(13)

3.4K 413 21
                                    

Di balik pintu Angga mengawasi keadaan di luar ruang istirahat. Lebih dari lima belas menit sejak Albert dan Helen meninggalkan ruangan dan masih tak ada tanda-tanda mereka kembali.

"Bagaimana kalau terjadi apa-apa sama mereka?" Lidia berdiri di sampingnya.

Angga hanya terdiam, memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa terjadi dan hal apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

"Sampai kapan kita harus menunggu?" Cecar Lidia, "Bagaimana kalau Helen kenapa-napa?" Ia panik karena sudah berkali-kali memanggil Albert dan Helen di earphone-nya namun tak ada jawaban.

Angga tak menggubris, semakin tak mendapat tanggapan ekspresi wajah Lidia semakin tak mengenakkan. Ia berjalan kembali ke tempat tidur, duduk di pinggirnya sambil melipat kedua tangan di depan perut dan cemberut. "Aku bosan menunggu," gumamnya.

Beberapa detik terdiam, Lidia kemudian melirik ke ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Lalu menengok ke arah Joko yang sedang asik meminum jus kemasan botol di tempat tidur sebelah, dan terakhir melirik Angga yang terus siaga di belakang pintu sambil diam seribu bahasa. Sebelum akhirnya meraih ponselnya dan menekan tombol-tombol yang ada di layar.

Meskipun sudah berada di jarak aman dari Michael, di depan Helen dan Albert ada dua Obs yang tengah sibuk mengigiti sebuah mayat. Bunyi gigi mereka yang bergemelutuk, decakan lidah dan geraman dari tenggorokan mereka saat menyantap mayat di depannya membuat Helen mual, ia memilih memejamkan mata dan menekap mulutnya dengan tangan. Mereka terjebak di ujung anak tangga lantai lima. Tak bisa keluar pintu darurat karena dua Obs yang sedang sarapan itu berada lima meter di depan mereka.

Sementara Adam dan Lusi perlahan-lahan berdiri dari tempat mereka duduk sambil memandang ke sisi kanan. Di ujung lorong semula tak terlihat apapun, tapi beberapa saat belakangan terlihat ada gerakan mencurigakan. Di balik kursi besi di depan salah satu kamar ternyata sebelumnya tergeletak sebuah mayat, dan kini mayat berbaju satpam tersebut perlahan-lahan terlihat bangun dan bergerak.

Obs yang baru lahir itu terlihat mendekat, sedekat posisi Albert dan Helen di antara kedua Obs di depannya. Pada saat yang tidak tepat seperti ini ponsel mereka berdering dan kemudian suara Lidia terdengar.

"Helen, bagaimana keadaanmu?" entah bagaimana caranya suara Lidia bisa terdengar dari speaker ponsel seluruh anggota tim. Seketika Obs yang ada di depan Albert dan Helen berlari mendekat. Obs baru di hadapan Lusi dan Adam pun menggerakkan tubuhnya mencari sumber suara.

"Sial!" gerutu Albert langsung menutup pintu darurat di hadapannya dan menarik lengan Helen berlari kembali menuruni tangga yang tadi mereka naiki. Kedua Obs yang acara sarapannya terganggu itu mecakar-cakar permukaan pintu dan membentur-benturkan tubuh mereka. Helen berteriak ketika menyadari di belakang mereka ada satu Obs berbaju suster yang menuruni tangga dan berlari ke arah mereka.

"Jangan bergerak!" Adam mengingatkan, padahal jelas di sampingnya Lusi sudah mematung sejak tadi. Obs itu tampaknya belum terlalu buta, pandangan yang keluar dari matanya terlihat jelas mengarah ke mereka. Ia kemudian bergerak miring dan merangsek ke arah Lusi, Adam buru-buru menembakan pistol di tangannya, tepat di kepala Obs saat tangan busuknya hampir mencengkeram bahu Lusi. Lusi bergetar syok, tak mampu berkata-kata.

"Tenang, tenang! Atur nafasmu!" Adam memegangi kedua pipi Lusi yang memucat dan nafasnya kembali menderu tak beraturan.

"Tenang, istighfar. Ayo Lusi, atur nafasmu." Adam mulai panik melihat keadaan Lusi yang lebih parah saat episode daripada Juli. Dalam hati bersumpah akan membantu wanita ini untuk keluar dari tim ini. Segera mungkin memulangkannya, sebelum mentalnya menjadi semakin parah.

"Aku akan membantu kamu pulang, tenang, ini akan berakhir." Ia meyakinkan. "Aku berjanji, kau harus pulang segera."

Tak menjawab apapun, Lusi berusaha keras mengatur nafas. Meski tak dipungkiri dalam hati berharap Adam benar-benar melakukan ucapannya. Tidak bisa dipungkiri keadaan seperti ini terasa sangat menyiksa.

"Ayo kita turun." Adam merengkuh bahu Lusi dan membimbing langkahnya masuk ke dalam lift, sementara tangan kanannya siaga dengan pistol. Menekan earphone-nya begitu pintu lift tertutup. "Albert, kau tak usah ke atas. Kami turun."

Albert yang tengah berlari mengarah ke ruang istirahat hanya menjawab, "Ya." Sambil terengah.

Di depan pintu Angga dan Lidia bersiap dengan senjatanya masing-masing memandang Albert dan Helen yang ada dikejauhan. Terperangah melihat gerombolan Obs yang mengejar mereka.

"Lari!" teriak Albert sambil melambaikan tangan.

Joko keluar ruangan, ikut terperangah melihat keadaan lalu kembali masuk. Mengambil tas Lidia dan Angga, dengan sigap langsung melemparkan ke pemiliknya.

"Lari!" teriak Albert lagi ketika jarak mereka sudah semakin dekat ke depan pintu ruang istirahat.

Joko lagi-lagi kembali ke dalam, kali ini ia membawa tas anggota lainnya. Melemparkan milik Helen dan Albert saat keduanya lewat di hadapannya. Lalu berteriak "Lariiiiiiiiiii!" sambil berlari menyusul dengan tas Lusi dan Adam di kedua bahunya.

Lidia berlari sekuat tenaga sambil mengenakan ransel di punggungnya. Di belakangnya Joko tertatih membawa ransel Adam dan Lusi serta semua yang bisa ia bawa di tangannya, terutama makanan. Di paling belakang Angga berlari mundur, SS4 Pindad-nya siaga di tangan. Terlalu banyak Obs yang mengejar sehingga ia harus benar-benar memperhitungkan waktu yang tepat untuk melepaskan peluru, mengingat tak punya cadangan peluru sama sekali.

Albert dan Helen keluar ke lobi rumah sakit. Melepaskan tembakannya ke salah satu Obs terdekat dari sekian banyak yang berlari ke arah mereka. Hampir sampai ke mobil, Albert menembak sekali lagi, tepat di paha salah satu Obs yang mengenakan piyama pasien. Obs itu terjatuh di tanah, membuat Obs-Obs lain di belakangnya tersandung tubuhnya, kemudian terjatuh dan tersandung oleh Obs lain di belakangnya. Terus menerus hingga mereka yang terjatuh saling menggigit satu sama lain.

Helen tidak memperhatikan langkahnya sehingga tersandung ketika menuruni tangga lobi dan jatuh tengkurap. Kacamatanya pecah saat membentur tanah. Ia meraba-raba tanah untuk mengambil kembali gagang kacamatanya, namun Albert buru-buru menarik tangannya dan mengangkat tubuh Helen. "Tidak ada waktu!" ujarnya segera membawa Helen berlari ke arah mobil.

Angga segera masuk ke mobil dan menyalakan mesin, begitu pun Lidia yang segera membuka pintu untuk Albert dan Helen. "Cepat!"

Tanpa sadar Albert mendorong Helen masuk ke dalam mobil, dan buru-buru merangsek masuk sambil menutup pintu mobil dengan tangan kirinya. Di kursi paling belakang Joko mengkeret takut, bibirnya pucat pasi.

"Kita harus pergi sekarang!" tegas Angga, panik melihat sekawanan Obs yang berlari ke arah mobil mereka.

"Adam dan Lusi?" tanya Albert.

Angga tak ingin mengambil resiko mobil mereka hancur dan tak bisa digunakan lagi jika oleh sekawanan Obs yang mendekat itu. Ia tak menjawab pertanyaan Albert dan segera mengendarai mobil, mundur beberapa meter lalu berputar 180 derajat ke kiri. Menginjak pedal gas dalam-dalam menjauhi halaman rumah sakit.

JAKARTA'S RUINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang