukaannya. Ia mengangkat tubuhnya duduk, pelan-pelan memundurkan badan sehingga kakinya keluar dari bawah kaki meja yang patah.
Lusi sudah berhasil berdiri, dan menyadari satu real-time camera-nya yang dipasang di lengan pecah saat ia terjatuh, ia mengecek dua yang lain. Nampaknya masih berfungsi cukup baik.
"Apa itu?" tanya Adam yang baru berhasil berdiri dengan kaki kiri tak menapak ke tanah.
Lusi mendengar suara gemuruh yang Adam tanyakan. "Obs!" pekiknya, baru ingat bahwa jatuhnya pintu kaca dan patahnya meja yang tertimpa menimbulkan bunyi yang cukup kencang, yang memancing para Obs untuk datang.
"Sebelah rak berkas!" Adam mendorong punggung Lusi untuk berlari ke pojok ruangan, ingat kata-kata Helen beberapa menit lalu.
Lusi buru-buru membuka pintu toilet dan masuk ke dalamnya, Adam berdiri sejenak di ambang pintu toilet, memandang ke arah pintu laboratorium yang jauh di seberang mereka. Memang benar terlihat ada beberapa Obs yang masuk, gemuruh yang tadi didengar adalah langkah mereka. Buru-buru ia masuk ke dalam toilet dan menutup pintunya perlahan. Mengunci pintu toilet yang hanya seluas sekitar empat meter itu sampai terdengar bunyi klik beberapa kali.
V[�fi�p
KAMU SEDANG MEMBACA
JAKARTA'S RUIN
Science FictionBeberapa part di private. Follow account terlebih dahulu. Apakah kau bisa bertahan hidup? Ketika dikirim ke sebuah kota yang hancur dan membahayakan nyawamu? Jakarta. Cover by @ReiFaldi & @Arisyifa92 Highest Ranks #3 in Science Fiction (10.04.2016)