(32)

4.1K 438 37
                                    

Satu bulan kemudian...

Lusi duduk di samping jendela kamarnya, memandang kosong ke halaman rumahnya. Udara Kalimantan sungguh sejuk, namun tak sedikit pun ia merasakan ketenangan. Ibunya mengetuk pintu dua kali dan masuk dengan membawa secangkir teh hangat. "Minum tehnya, Lusi," ujarnya, tak mendapat jawaban apapun dari putrinya yang tetap menatap kosong jendela.

Eva menghela nafas, sudah empat minggu berlalu semenjak Lusi di pulangkan dari misi berbahaya dan kini mereka tinggal di rumah yang cukup mewah di Kalimantan. Namun tak sekali pun ia lihat putrinya tersenyum, Lusi jauh lebih pendiam dari sebelumnya.

Seorang gadis yang tak lain adalah keponakannya ikut masuk dan berdiri di sampingnya, "Lusi, Cindy datang," ujar Ibunya, masih tak digubris. "Cindy, tolong kau ajak bicara mbak Lusi," bisik Eva.

"Iya, bu'le." angguk Cindy.

Perlahan namun pasti Cindy melangkah mendekati Lusi ketika Eva sudah keluar dari kamarnya. "Mbak, mbak Lusi!" panggilnya, "Aku jauh-jauh ke sini bawa berita."

Lusi mendengarkan namun tak menengok ke Cindy sama sekali.

Cindy berdehem, gadis yang baru berulang tahun ke dua puluh itu mendekatkan wajahnya ke telinga Lusi. "Mbak kenal Albert kan?"

Mata Lusi mendelik.

"Dia kemarin menghubungiku lewat e-mail."

Akhirnya Lusi menengok, "Kau bilang apa?"

"Albert, menghubungi aku lewat e-mail. Dia mencari mbak kemana-mana."

Ekspresi wajah Lusi berubah total, "Albert? Dia baik-baik saja?" tanyanya bersemangat.

Cindy mengangguk-angguk, segera mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Membuka e-mail dan menunjukkannya pada Lusi, "Kami berbincang beberapa kali. Dia ingin bertemu dengan Mbak."

Lusi terdiam, terlalu kaget sekaligus senang mendengar kabar tersebut. Ia memegang ponsel Cindy, membaca sendiri e-mail yang Albert kirim. Satu yang paling membuatnya tersenyum adalah e-mail Albert yang terakhir. Cukup panjang dan membuat pikiran dan suasana hati Lusi yang seakan sudah mati seakan hidup kembali.

Cindy,

Aku harap kau bisa memberitahu Lusi. Angga dan Adam masih hidup, mereka sehat dan sempurna seperti biasa.

Lidia bukan staf kementerian, Ayahnya konglomerat di Singapura. Sebelum meninggal Lidia menitipkan surat pada Angga yang ditujukan untuk orang tuanya. Berkat permintaan Lidia perjuangan kita mencari jawaban bisa diteruskan. Adam dan Angga, juga aku tentunya, tak perlu berganti identitas. Kami tak ingin mengecewakan kepergian mereka.

Ah, sebenarnya aku ingin memberitahukan semua hal ini secara langsung pada Lusi. Namun sudah satu bulan berlalu, aku tetap tak bisa menemukannya. Cindy, sekali lagi aku mohon maaf karena merepotkanmu. Tolong beritahu Lusi, aku ingin bertemu dengannya banyak hal yang ingin ku sampaikan.

Salam,

Albert

Lusi mengangkat wajahnya, untuk pertama kalinya selama empat minggu terakhir ia benar-benar tersenyum, walaupun dengan air mata menetes di pipi. Cindy ikut terharu melihatnya, merasa tak sia-sia datang jauh-jauh dari Jogja untuk memberi tahu Lusi hal ini. Meskipun ia merahasiakan sebenarnya Albert yang membiayai akomodasinya ke Kalimantan.

"Cindy," ucap Lusi kemudian, "Maukah kamu membantuku?"

"Apa, Mbak?"

Lusi berdiri dari tempat duduknya, "Antar aku menemui Albert."

Dahi Cindy berkerut, "Tapi Albert sekarang di Jakarta, Mbak."

Lusi mengangguk, "Iya, antar aku ke Jakarta." Ia kemudian berdiri dari tempat duduknya, memandang langit di luar kamarnya lewat jendela. "Aku harus melakukan hal yang berguna," ucapnya.

***

JAKARTA'S RUINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang