(20)

3.3K 414 22
                                    

Malam kembali menyapa. Di atap sebuah gedung lima lantai, Albert membangun tenda yang ia ambil dari toko perlengkapan camping siang tadi. Gedung ini tadinya bekas kantor notaris, tak banyak Obs yang dijumpai di dalam gedung. Namun Albert dan Angga sepakat, kalau atap adalah tempat teraman untuk istirahat. Mereka benar-benar butuh waktu untuk istirahat. Setelah kejadian siang tadi, semua merasakan beban berat di punggung dan dada. Bahkan sulit untuk saling bertanya keadaan satu sama lain.

Kini mereka tinggal ber-enam, duduk terdiam di tempat masing-masing, memandang ke api unggun kecil yang Angga buat untuk menghangatkan. Duka hitam masih menyelimuti wajah setiap orang, yang memilih tak memandang satu sama lain.

Lusi bersandar di dalam tenda, nafasnya sesak karena terus menangis berjam-jam. Terlebih setiap kali mengingat kejadian tadi siang, saat mereka tak punya kemampuan untuk memulangkan jenazah Joko, pun untuk memberikannya pemakaman yang layak. Joko dan Dina masih tergeletak di tempat yang sama, ditutupi kain seadanya. Seakan dadanya mau meledak, ingin berteriak sekencang-kencangnya, namun ia tak punya tenaga untuk melakukannya.

Angga duduk di samping tenda, memasak mie instan dengan perlengkapan yang ia dapat dari bagian pantry bekas kantor notaris ini. Sesekali Angga menengok ke arah Helen dan Lidia yang duduk bersebelahan di seberang, Helen menyandarkan kepalanya ke bahu Lidia sementara Lidia menempelkan kepalanya ke kepala Helen. Keduanya juga terdiam, tak berisik dengan obrolannya seperti hari-hari sebelumnya.

Terlihat samar-samar, Albert sedang duduk di pinggir atap, di tempat yang gelap dan memandang ke gedung-gedung lain di depannya. Angga kembali mengaduk mie instan di dalam pancinya saat Adam datang menghampiri.

"Bagaimana keadaanmu?" Lusi mendengar suara Adam di luar tenda. Siluetnya pun terlihat jelas dari dalam.

"Urus saja dirimu sendiri!" sahut Angga ketus.

Lusi mengerutkan dahi, ini bukan pertama kalinya ia mendapati Angga menanggapi kasar saat Adam menanyakan keadaannya dengan cara baik-baik.

Adam duduk di depan tenda, melipat kedua kakinya di depan perut. "Kau tahu. Aku juga tak bisa memaafkan diriku sendiri."

Angga tak menyahut.

"Bahkan tak seorang pun mengerti bagaimana rasa kehilangan..." Adam berhenti berkata saat Angga mencekik kerah bajunya.

"Tutup mulutmu!" geram Angga dengan mata memerah.

"Pukul saja aku, lakukan kalau itu yang kau mau," ucap Adam, bertahan tenang dengan matanya yang memandang teduh.

Lusi melihat bayangan Angga meninju Adam dengan keras. Suara teriakan kaget Helen pun terdengar jelas. Adam tergeletak sementara Angga masih meninjunya tanpa ampun.

Albert berlari menghampiri keduanya dan segera menarik tubuh Angga. "Hei, hei tenang!" tegurnya dengan logat khas Indonesia Timur.

"Maaf!" sesal Angga, merasa tak enak hati pada Albert.

"Tak apa. Tenang, lah!" sahut Albert bersahabat, melepaskan tubuh Angga dari pegangannya.

Angga tak mau memandang Adam dan melewatinya begitu saja, dengan emosi yang masih terlihat jelas, ia langsung keluar pintu dan langkahnya terdengar menuruni tangga.

"Hati-hati, dan cepat kembali!" teriak Albert, entah terdengar atau tidak. "Kau baik-baik saja?" Albert beralih ke Adam yang masih tergeletak dengan darah mengalir dari hidung.

"Ya. Aku baik-baik saja," jawab Adam sambil meraih tangan Albert yang diulurkan untuk membantunya bangun.

Albert meletakkan lengan kanannya di bahu Adam. "Kita perlu bicara," bisiknya, kemudian menengok ke arah Helen dan Lidia yang berdiri tegang. "Aku rasa sebaiknya kalian beristirahat. Masuk lah ke dalam tenda."

JAKARTA'S RUINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang