(27)

2.6K 361 3
                                    

Berbeda sangat jauh dengan keadaan di luar tembok. Begitu masuk, mata langsung terpana dengan pemandangan yang ada. Di balik pos jaga ternyata ada taman yang cukup besar, dihiasi pepohonan hijau dan bunga-bunga. Tak lupa air mancur di tengahnya yang dikelilingi bunga mawar berwarna-warni. Semakin ke dalam, mereka disambut dengan gerbang lain yang tingginya diperkirakan hampir lima meter. Di ujung teratas gerbang ada simbol senjata yang berbentuk pisau, berwarna ke emasan dan sangat mewah, disanggah oleh tembok besar di tengah yang menggantungkan lambing-lambang kesatuan kavaleri yang lain. Belum lagi beberapa meter di sisi timur, sebuah pusat perbelanjaan yang ramai pengunjung di dalam dan di luar meski sudah hampir tengah malam. Daerah ini benar-benar masih dipenuhi kehidupan normal.

Belum cukup sampai di situ. Setelah memasuki gerbang kedua. Mata dimanjakan dengan rerumputan dan bunga-bunga juga pohon di sepanjang pertengahan jalan. Tak ada kendaraan, serapih apapun orang yang melintas, semuanya berjalan kaki. Tak sedikit mata yang memandang ke arah Albert dan yang lain dengan ekspresi heran. Jalan yang mereka lewati besar dan bersih. Bahkan ada tembok sebuah wisata air yang cukup besar di sebelah kanan. "Aku sudah tak ingat bagaimana rasanya berenang," gerutu Lidia.

Sekitar setengah kilometer mereka berjalan dengan di kawal para tentara kopassus dengan seragam dan senjata lengkap. Akhirnya sampai ke sebuah gedung dengan halaman yang ditumbuhi rumput hijau yang luas, Gedung Sarwo Edhie Wibowo.

"Silahkan." Sampai di depan pintu petugas yang membimbing berganti. Kali ini badannya jauh lebih tinggi besar dan perawakannya sangat berkharisma. Albert bahkan hormat ketika berhadapan dengannya, apalagi Angga.

Mereka dibimbing melewati sebuah aula, menuju ke sebuah ruangan berdinding kaca. "Waw!" Adam tercekat.

Ruangan yang mereka masuki berisi deretan meja dan kursi dengan komputer virtual. Masing-masing pekerja memakai setelan kemeja blouse hitam dan celana putih. Melewati meja demi meja hingga akhirnya di sambut dengan pria paruh baya yang terlihat masih gagah di usia dewasa. Albert memanggilnya Komandan.

"Rama secara pribadi meminta izin, seharusnya kalian menggunakan Kostrad untuk hal ini. Namun karena pemerintah melarang keberadaan kalian sampai di ketahui publik, maka Rama meminta sedikit bantuan saya," jelasnya penuh wibawa.

"Siap, Komandan! Terima kasih." Lagi-lagi Albert dan Angga berdiri tegak dan hormat.

"Baik." Komandan Kopassus itu tersenyum dan menepuk-nepuk bahu Albert. "Tolong bantu mereka," ujarnya pada salah satu staff yang sejak awal berdiri di sampingnya. Lalu berjalan pergi keluar ruangan.

"Mari ikut saya," ucap staf laki-laki bernama Evan itu. Membimbing mereka memasuki sebuah ruangan yang terletak lebih ke dalam. Ruangan kosong dengan meja putih dan kursi putih di sekelilingnya.

"Silahkan duduk!" ujar Evan sambil mengambil sebuah remote dan memencet salah satu tombolnya. Sesekali matanya melirik ke arah Lusi yang rambutnya terurai berantakan.

Sebuah layar kaca berukuran home theater menyala di dinding. Tak lama kemudian wajah Rama muncul di layar. Biasanya baik Lusi hingga Lidia sangat muak melihat wajah orang ini, namun untuk saat ini mereka bersyukur.

"Baik, karna sedikit waktu lebih baik to-the-point saja," celoteh Rama tanpa salam. "Kalian pasti sudah tahu masalah yang ada sekarang, Adam, temanmu sekarang ada di sini." Melihat ke Adam yang sedang mengangguk. "Jadi hal yang perlu kalian lakukan sekarang adalah segera mencari penyebab dari kegagalan virus Oblivio," sambung Rama. "Ini satu-satunya hal yang bisa aku pertaruhkan untuk tetap melindungi kalian di mata pemerintah." Gaya bicaranya tak seangkuh biasa.

"Seperti yang kalian ketahui, pemerintah tak berani mengambil resiko untuk meratakan Jakarta," lanjut Rama.

"Lalu kenapa muncul bom dimana-mana?" sela Lidia.

JAKARTA'S RUINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang