Lusi berdiri tepat di bawah pintu shelter, menatap kosong Adam yang sibuk berbicara dengan Dony di HT-nya, juga Angga yang sibuk menangani luka di perut Albert. Mereka berbicara, namun Lusi seakan tak mendengarnya sama sekali. Semuanya terdengar berdengung di telinganya, seakan mereka sedang berpantomim. Hanya ada gerakan, tak ada suara.
Setelah sepuluh menit akhirnya Dony mengabarkan hal tersebut. Helikopter akan dikirim untuk membawa Lusi dan Albert. Secara kebetulan terlukanya Albert membuat penjemputan menjadi mudah. Prajurit yang terluka dalam tugas berhak mendapatkan penjemputan ini.
Angga berlutut di samping Albert, "Bang, apa itu peluru saya, bang?" wajahnya ketakutan. "Maaf, Bang. Abang harus bertahan, aku mohon."
Albert mencoba membuat senyum meremehkan namun ia terlalu lemah untuk itu, yang ada malah sedikit sunggingan di ujung bibirnya.
Suara helikopter terdengar, Adam menengok ke atas kemudian segera berdiri dan melambaikan tangannya. Berlari mengarahkan helikopter agar mengarah ke tempat yang pas. Perlahan namun pasti, diiringi debu yang berterbangan karena angin dari baling-baling, helikopter itu mendarat. Dua orang tentara keluar berlari membawa sebuah tandu dan segera menaikkan Albert ke atasnya.
Seorang letnan satu turun dari helikopter dan mendekat, Angga memberikan hormat dan berdiri tegak namun matanya tak bisa lama-lama melepaskan pandangan pada Albert yang di bawa masuk ke helikopter dengan tandu.
"Sesuai perjanjian sementara, kalian akan tetap di sini, kami tidak bisa membawa kalian," kata Letnan Satu ini yang bernama Robert.
"Siap!" sahut Angga.
"Tak masalah." sela Adam. "Kami memang akan tetap tinggal, kami akan melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan pihak yang bersangkutan."
Robert mengangguk, kemudian menengok pada Lusi. "Nona, ini waktunya kau pulang."
"Ya," jawab Lusi pelan, menengok ke Adam lalu ke Robert lagi, "Beri aku sedikit waktu."
Robert mengangguk, "Jangan terlalu lama, kami menunggu di dalam helikopter." Ia berjalan ke arah helikopter bersama dengan Angga yang ingin memastikan keadaan Albert untuk terakhir kalinya sebelum helikopter pergi.
Lusi melangkah maju, mendekati Adam yang terdiam. Tangannya meraba isi tasnya, kemudian mengeluarkan notebook Helen. "Kau yang pegang."
Adam mengambil notebook tersebut dari tangan Lusi dan menatapnya kosong. Banyak kalimat-kalimat di dalam kepalanya yang ia ingin ucapkan, namun ia menahannya sekuat tenaga. Ia mengangkat wajahnya, memandang Lusi yang juga tengah memandangnya.
"Aku, Aku harus pergi sekarang," ujar Lusi kaku.
"Ya. Jaga dirimu."
"Um." Lusi mengangguk. Menengok ke arah helikopter kemudian menatap Adam lagi. "Sampai jumpa." Entah rasa sakit apa yang menusuk setiap inci tubuhnya saat mengucapkan kalimat itu. Lusi tak mau menatap Adam lebih lama, ia membalikkan badan, berjalan menjauh, perlahan namun pasti mendekat ke helikopter.
Adam tetap diam di tempatnya menatap punggung Lusi yang semakin menjauh, sambil mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat, menahan diri untuk tak mengejarnya. Ini keputusan terbaik, ia tak boleh membiarkan perasaan konyol ini terus berkembang di hatinya. Lusi harus pulang, dan ia harus menemukan Juli dan Maliki.
Di depan helikopter Angga memeluk Lusi sebagai salam perpisahan. "Kau harus jaga diri baik-baik," bisiknya. Mengulurkan tangannya, memeluk Lusi sejenak, lalu tersenyum pedih. Mata Angga berkaca-kaca, seakan ia siap menangis kapan saja.
"Ya, kau juga. Aku harap kita bisa bertemu lagi," balas Lusi saat Angga melepas pelukannya, melangkah masuk ke dalam helikopter dengan bantuan tentara yang menarik tangannya dari dalam.
"Pasti!" teriak Angga, saat helikopter mulai menjauhi tanah,
Samar-samar Lusi melihat Adam yang masih berdiri terdiam di tempatnya. Seorang pria yang untuk pertama kalinya membuatnya memiliki perasaan aneh sekaligus luar biasa. Ia tak mau berpikir tentang apapun saat ini. Semua bayangan tentang apapun di tepisnya. Ia tahu, sedikit saja ia berpikir, ia mungkin membatalkan kepergiannya.
"Selamat tinggal," ucap Lusi dalam hati. "Setengah hatiku tertinggal di sini." Helikopter beranjak menjauh dari tanah, kini dalam pandangan Lusi, Adam hanya seperti titik kecil tak berarti. "Mungkin aku hanya seperti gadis-gadis lainnya yang terpesona akan perawakanmu. Mungkin aku seperti wanita lainnya yang menginginkan sesuatu untuk dimiliki. Tapi aku sadar, ini tidak di perbolehkan. Kau tak akan memperbolehkan aku melakukannya. Sekali pun mungkin kau menginginkannya juga.
Helen, Lidia, Joko, kalian orang asing yang tak akan pernah aku lupakan. Aku mencintai kalian. Maafkan semua kesalahanku. Aku ingin kalian bahagia di sana. Bimbing aku untuk melakukan hal yang benar. Bantu aku untuk melakukan hal yang lebih berguna mulai sekarang." Lusi memejamkan matanya, helikopter sudah terbang semakin tinggi. Saat ia membuka matanya kembali, air mata mengalir dari ujung matanya, "Aku mencintai kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
JAKARTA'S RUIN
Science FictionBeberapa part di private. Follow account terlebih dahulu. Apakah kau bisa bertahan hidup? Ketika dikirim ke sebuah kota yang hancur dan membahayakan nyawamu? Jakarta. Cover by @ReiFaldi & @Arisyifa92 Highest Ranks #3 in Science Fiction (10.04.2016)