(12)

2.7K 385 10
                                    

Seketika mata Albert terbuka lebar, mengangkat ponsel di tangannya sambil beranjak dari tempat tidur. "Adam, Lusi" ujarnya lalu menekan tombol bicara di earphone-nya. "Adam, Lusi! Kalian dimana?"

Adam mendengar suara Albert di telinganya tapi tak menjawab karena terlalu sibuk berlari ke arah lift yang pintunya terbuka. Obs berlari ke arahnya dari segala penjuru lorong. Adam dan Lusi melompat ke dalam lift tepat sebelum pintunya tertutup rapat. Jantung keduanya berdegup kencang dan Lusi sulit bernafas.

"Albert!" seru Adam menekan tombol di earphone-nya.

"Adam!" sahut Albert khawatir, Angga segera berjaga di balik pintu ruangan sementara yang lain sudah terjaga dan ikut bersiaga dengan barang bawaan dan senjata masing-masing.

"Kami ada di dalam lift. Tadi ada serangan dari Obs."

"Menuju lantai berapa?"

Adam melirik ke angka di atas lift. "Lantai lima."

"Cari tempat yang aman. Aku dan Helen akan ke sana!" Perintah Albert segera bergegas mengambil SS4-ya.

Helen yang namanya disebut diam di tempat. "Aku?" tanyanya bingung.

"Iya siapa lagi, kamu yang paling mengerti rumah sakit ini," sahut Albert. "Ayo cepat. Bawa pistol dan pasang earphone-mu!"

Angga membukakan pintu, "Aku jaga yang ada di sini," bisiknya saat Albert lewat, Albert menyambut dengan anggukan kepala.

Lift berhenti di lantai lima. Adam dan Lusi tetap diam di posisi masing-masing. Adam terus menekan tombol, membiarkan pintu lift tetap terbuka. Setelah tak ada apapun yang lewat di luar pintu lift, Adam menjulurkan kepalanya sedikit, memperhatikan lorong di kanan dan kirinya. Sementara bisa dikatakan aman.

"Kenapa tidak kita tembak saja mereka semua?" Lusi sudah mulai bisa bernafas dengan normal.

Adam menggeleng, "Kita tidak bisa sembarangan membunuh mereka. Sebenarnya aku mau, tapi tidak tega."

"Ch!" cibir Lusi, "Mereka bukan manusia lagi," protes Lusi.

"Ya memang," timpal Adam, masih memperhatikan keadaan lorong. "Lagi pula kita tidak bisa menggunakan pistol kecuali dalam keadaan benar-benar darurat," tambah Adam.

"Kenapa? Karena perintah si sialan itu?" Lusi benar-benar tak peduli kalau pun sekarang Rama sedang memonitor mereka dari rekaman real time camera yang ada di kaus, lengan kiri dan pergelangan lengan kanannya.

"Bukan," tukas Adam, kali ini menengok ke arah Lusi, "Karena kita tak punya cadangan peluru."

Meski gemetar Helen tetap berlari di belakang Albert, menjadi navigator langkah. Keduanya berhenti saat melihat dua Obs yang saling mengigit, tepat di depan lift yang rencananya akan mereka gunakan. Suara geraman dan teriakan Obs-Obs itu benar-benar memekik di telinga.

"Tangga darurat!" saran Helen, menunjuk ke pintu yang terbuka di sisi kanan mereka.

Albert pun menerima sarannya dan melangkah ke tangga darurat. "Jangan ditutup!" Larang Albert. "Jangan timbulkan suara sekecil apapun."

Helen mengangguk dan segera melepaskan gagang pintu dari tangannya. "Kita naik."

"Perhatikan langkahmu!" Albert melangkahi dua anak tangga sekaligus dalam satu gerakan, tapi berusaha untuk tak mengeluarkan dentuman sama sekali dari sepatu Pakaian Dinas Lapangan-nya yang mengenai permukaan anak tangga. Sedangkan Helen yang bertubuh mungil tak mampu mengikuti cara Albert. Ia melangkah pelan-pelan di setiap anak tangga dan membuatnya sangat kelelahan.

Tak pernah diduga sebelumnya meskipun jauh dalam di alam bawah sadarnya ia menginginkan hal ini terjadi. Dari balik punggung Albert yang berdiri tegap menutupi badannya, Helen melihat Michael yang keadaannya sudah sangat mengenaskan.

"Perhatikan langkahmu, kita jalan pelan-pelan, jangan sampai menimbulkan suara sekecil apapun." bisik Albert.

Helen mengangguk, menggengam erat kedua pinggang Albert. Meski berjalan dan bersembunyi di belakang Albert, mata Helen tetap tak bisa lepas dari Michael. Hatinya seakan teriris, tak pernah ia pikir kalau penelitian yang dia kerjakan bertahun-tahun justru berakhir seperti ini, sampai Michael rekan kerjanya harus berubah menjadi monster.

Mengingat wajah putih bersih Michael dengan senyum ramah dan keceriaannya saat bercerita di lab waktu itu, dan sekarang saat perlahan-lahan melewatinya sambil bersembunyi di balik badan Albert, Helen melihat betapa wajah Michael sudah tak jelas bentuknya. Mata Michael sudah berubah merah kehitaman seluruhnya, pipinya berlubang dan kelihatan daging kering di sana. Kulitnya melepuh dan terbakar di segala sisi, di sekitar mulutnya menempel banyak darah kering. Hampir saja beberapa saat lalu Helen tak mengenali sosok Michael kalau ia tidak ingat jas lab yang Michael kenakan juga rambut pirang serta tubuh tinggi Michael. Tak terlupakan sepatu Dr. Martin warna cokelat yang masih dikenakan di sebelah kakinya. Helen ingat dengan jelas saat kaki Michael ditarik dan dihabisi para Obs waktu itu. Sekarang tulang kaki Michael terlihat jelas bergitu pun tulang lengan kiri dan bahunya. Michael yang sekarang hanya kumpulan tulang-tulang dengan sisa-sisa daging di beberapa sisinya.

Pelahan-lahan ia melewati mayat-hidup Michael yang hanya berdiri tegak karena tampak tak mendeteksi keberadaan dirinya dan Albert yang terus berusaha bergerak dengan sangat halus.

Beberapa menit keadaaan masih sama, tak ada satu Obs pun yang lewat di depan mereka. Adam memutuskan untuk menarik Lusi keluar dari persembunyian mereka di dalam lift karena lelah berdiri sambil menekan tombol yang membuat lift terus terbuka.

Lusi memandangi pergelangan tangannya yang digenggam Adam sambil melangkah keluar lift. Mereka berjalan sekitar lima meter ke kiri dan berhenti di dekat pot tanaman. Keduanya duduk bersandar di jendela kaca yang menyajikan pemandangan langsung ke luar gedung. Sama-sama menekuk kaki di depan perut. Lusi menarik pergelangan tangannya yang masih digenggam Adam.

"Oh, maaf," ucap Adam segera setelah Lusi menarik tangannya. Merasa tak enak karena ia benar-benar lupa melepaskannya.

Keduanya terdiam kikuk, terlebih Lusi yang tak pernah mau dekat-dekat dengan orang asing. Gadis ini sesekali melirik ke arah Adam, waspada dengan gerak-geriknya. Ia tidak pernah percaya dengan orang asing.

Adam memandangi ponsel di tangannya, menunggu kabar dari Albert. Sebenarnya tak berharap Albert datang menjemput. Ia hanya berharap Albert memantau keadaan dan memberikan informasi jalur yang aman untuk kembali ke ruang istirahat. Ia menghela nafas diam-diam tak menduga perjalanan di Jakarta akan sesulit ini.

Ia kembali menurunkan ponsel-nya dari pandangan mata, menengok ke arah Lusi yang saat ini sedang berdiam diri dengan pandangan kosong. "Kau baik-baik saja?" tanyanya memastikan.

"Ya," sahut Lusi singkat.

Adam kembali menarik pandangannya dari Lusi dan kini Lusi yang kembali memandangnya. Di ujung mulutnya hampir terlepas pertanyaan mengenai foto yang ada di saku jaket Adam, tapi kalimat itu tertahan di sana. Kedua bibirnya memilih untuk terkatup rapat. Heran sendiri kenapa tiba-tiba peduli dengan urusan orang lain.

JAKARTA'S RUINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang