Dua jam berkendara mereka telah melewati setengah perjalanan, di salah satu pom bensin di Tol Cipularang mereka berhenti untuk ke kamar kecil. Ke tujuhnya melongo kaget ketika melihat tak ada seorang penjaga pun yang bertugas, baik di pom bensin maupun di minimarket. Albert berjaga-jaga dengan G5 Elite-nya sementara SS4-nya standby di punggung, ia menyisir ke seluruh wilayah pom bensin yang tidak terlalu luas dan kembali ke mobil.
"Keadaan aman, tak ada satu pun Obs yang terlihat." Ia kembali menaruh pistolnya ke dalam sarung yang berada di ikat pingangnya. "Angga, kamu isi bensinnya sampai penuh. Kalau perlu isi derigen yang ada di bagasi untuk persiapan."
"Siap!" sahut Angga.
"Aku dan Helen ingin ke kamar kecil," ujar Lidia dan dibalas anggukan Albert.
"Bawa senjata kalian." Ucapan Albert disambut wajah kebingungan dari kedua wanita itu. "Kalian tidak bisa menggunakannya?" tebakan Albert tepat, keduanya mengangguk.
Albert mendekati keduanya dan mengajari cara menggunakan G5 Elite yang mereka pegang. Setelah keduanya merasa paham Albert menengok ke arah Lusi yang bersandar di badan mobil sambil melipat kedua tangannya di depan perut. "Kau bisa?" cek Albert.
"Ya," jawab Lusi dusta.
"Kau tak ingin ke toilet?" tanya Helen pada Lusi yang menjawab dengan gelengan. "Kalau begitu kami duluan." Lalu pergi bersama Lidia dengan bergandengan tangan. "Apa kau tak merasa dia agak aneh?" bisik Helen dalam perjalanan mereka menuju toilet.
"Aku merasa dia menyebalkan," sahut Lidia.
Albert berdiri dengan kedua tangan di pinggang "Ada yang mau ikut? Aku rasa kita bisa mengambil makanan di dalam sana." Menunjuk ke minimarket yang tak dijaga.
"Aku," sahut Adam yang langsung bergerak menghampiri Albert.
Albert memandang Lusi lagi, melihat ekspresi wajah datar Lusi, ia rasa tak perlu bertanya ke gadis ini mau ikut atau tidak.
"Ayo!" ajak Albert, membimbing langkah Adam ke minimarket.
Sementara Angga mengisi bensin mobil sendirian, Joko yang juga bersandar di badan mobil menengok ke Lusi. "Kenapa aku tak diberikan senjata?"
Lusi melirik. "Karena kau bukan anggota tim," jawabnya ketus.
Joko mengembuskan nafas kecewa, sebenarnya ia sudah tahu kalau itu jawaban dari pertanyaannya. "Kamu terlihat berbeda dari yang lain, kamu tampak tak tertarik dengan misi ini."
"Tentu saja, bodoh. Aku tak sebodoh dirimu!" umpat Lusi.
Joko tertawa pedih. "Ya, mungkin aku bodoh, atau malah gila."
Kali ini Lusi yang menengok ke arahnya, "Apa yang terjadi dengan pacarmu?" tanya Lusi mulai sedikit lebih bersahabat.
"Dia pasien di Dharmais," Joko menundukkan kepala, menatap ke ujung sepatunya yang diketuk-ketukkan ke permukaan aspal. "Saat aku ke sana menjenguknya, dia tidak ada. Aku cari ke mana-mana sampai aku diusir penjaga, tapi sebelum pergi aku bawa ponselnya yang ada di atas tempat tidur dalam keadaan mati.
Aku menginap di penginapan murah di sekitar rumah sakit. Di penginapan aku menyalakan ponselnya dan menemukan bahwa Dina menulis catatan harian di ponsel hampir setiap hari. Ku temukan cerita, kalau beberapa kali dia ditegur untuk membayar biaya rumah sakit yang sudah membengkak. Dia tak pernah menceritakan hal itu padaku." Mata Joko berkaca-kaca.
"Kemudian dalam ceritanya ia menyebutkan ia tak punya pilihan, ia putus asa dengan penyakit kankernya yang semakin parah. Pihak rumah sakit mendatangi dan menjelaskan tentang penelitian Oblivio. Dan Dina mengatakan ia tak punya pilihan lain selain menandatangani surat yang menyatakan dirinya bersedia menjadi sampel penelitian."
