(21)

2.6K 373 14
                                    

Suara tembakan memenuhi di udara. Lidia terperanjat dan langsung mencari pistolnya. Kepalanya terasa pusing, sepertinya baru saja ia beranjak lelap. Lusi sudah terbangun, mengintip dari celah tenda melihat apa yang sedang terjadi. Sementara Helen panik tak karuan. "Ada apa?" tanyanya. Rambutnya berantakan, penglihatannya kabur.

"Obs, Obs menjebol pintu dan merangsek ke sini." Lusi menjelaskan apa yang ia lihat. Di luar tenda, Adam, Angga dan Albert sedang menangani beberapa Obs yang berjalan ke arahnya.

"Banyak?" tanya Helen.

Lusi menggeleng, "Sekitar lima."

"Itu banyak!" keluh Helen. "Terus kita harus bagaimana?"

"Tetap diam," ujar Lidia. "Jangan membuat kegaduhan apapun yang memancing Obs. Biarkan para pria itu yang menangani mereka."

Helen menurut, ia tak memilih diam dan tak bergerak sedikitpun.

Lusi setuju dengan saran Lidia, melihat keadaan di luar memang lebih baik membiarkan mereka menanganinya.

Albert mulai panik, Obs yang ia hadapi bergerak lebih gesit dari semua yang pernah ia temui. Sulit baginya menembak langsung di jantung, Obs ini bergerak lincah seperti cacing kepanasan. "Shit!" ia menyumpah. Pistolnya kehabisan peluru, dan ketika ia tengok SS4-nya berada di atas tasnya, terlalu jauh untuk segera dijangkau.

Lengah, Albert tak sadar Obs pria berbaju polisi melompat ke arahnya. Ia jatuh terlentang, tangannya sekuat tenaga menahan Obs yang sekarang ada di atasnya. Namun setiap kali ia berusaha mencengkram lengan, leher atau setiap bagian dari Obs ini untuk menahannya, ia gagal. Karena kulit Obs ini terlalu penuh dengan luka bakar, nanah bercampur darah hitam menyerupai pelumas yang membuatnya terlalu licin untuk digenggam.

Tubuhnya terdorong semakin ke belakang, ia sadar ia semakin berada di pinggir atap gedung. Kini kepalanya mulai merasakan tiupan angin dari udara bebas dari lima lantai di bawahnya. Sementara Obs di hadapannya terus menggerutukkan giginya dan air liur yang sangat bau keluar dari mulutnya membasahi leher Albert. Ia pasrah, memejamkan matanya sementara Obs terus mencoba menggapai kulit wajahnya dengan gigi-gigi hitamnya.

"Albert!" seseorang berteriak, kemudian terdengar bunyi tembakan dan ketika Albert membuka matanya, mengalir darah dari wajah Obs di hadapannya. Obs ini berhenti bergerak, matanya melotot dan mulutnya terbuka lebar. Ia buru-buru mengumpulkan kesadarannya lagi, segera ia menghempas tubuh Obs ke udara dengan tangan dan kakinya sekuat tenaga. Obs polisi itu terlempar, jatuh dari atap dan mendarat langsung di permukaan tanah jauh di bawah.

Albert terengah, Angga berlari menyambanginya sementara Adam masih menyelesaikan urusan dengan satu Obs lain. Dengan bantuan Angga, Albert akhirnya berdiri. Ia memandang jauh ke seberang, tepat di depan tenda Lusi berdiri, dengan pistol dalam genggamannya. Albert sadar, Lusi lah yang barusan memanggil namanya dan menembak Obs tadi tepat di kepala. "Terima kasih," ucap Albert, jelas tak terdengar oleh Lusi, tapi dari gerakan mulut dan mimik wajah Albert, Lusi bisa menangkapnya. Ia menjawabnya dengan senyum tipis.

Tubuh Obs tergeletak di segala sisi atap, sebagai tanda bahwa tempat ini sudah tidak layak sebagai 'penginapan'. Helen dan Lidia langsung membantu Angga merapihkan tenda, sekejap setelah diputuskan mereka harus pindah tempat beristirahat. Sementara Albert langsung mengisi ulang peluru di pistolnya.

Lusi medekati Adam yang tengah memerhatikan Obs yang tergeletak, lalu berdehem. Adam menengok dan tersenyum ramah.

"Kau baik-baik saja?" tanya Lusi.

"Ya." jawab Adam. "Obs tadi tidak menyentuhku sama sekali jadi.."

"Bukan," potong Lusi. "Maksudku wajahmu." Ia menunjuk wajah Adam takut-takut. "Hidungmu berdarah."

JAKARTA'S RUINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang