"Feeling better?" ucap Angga cukup pelan, tepat di samping Lidia.
"Ya," jawab Lidia, kemudian menengok ke belakang dan kembali menatap lurus kedepan, "Ku rasa duka yang ku rasa kemarin tak sebanding dengan apa yang Lusi rasakan."
Kini Angga yang menengok ke belakang kemudian kembali menatap Lidia. "Lusi?"
"Ya, Lusi." Jawaban Lidia diiringi helaan nafas berat. "Kau sendiri pasti sadar, di antara kita semua, Lusi yang paling dekat dengan Joko."
Angga menundukkan kepala, menatap ke ujung sepatunya yang sedang melangkah. "Joko. Anak itu, masih sangat muda. Tak harusnya hidupnya setragis itu."
"That's why, love called blind," cetus Lidia iba.
"Cinta?" Angga terlihat setengah geli, membuat Lidia meliriknya dengan dahi berkerut.
"Hei!" teriakan Albert memusatkan perhatian. Ia berdiri di samping mobil dengan kedua tangan di pinggang. Terlihat frustasi. Lidia buru-buru berlari menyambanginya.
"Oh, no!" keluh Helen, yang berdiri tepat di samping Albert.
Lidia menatap wajah Helen. "Ada apa?"
"Kita kehabisan bensin," jawab Helen.
Mata Lidia menyapu ke sekeliling, ada satu mobil tak bertuan yang terbuka pintunya, sekitar sepuluh meter di depan. Lidia berlari kecil menyambangi mobil yang dari kejauhan terlihat masih cukup bagus. Di ujung matanya Angga mengawasi.
"Mungkin pemiliknya diserang Obs." Teriak Lidia, mengulurkan tangan memegang pintu mobil.
Lidia mengulurkan tangannya untuk membuka pintu mobil saat terdengar sebuah ledakan terdengar tak jauh dari tempat mereka. Kepulan asap membumbung di langit. Keenam dari mereka terdiam di tempat, tercengang dan melotot. "Apa itu?" gumam Helen, masih menatap langit.
Gemuruh terdengar, kali ini bukan suara ledakan. Masing-masing memasang kuping dan mengamati suara yang asing ini. Langkah kaki, kaki berlari, bukan sepasang kaki, melainkan puluhan. Gemuruh itu berasal dari langkah kaki puluhan Obs yang berlari ke arah mereka. Keenam-nya panik tak bergerak, hingga Angga berlari ke Lidia dan menarik tangan gadis itu. Segera setelah kesadarannya kembali Albert langsung berteriak, "Lari!" dan mereka langsung berlari secepat yang mereka bisa untuk menghindar.
Angga masih menggenggam tangan Lidia erat-erat, Helen kebingungan, tanpa kacamata pandangannya sangat buruk. Albert satu-satunya yang menjadi tuntunan Helen selama berlari, tubuhnya tinggi besar sehingga Helen tak benar-benar kehilangan pandangannya terhadap Albert. Lusi berkeringat, wajahnya memerah karena panik. "Adam!" teriaknya. Adam menengok dan mengulurkan tangannya.
Bom lain meledak beberapa ratus meter dari posisi mereka, tebalnya asap mengalangi penglihatan. Langkah-langkah terdengar semakin bergemuruh, Lusi tak bisa melihat siapapun termasuk dirinya sendiri. Bahunya tertabrak ke kanan dan ke kiri. Entah Obs macam apa yang baru saja menabrak dan melewatinya begitu saja. Mereka juga panik karena bom, pikiran itu yang membuat Lusi memutuskan diri untuk berhenti berlari. Ia berjongkok terdiam, memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Menutup matanya lekat-lekat.
Sesuatu menyentuh kedua bahunya. Lusi mengangkat kepala dan membuka sedikit matanya. Ia tak bisa melihat siapa yang ada di depannya, tapi ia kenal dengan jelas suaranya. "Lusi." Menyembut namanya. Samar, Lusi melihat sebuah tangan mengulur ke arahnya. Segera Lusi menggenggam tangan itu dan berdiri, dan kembali berlari mengikuti langkah Adam.
Mereka keluar dari gumpalan asap yang menyakitkan mata, sekarang Lusi bisa tahu kalau ia sedang berlari memasuki pintu tol. Sambil tetap melangkah, Lusi menengok, di kejauhan terlihat cukup banyak mayat yang tergeletak berantakan di antara reruntuhan bangunan di sekitarnya. Permukaan tanah retak dan pohon-pohon tumbang. Bom tadi menghancurkan paling tidak satu wilayah kelurahan. Lusi menarik pandangannya dari kekacauan itu, menggenggam tangan Adam lebih erat dan menyadari kalau mereka masuk ke dalam deretan pepohonan yang cukup banyak, di pinggir jalan tol.
Kakinya tergores ranting-ranting dan beberapa kali melihat kadal melintas lewat di samping tempatnya berpijak. Lusi masih terus berlari, mengikuti langkah Adam yang malah tiba-tiba berhenti dan melepaskan tangannya. Lusi memandang ke arah depan, dua Obs dengan darah hitam di seluruh lengannya membuka mulutnya lebar-lebar dan menggerak-gerakkan kepalanya ke arah mereka.
"Sssh!" Adam meletakkan telunjuknya di depan bibir dan Lusi segera mengangguk. Sementara Adam bergerak perlahan, mencoba meraih sebuah dahan pohon yang hanya dua meter di samping kakinya, Lusi terdiam bak patung. Sedikit saja kaki Adam bergerak, Obs di depan mereka bergerak lebih maju.
Nafas Lusi tertahan di tenggorokkan, ia menyadari ada yang datang mendekat dari arah belakang, "A, Adam!" teriaknya, lalu bergerak memutar badan 180 derajat. Melepas ransel di punggungnya dan mengayunkannya ke Obs wanita kantoran tanpa telinga kanan yang hendak menyergapnya, ransel di tangannya ditarik dengan kasar. Lusi berusaha menahan tapi tubuhnya justru terpental, terlentang mengenai akar pohon. Adam buru-buru mengibaskan dahan pohon yang ada di tangannya. Tepat di wajah Obs wanita yang mencengkram lengan Lusi dengan kuku tangannya yang hitam. Lusi menjerit kencang.
Dahan di tangannya cukup berat untuk diayun, Adam memilih melemparkan dahan itu sekuat tenaga dan mendarat tepat di dada Obs. Obs lain, yang pertama mereka lihat sekarang mencengkram bahu Adam dan mengeram. Mulutnya mengeluarkan darah hitam yang mirip tinta. Adam mencengkram balik tangan Obs tersebut dan mendorongnya ke arah Obs wanita yang tengah berusaha bangkit. Obs dengan tangan hancur tadi menggigit kepala Obs wanita di depannya.
Di sela kanibal sesama Obs, Adam membantu Lusi untuk berdiri dan menjauh. Bersyukur tas ranselnya tak robek, Lusi segera menyeretnya berlari bersamanya. Akar pohon tadi mengenai pinggangnya, membuat luka Lusi kembali robek dan darah membasahi bajunya. Adam menarik tangannya, namun Lusi bergeming. "Dia masih mengejar!" teriak Lusi, "Masih ada peluru di pistolku!" Dengan meringis menahan sakit Lusi mengangkat tangannya dan mengarahkan tembakan pada Obs yang baru saja memakan wajah Obs wanita tadi.
Tembakan pertama mengenai tepat di kepalanya, tembakan ke dua di dada. Obs itu terpental jatuh di antara rerantingan. Lusi tak bisa merasakan tangannya, senjatanya jatuh dari tangan dan tubuhnya jatuh ke tanah. Tak ada yang bisa ia dengar selain suara Adam yang tengah memanggil-manggil namanya.
Albert terus melihat ke arah luar namun tak ada lagi yang datang. Hanya ada Helen dan Lidia, dan mereka bertiga kini bersembunyi di dalam sebuah mobil di basement sebuah gedung. Pemilik mobil ini sepertinya mayat yang tergeletak membusuk tepat di samping mobil ini diparkir, karena ia yang memegang kuncinya dan Albert mengambilnya dari tangannya. "Bukannya tadi Angga bersamamu?" Helen menilik ke arah Lidia yang wajahnya terlihat pucat.
Lidia menggeleng, "Ia melepas tanganku dan mendorong ku saat bom ke dua." Wajahnya terlihat penuh ke khawatiran. Albert terus berusaha memanggil yang lain lewat earphone namun perangkat itu kini tak berfungsi.
"Sial! Ada apa ini!" umpatnya memukul kemudi mobil.
"Albert, jangan dipukul! Kalau rusak bagaimana!" bentak Helen.
Lidia mengeluarkan ponselnya dan mencoba membuat panggilan ke Kementerian namun gagal. "Tidak ada sinyal." Gelengnya, berita terakhir yang masuk di e-mail-ku adalah," ia terdiam sejenak, wajahnya tegang.
"Ada apa?" tanya Helen.
"Sebuah video tentang tim kita tersebar di youtube," jawab Lidia berat. "Bagaimana bisa?"
"Video?" pekik Albert tak percaya.
"Pemerintah akan mengunakan lebih banyak bom untuk mengurangi jumlah Obs, mereka pasti tengah menyangkal keberadaan tim kita," gumam Helen mencuri baca e-mail yang ada di layar tablet Lidia, kemudian menyandarkan bahunya. "Tamat sudah riwayat kita," ujarnya lemas.
"Kita semua dikirim untuk mati," ucap Lidia membuat Helen melirik ke arahnya.
"Kau tahu soal hal ini sebelumnya?" tanya Helen.
Lidia mengangguk, "Misi ini tak boleh diketahui publik apalagi Negara lain. Jika pemerintah terancam, satu-satunya bukti yang mengancam harus dimusnahkan."
"Shit!" teriak Helen. "Jadi sekarang mereka memutuskan semua sinyal dan menjatuhkan bom di mana-mana, tak mempedulikan keberadaan kita?"
Tak ada yang menyahut, Albert sudah menduga kalau hal seperti ini juga akan terjadi. Namun entah mengapa saat sekarang ia benar-benar harus menghadapinya, ia merasa semua ini benar-benar tidak manusiawi. Anggota timnya terlalu berharga untuk mati sia-sia.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAKARTA'S RUIN
Science FictionBeberapa part di private. Follow account terlebih dahulu. Apakah kau bisa bertahan hidup? Ketika dikirim ke sebuah kota yang hancur dan membahayakan nyawamu? Jakarta. Cover by @ReiFaldi & @Arisyifa92 Highest Ranks #3 in Science Fiction (10.04.2016)