Lusi mendengarkan dengan seksama, "Kemudian?"
"Itu catatan terakhir. Aku kembali ke rumah sakit selama dua hari berturut-turut dan tidak diperbolehkan masuk. Di hari ketiga aku mendengar kekacauan di Rumah Sakit, tapi tetap saat aku mencoba masuk kawasan rumah sakit, semua jalan sudah diblokade. Pihak militer memaksa semua orang yang mendekat untuk masuk ke dalam truk mereka.
Aku diturunkan entah di mana, luntang-lantung satu bulan di jalan, sampai aku menguping pembicaraan salah satu anggota TNI yang buang air kecil di balik pohon waktu tidur di rumput dekat situ. Pembicaraan tentang tim ini."
Sekarang Lusi mengerti mengapa Joko bertindak bodoh seperti ini. Jika jadi dirinya, Lusi mungkin melakukan hal yang lebih gila. Sejenak ia berpikir, apa tujuan dari orang lain yang ada di tim ini untuk pergi ke Jakarta. Ia merasa tak mungkin kalau hanya sekedar menjalani tugas, jika memang begitu berarti otak mereka sudah benar-benar tidak waras.
Albert dan Adam terlihat berjalan kembali ke arah mobil dengan beberapa bungkus plastik besar dijinjing di tangan mereka. Tiba-tiba terdengar jeritan dari arah toilet. Albert langsung menjatuhkan plastik di tangannya dan berlari ke sumber suara disusul oleh Adam.
Angga yang sudah selesai mengisi bensin pun menghampiri Lusi dan Joko. "Tetap di sini," ujarnya lalu berlari.
Semula Lusi pikir Angga berniat menyusul Albert dan Adam, tapi ternyata dugaannya salah. Pria berambut cepak yang mengenakan kemeja putih dengan kancing terbuka ini ternyata hanya mengambil plastik-plastik yang tergeletak di aspal dan kembali, lalu memasukkan kantong-kantong makanan itu ke mobil. Jauh dari kesan heroik.
"Kau tidak ke sana?" pekik Joko heran.
"Tidak," jawab Angga santai. "Aku yakin itu bukan hal yang berbahaya." Ia melemparkan pandangannya kepada empat anggota tim yang baru keluar dari toilet. Joko dan Lusi memandang ke arah yang sama.
"Kenapa kau bilang begitu?" Joko masih tidak mengerti.
"Dilihat dari tingkah laku mereka." Angga menggedikkan kepala ke arah dua wanita yang berjalan di belakang Albert.
Saat keempatnya sampai di hadapan mereka, Angga langsung bertanya pada Albert. "Ada apa, Bang?"
Albert menggedikkan bahunya, "Hanya seekor tikus."
Angga melemparkan senyum bangga ke arah Joko, "Apa ku bilang."
"Ayo kita teruskan perjalanan!" Albert masuk duluan ke dalam mobil, tak bisa menyembunyikan ekspresi wajah sebalnya karena sudah dibuat panik oleh teriakan berlebihan. Sementara Helen dan Lidia tersenyum kikuk.
"Boleh aku duduk di belakang?" tanya Joko pada Adam.
"Ya, silahkan." Adam mempersilahkan Joko masuk duluan ke dalam mobil kemudian Lusi dan baru dirinya, lalu Lidia dan terakhir Helen yang menutup pintu.
Angga kembali mengendarai mobil, Lusi di belakang berbisik pada Joko yang duduk di sebelahnya. "Aku mau tertawa melihat ekspresi wajahnya." Menuding ke arah Albert dari balik kursi Helen. Adam melirik ke arah mereka berdua.
"Aku juga." Kikik Joko dalam bisiknya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
JAKARTA'S RUIN
Science FictionBeberapa part di private. Follow account terlebih dahulu. Apakah kau bisa bertahan hidup? Ketika dikirim ke sebuah kota yang hancur dan membahayakan nyawamu? Jakarta. Cover by @ReiFaldi & @Arisyifa92 Highest Ranks #3 in Science Fiction (10.04.2016)