(25)

3.1K 402 10
                                    

Albert menengok ke arah Lidia, memandang kembali ke jalanan di depan mobil, menengok lagi ke arah Lidia, memperhatikan arahnya mengemudi, menengok lagi.

"Albert!" bentak Lidia kesal. "Berhenti melihat aku seperti itu!"

Albert menahan tawa, "Oke, oke. Maaf," ucapnya dengan nada rendah yang dibuat-buat, "Kita pasti menemukan Angga." Ia menengok ke arah Lidia lagi, langsung kembali memandang lurus ke depan.

Lidia memelototinya, "Albert, coba kita luruskan. Dari caramu bicara, caramu mengejekku sejak tadi dan sekarang kau bicara seperti itu. Memangnya aku bilang apa? Memangnya aku sebut-sebut Angga?"

Menggeleng, "Tidak," sahut Albert, "Kau tidak bilang apa-apa, tapi wajahmu terlihat frustasi, dan suara dalam hatimu terdengar sampai telingaku. Anggaaaaa, Anggaaa, dimana kamu..." Ia terkikik setelah berusaha menirukan suara Lidia.

"Sialan!" Lidia memukul lengan Albert.

Albert tertawa, "Memang iya, telingaku sampai panas dengan nama Angga kamu sebut terus."

"Albert!" Lidia mendorong bahu Albert kencang, hingga tangan Albert yang memegang kemudi ikut bergerak lepas kendali. Mobil bergerak bebas ke arah kanan dan Albert buru-buru menginjak rem dalam-dalam.

"Lidia!" tegur Albert tanpa nada tinggi.

Belum sempat Lidia mengucap maaf, jendela depan mobil mereka berdebam hingga retak.

"Sial!" pekik Albert, segera meraih senapan di sampingnya. Mengarahkan ke kepala Obs yang terus menerus memukul kepalanya di kaca. "Lidia ke belakang!" serunya, tak mau jendela kaca yang pecah karena pelurunya sampai terkena ke Lidia.

Buru-buru Lidia merangkak ke belakang mobil. Albert menutup matanya dan menekan pelatuk di senapannya. Kaca bertebaran di depan wajahnya. Obs di atas mesin mobil menggelepar, dengan darah hitam mengalir keluar dari lubang di kepalanya.

Beberapa sisi wajahnya tergores pecahan kaca, Albert bersyukur matanya tak kena sedikit pun. "Lidia!" panggilnya menengok ke belakang.

"Aku baik," jawab Lidia sebelum ditanya, nafasnya terengah.

Sebuah ledakan lagi, terdengar berdebam kencang memukul tanah. Sekitar lima kilometer dari posisi mereka saat ini. Melihat kepulan asap yang membumbung tinggi di langit, Albert memukul kemudi mobil frustasi. "Bom sialan!"

Yogyakarta,

Rama bergegas masuk ke dalam ruang kerjanya, di belakangnya seperti biasa Dony mengikuti.

"Bagaimana ini bisa sampai terjadi?" bentak Rama, membanting tubuhnya di kursi.

"Ada seseorang yang memasukkannya ke dalam Youtube. Dan dalam 24 jam sudah ditonton oleh 2 juta orang," ujar Dony penuh semangat, seakan baru memenangkan hadiah rumah dari sebuah kuis.

"Kamu pikir ini hal bagus? Kenapa tersenyum!" Rama memukul meja dan merenggangkan dasi di kerah bajunya.

Dony kembali memasang ekspresi wajah datarnya, "Berita tentang video ini ditampilkan oleh CNN semalam dan perwakilan PBB segera menelpon Presiden."

Tangan kanannya memijat dahi sementara bola matanya berputar. "Cari tahu siapa yang memasukkan video itu. Dan tetap buat kontak dengan mereka di Jakarta."

"Video itu berasal dari salah satu dari mereka, karena kamera yang digunakan merekam sangat detail meskipun hanya 3 menit yang ditampilkan di Youtube. Dan Adam, dia seorang reporter. Saya menduga itu dia," jelas Dony penuh percaya diri.

"Berhenti menduga-duga! Cari bukti yang jelas. Dan segera jadwalkan pertemuan dengan Kementerian Pertahanan. Tetap kontak mereka dan awasi keadaan di Jakarta."

Dony menganguk-angguk. "Tapi semua sinyal yang terhubung ke Jakarta sudah diputus, Pak."

"Cari cara lain. Besok aku harus sudah bisa bicara dengan Albert."

Dony kembali mengangguk dan bergerak ke arah pintu.

"Ah ya!" seru Rama, Dony menghentikan langkah dan menengok. "Hari ini jadwal persidangan Eva, Ibu Lusi kan?"

"Iya pak betul."

"Batalkan pertemuan dengan Badan POM, saya harus ke persidangan."

Hakim mengetuk palunya tiga kali, Eva berdiri dari kursi tersangka dengan status bebas. Eva, Ibu Lusi akhirnya dinyatakan tak bersalah dan terbebas dari hukuman. Keputusan menyebutkan ia melakukan pembelaan diri bukan membunuh, sehingga ia bebas tanpa syarat. Dengan senyum haru, Eva membalikkan badannya dan memandang ke setiap wajah yang datang di persidangannya. Sanak keluarga, tetangga dan temannya ikut berdiri sambil tersenyum haru, beberapa bersorak kegirangan dan ada yang menangis. Namun sosok yang ia cari tak ada di sana. Lusi anak semata wayangnya genap dua minggu sudah tak ada kabar.

Melangkah keluar ruang sidang, Eva disambut dengan keponakan perempuannya, Cindy. Wajah gadis berumur sembilan belas tahun ini merah padam. Di sampingnya, Dona yang tak lain adalah ibunya mendampingi. Keduanya menghampiri Eva perlahan.

"Mbak," ucap Dona dengan ekspresi wajah bingung. "Cindy, bicara!"

Eva menunggu kelanjutan ucapan Dona yang malah sibuk memaksa Cindy untuk bicara, "Ada apa?" tanyanya pada akhirnya. "Cindy? Kamu mau bilang apa sama bu'le?"

Wajah Cindy melirik ibunya takut-takut. Lalu menggeleng dan menunduk. Sementara Dona memandang Eva dengan mimik frustasi.

"Nyonya Eva." Seseorang menghampiri dan menyela pembicaraan mereka. "Boleh kita bicara sebentar?" tanya orang yang mengenakan setelan jas rapih dan kaca mata hitam.

"Maaf, anda siapa?" Eva mengerutkan dahi.

Menyunggingkan senyum, pria ini membuka kacamata hitamnya. "Nama saya Rama, dari Kementrian Kesehatan. Boleh kita bicara sebentar?"

"Ya, ada yang bisa saya bantu, pak?" ucap Eva sambil duduk di kursi seberang.

"Ehm." Rama berdehem sembari menyilangkan kaki kirinya di atas kaki kanan. "Ini tentang Lusi."

"Lusi?" Eva terperanjat, "Bagaimana bapak bisa mengenal anak saya?" Ia berpikir cepat, "Ah!" serunya kemudian. "Anak saya bekerja di sana, kan?"

"Ah, ya." Rama tersenyum kaku. "Lusi bekerja untuk kami, namun ia saat ini sedang tugas di luar kota."

Eva mengangguk-angguk.

"Dan..." Rama menyodorkan selembar kertas pada Eva yang langsung meraihnya, "Tolong tanda tangan di bawahnya setelah anda membaca isinya."

"Apa ini?" Eva memandang kertas di tangannya lekat-lekat.

"Itu surat kuasa, bahwa Ibu Eva sebagai wali dari Lusi Aditha, mengizinkan anaknya ditugaskan ke luar kota dengan segala tanggung jawab dan resikonya." Rama menjelaskan, "Maaf baru bisa memberikan surat ini sekarang karena kemarin status ibu masih sebagai tersangka. Selamat atas kebebasannya," tambah Rama.

"Ah, iya. Terima kasih." Eva mengangguk kaku.

"Dan ini," Rama mengulurkan sebuah amplop cokelat pada Eva.

Meski ragu, Eva langsung mengambil dan membuka isinya.

"Itu sertifikat rumah di Kalimantan, Lusi menitipkan pada kami agar bisa segera diberikan pada Ibu Eva begitu bebas dari hukuman," terang Rama tanpa diminta.

"Lusi..." gumam Ibunya melihat sertifikat rumah yang ada di tangannya. "Ibu lebih senang jika ibu melihatmu, bukan sertifikat ini."

JAKARTA'S RUINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang