(26)

2.6K 366 5
                                    

Meskipun bermenit-menit tak mau menengok, akhirnya Lusi dikalahkan dengan rasa penasarannya. Ia mendekati Adam, memperhatikan betul-betul benda yang ada di tangan pria itu. Sesuatu yang aneh dan sangat tidak di mengerti. "Apa itu?" tanyanya sangat ingin tahu.

Adam melirik ke arahnya dan tersenyum, Lusi kembali mengutuk dalam hati. Mengapa senyum Adam membuatnya kembali deg-degan. "Ini pager. Benda kuno. Tak aku sangka ternyata masih bisa digunakan untuk berkomunikasi pada saat ini."

Angga tiba-tiba menginjak rem, "Benda itu bisa digunakan?" pekiknya begitu menengok ke arah Adam yang masih kaget karena mobil yang berhenti mendadak.

"Em." Angguk Adam, "Aku coba kontak Dicky semalam dengan benda ini, kebetulan dia juga punya. Tak ku sangka bisa berfungsi."

"Bagus, paling tidak kita bisa berkomunikasi dengan orang di luar sana. Aku yakin semua jaringan ponsel kita diputus dengan sengaja." Angga kembali menghadap ke depan dan menginjak pedal gas, "Cari tahu apa yang sebenarnya terjadi," tambahnya, lalu kembali mengemudi.

"Iya, sedang ku lakukan," sahut Adam, baru sadar kalau Lusi kembali menjaga jarak dengannya. Wajah gadis itu hampir menempel ke kaca jendela, saking dekatnya dengan pintu mobil. Terlalu dekat hingga saat Angga menginjak rem lagi, hidung Lusi terpatuk kaca jendela.

"Angga!" teriak Lusi tak bisa menahan kesal, tapi buru-buru menutup mulutnya rapat-rapat ketika menyadari alasan Angga menginjak rem kali ini. "Albert!" pekiknya, melihat mobil di seberang yang kaca depannya hancur.

Angga buru-buru melepas safety belt-nya dan keluar mobil, disusul Adam yang berlari di belakangnya. Lusi berlari kecil-kecil mengikuti, meringis ketika melihat Obs yang tergeletak di atas kap mesin mobil. Darah hitamnya bercucuran dari kepala, mirip dengan oli bekas.

Meskipun terlihat baik-baik saja, saat Adam membantunya keluar dari mobil, Albert mengeluh perih di wajahnya. Tampaknya baru sadar kalau kulit pelipis dan rahangnya sedikit robek. Angga membuka pintu penumpang, membantu Lidia turun dari mobil. Keduanya terlihat kikuk.

"Biarkan mereka," bisik Albert pada Adam waktu Adam hendak menghampiri Angga dan Lidia. "Kau bawa mobil juga?" tanyanya segera setelah sadar akan sekelilingnya.

"Ya, dan umm..." Adam terdiam sejenak sementara Albert menunggu kelanjutan ucapannya. "...ada yang mau ku bicarakan."

"Oh. Oke." Albert melirik ke Lusi yang terdiam mematung beberapa meter darinya. "Dia kenapa?" gumamnya pada Adam.

Adam menggedikkan bahu. Matanya menyapu sekeliling, "Dimana Helen?"

"Ah!" Memegang dahinya, Albert baru teringat. "Kita cari Helen sekarang. Dia pergi tadi pagi, meninggalkan surat. Dia kembali ke Dharmais." Menengok ke Angga dan Lidia, "Hei, ayo!"

Albert duduk di kursi depan, di sebelahnya Adam mengemudi. Setelah mengobati wajahnya sendiri, ia sekarang terdiam memandang ke jalanan di luar. Adam cukup ahli dalam mengemudi, ia bisa menghindari Obs-Obs yang menghadang mobil tanpa menabraknya. Sesekali menginjak gas dalam-dalam ketika Obs mengejar mobil dengan wajah lapar mereka, dan sesekali melihat Lusi dari spion. Gadis itu terdiam di pojok, di sebelahnya Lidia dan Angga yang berbicara dengan suara rendah.

"Albert!" panggilnya pelan, Albert langsung menengok. "Boleh berhenti sebentar kalau ada masjid?"

Lusi melirik Adam tak kentara.

"Ya. Tentu," sahut Albert seperti biasa.

Setengah kilometer kemudian Adam meminggirkan mobil di depan masjid. "Angga?" panggilnya sebelum keluar dari mobil. Angga hanya mengangguk dan membuka pintu mobil.

"Lidia?" panggil Albert, melihat gadis itu ikut keluar dari mobil.

Lidia menengok, "Aku juga mau sholat."

JAKARTA'S RUINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang