(17)

2.9K 406 19
                                    

Obs wanita ini mungkin baru berumur sekitar sembilan belas menjelang dua puluh tahun. Berambut keriting pendek seleher, wajahnya melepuh namun tak sehancur Obs-Obs lain yang mereka temui sebelumnya. Hanya beberapa lubang di pipi, dagu dan dahi. Matanya hitam namun tak pekat, tak ada darah hitam yang keluar dari matanya. Yang paling membedakan adalah gerakan kepalanya yang tak terbata-bata ketika menengok ke arah Angga.

"Namanya Desi." Lidia memperkenalkan, namun Angga tak tertarik untuk menjabatkan tangannya.

"Teruskan!" ucap Lidia kemudian pada Desi.

"Aku hanya memakan apapun yang ada di lemari es di setiap perkantoran. Atau tempat apapun yang aku temui," jawabnya dengan suara yang berat dan bergetar.

"Ada beberapa yang sepertimu?" tanya Lidia.

Ia menggeleng, "Kalaupun ada akan sulit mengenali satu sama lain. Mungkin penglihatan mereka pun kabur seperti aku. Aku hanya mengandalkan penciuman dari hidung dan pendengaran dari telinga yang masih cukup baik."

Selain suara parau Desi yang terdengar di lorong ini hanya bunyi lampu neon menyala dan mati lagi terus menerus karena korslet. Angga terus memperhatikan Desi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Namun perhatiannya seketika terlalih ketika melihat dari jendela, di bawah sana, di lapangan parkir depan gedung, mobil timnya sudah tidak ada.

"Kalian pergi kemana?" buru-buru Angga menekan earphone-nya dan bertanya.

"Kami harus ke arah Gedung DPR, ada mobil militer yang patroli membawa orang-orang yang selamat di sana," sahut Helen, sambil menengok ke arah Lusi yang sekarat di sebelahnya, terlihat buram karena tak menggunakan kaca mata. "Lusi harus dipulangkan, keadaannya gawat." Lanjutnya, kini melihat ke arah Adam yang basah kuyup di kursi belakang, terengah karena kelelahan.

"Baik kalau begitu, kami tunggu di gedung," jawab Angga, kembali melemparkan pandangan pada Lidia.

"Tunggu, sejam lagi kita kembali," balas Helen.

Lidia memandang Angga dan mengangguk. "Its ok!" katanya. Meneruskan obrolannya dengan setengah-Obs di hadapannya.

Tak peduli seberapa mirip manusianya Desi, sejak awal Angga terus siaga terhadapnya. Berbeda jauh dengan Lidia yang terlalu lalai oleh kepercayaannya.

"Jadi kulitmu hanya tergores oleh Obs yang tak sengaja jatuh di hadapanmu? Dan kau juga seperti mereka?" ucap Lidia tak habis pikir dengan apa yang ia dengar. Ia mencatat seluruh informasi yang ia dapat. Sementara Angga memperhatikan kulit kaki Desi yang mengelupas lebih lebar ketimbang beberapa menit lalu saat ia pertama kali melihatnya.

"Ikan, aku melihat ikan yang berputar di sekitar kepalamu," ucap Desi tiba-tiba.

Kedua alis Angga berkerut dan Lidia mengangkat wajahnya yang semula menunduk memandang ponselnya. "Ikan?" tanya Lidia bingung.

"Iya, ikan."

Perlahan Angga berjalan mendekat.

"Ikan di atas kepala mu," tunjuk Desi.

Angga memperteguh genggamannya di pistol.

"Ikan?" Lidia berdiri dari tempat duduknya.

Mata Desi membesar dan mengalir darah di ujung kelopaknya.

Lidia terbelalak, melangkah mundur dengan tangan terulur ke belakang, mencari sosok Angga. Tepat seperti yang Angga duga, tak ada Obs yang aman. Ia segera menarik tangan Lidia dan berdiri menutupinya ketika Desi berdiri dari tempat duduknya dan berjalan maju.

"Desi hentikan!" teriak Lidia, namun tak mendapat tanggapan apapun.

Angga mengangkat pistolnya dan mengarahkannya ke Desi yang menggeram. "Tutup matamu!" bisiknya pada Lidia yang meringkuk di belakang punggungnya.

Bunyi tembakan bergema di penjuru lorong, Lidia perlahan membuka matanya dan bergeser. Desi terlihat menggelepar di lantai, Angga menembaknya tepat di jantung. Ia menutup mulutnya dan menangis, padahal beberapa menit lalu ia tengah berpikir bagaimana cara membawa Desi ke tempat yang lebih aman.

Tak dipungkiri, Angga merasa iba pada Lidia yang semula terlihat senang dengan adanya Obs seperti Desi. Ia mengerti Lidia mungkin berpikir misi ini akan segera berakhir jika dirinya mendapatkan banyak informasi. Dengan ragu namun jelas, Angga mengulurkan kedua tangannya dan memeluk Lidia yang menangis semakin keras.

Mata Albert melotot, "Kamu bercanda?" geramnya.

"Maaf tidak bisa."

Albert mulai emosi, ia merengkuh kerah seragam seorang sersan di hadapannya. "Dia ini sakit, kenapa tidak bisa!" bentaknya.

"Ini perintah langsung dari Pak Sekjen." Wajah Sersan ini terlihat bingung bercampur takut, ia takut dengan Letnan di hadapannya, tapi ia lebih takut dengan perintah atasannya.

Di dalam mobil Lusi bisa mendengar dengan jelas, ia tahu ini akan terjadi. Tak mungkin ia bisa kembali ke rumah dengan begitu mudah setelah menandatangani surat sialan itu.

"Coba hubungi Rama." Saran Adam yang sejak tadi berdiri frustasi di sampingnya. Sesekali menengok ke arah Lusi di dalam mobil. Lusi langsung pura-pura memejamkan mata ketika Adam menengok, pura-pura tidak menyimak perdebatan yang tengah terjadi di luar mobil.

"Tak ada yang bisa pulang sebelum lewat batas waktunya," ucap Rama tanpa basa-basi begitu panggilan Albert tersambung. Tanpa salam dan hormat, Albert langsung memutuskan panggilan, namun tetap menahan diri untuk tak mengutuk Rama di hadapan banyak bawahannya.

Ia terlihat stres, memegangi dahinya sambil memejamkan mata. "Kalian punya persediaan makanan dan obat-obatan?" tanyanya begitu membuka kembali kedua matanya.

Sersan di hadapannya mengangguk, dan segera memeritahkan bawahannya untuk memberikan persediaan yang mereka bawa ke Adam yang langsung mengangkutnya ke dalam mobil.

"Dan," Albert menunjuk ke senapan yang ada di pinggang sersan tersebut. "Aku minta peluru tambahan."

Joko membantu Lusi mengusap keringat di dahinya. Setelah menelan paracetamol, Lusi terlihat lebih baik. Albert masuk ke dalam mobil dan mengandarai kembali ke tempat mereka meninggalkan Angga dan Lidia. Helen terus menerus memijat matanya yang kelelahan tanpa kacamata. Di sampingnya ada tumpukan makanan, obat-obatan dan sekotak peluru cadangan.

"Aku punya sesuatu untukmu," bisik Lusi, lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya dan memberikannya pada Joko.

Joko dengan segera membuka selembar kertas yang ada ditangannya. Wajahnya seketika sendu, matanya berair dan rahangnya mengeras. "Dina," gumamnya.

Lusi mengambil lebaran data Dina dari dalam map merah yang ia temui di ruang lab beberapa waktu lalu. Sebelum pintu kaca jatuh dan terjadi kekacauan yang membuat keadaannya seperti saat ini. Entah yang ia lakukan akan membuat Joko sedih atau semakin semangat untuk menemui Dina. Yang jelas ini pertama kalinya ia memikirkan perasaan orang lain.

Di samping Albert, Adam menengok ke bangku belakang. Menatap Lusi yang tersenyum ke arah Joko dengan wajah pucatnya. Ia kemudian melempar pandangannya ke pergelangan kaki Joko yang terlihat membesar dari balik kaus kakinya. Dia tahu, Joko mulai terinfeksi.

***

JAKARTA'S RUINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang