chapter 8

6.6K 459 1
                                    

Hari ini aku memasak udang goreng tepung, spaghetti bolognese, dan puding buah. Semua itu Nathan yang memintanya. Ini sudah kedua minggunya aku mengantarkan makan siang.

Pada awalnya setiap aku menanyakan dia ingin makan apa, Nathan slalu mengatakan 'terserah kau saja'. Tapi sudah dua hari ini Nathan mulai terbiasa memintaku untuk membuatkan masakan yang ingin dia makan.

Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 11.45 sebentar lagi masuk jam makan siang. Aku harus cepat-cepat ke kantornya, kalau tidak kasihan perut suamiku.

Ku persiapkan semuanya dengan cepat, kotak makan siang sudah ku tata rapi dan diriku juga sudah rapi. Setelah aku keluar dari gedung apartemen kulihat taxi yang kupesan tadi sudah menunggu.

Di jalan, aku mengirimkan pesan pada Nathan, ku katakan bahwa aku sudah berada di jalan menuju kantornya. Ingat, sewaktu dia mengatakan kalau ingin ke kantornya beritahu dia dulu? Makanya aku selalu mengiriminya pesan.

Kulirik jam di pergelangan tanganku, sudah menunjukkan pukul 12.30. Sudah lewat jam makan siang, tapi taxi yang kutumpangi sekarang tidak bergerak sama sekali.

Sudah 30 menit kami terjebak macet. Katanya ada kecelakaan di persimpangan jalan depan yang menyebabkan kemacetan parah ini. Tapi, mau sampai kapan aku disini? Bisa-bisa Nathan sudah memesan makanan lain.

Kuperhatikan jalanan disekelilingku, sepertinya jalanan ini sudah dekat dengan kantor Nathan. Jadi kuputuskan, aku akan berjalan kaki saja.

Setelah membayar ongkos taxi, akupun turun dan berjalan dengan tergesa-gesa. Untung aku memakai flat shoes jadi aku tak perlu khawatir kakiku akan lecet. Coba bayangkan kalau kau harus berlarian dengan sepatu high heels? Oh No!!

Cuaca siang ini lumayan panas, ditambah lagi dengan polusi udara dari kendaraan di jalan yang bisa kupastikan berdampak pada penampilanku. Keringat yang berjatuhan didahi dan lengan kemeja yang sudah kulipat sampai siku, ah benar-benar mengerikan.

Setelah berjalan 15 menit, akhirnya aku sampai di kantor Nathan. Ku lihat kembali jam di pergelangan tanganku, 12.45 ! Ya Tuhan, dengan langkah terburu-buru aku menaiki lift dan menekan tombol 15.

Aku merasakan sesuatu. Sesuatu yang sedang memandangiku. Kilirik dua orang wanita yang ada di belakangku. Aku yakin, mereka pasti menertawakan penampilanku sekarang. Dan pasti tidak akan ada yang percaya bahwa aku adalah istri bos mereka. Aku berdandan saja tidak ada yang percaya, apalagi dengan penampilan seperti ini.

Tak lama pintu lift pun terbuka, dan akhirnya aku bisa bernafas lega setelah lepas dari tatapan-tatapan mengerikan mereka tadi.

"Sis, Nathan ada?" Tanyaku pada Siska, sekretaris Nathan. Dia sudah lebih sopan sekarang. Mungkin Nathan sudah memberikan pelajaran berharga untuknya.

"Ada buk, pak Nathan sudah menunggu ibu sejak tadi"

Menungguku ? Yang benar saja.

Perlahan ku buka pintu besar itu dan kulihat Nathan sedang duduk di kursi kehormatannya. Dia tampak serius dengan laptopnya, tak ada tanda-tanda seperti dia sedang menungguku. mungkin Siska berbohong tadi.

"Nat" panggilku.

Kulihat dia memandangku kaget, dan kemudian tatapannya berubah marah.
Marah?
Kenapa?
ah, jangan-jangan karna aku lama mengantarkan makan siangnya?!
Gawat!!

Dia bangkit dari kursinya dan berjalan dengan cepat kearahku. Semakin dia mendekat, semakin kurasakan aura kemarahannya.

"Kau dari mana?!" Bentaknya tiba-tiba.

Kenapa dia membentakku?

"Kenapa kau tidak menjawab telfonku?" Tanyanya lagi, kini sudah sedikit melembut. Mungkin dia sadar, aku sedikit kaget dengan bentakannya tadi.

"Telfon? Kau menelfonku?"

Kapan dia menelfon? Kenapa aku tidak dengar ya?

Ku rogoh hanphoneku di tas, dan kulihat... ah, benar. Dia menelfonku 5 kali!

"Ma-maaf, aku tidak dengar" sesalku, aku tak berani melihatnya. Dia mengerikan jika sedang marah.

Kudengar dia menghela nafasnya, dan kemudian bertanya lagi.

"Kenapa kau lama sekali?"

"Tadi aku terjebak macet, ada kecelakaan di jalan"

"Dan kenapa penampilanmu seperti ini?" Tanyanya sambil menghapus peluh didahiku.

"Ah itu, karna aku berjalan kaki kesini. Kalau aku terus berada di dalam taxi yang tak bergerak itu rasanya percuma saja. aku tak ingin membuatmu menunggu. Maaf" jelasku dan kuberanikan menatapnya. Tatapannya, rasanya aku tak pernah mengerti dengan arti tatapannya.

Kulihat dia menghela nafas lagi, kemarahannya tadipun sudah hilang entah kemana.

"Ayo makan, aku sudah lapar menunggumu" ucapnya sambil berjalan menuju sofa.

Jadi dia marah karna dia lapar? Tapi rasanya ada yang salah. Dia tak pernah marah-marah karna masalah makanan. Dia bisa sajakan delivery, biasanya juga seperti itu sebelum aku mengantarkan makan siang.
Ah sudahlah, terserah dia saja.

Saat aku sedang menyusun makananmya, tiba-tiba dia kembali berucap.

"Jangan perrnah tak mengangkat telfonku lagi"

Oh, jadi karna itu.

"Iya, aku janji"

Terjawab sudah.










Yeye siaap.
Terima kasih sudah membaca
Jangan lupa vote ya.
Yang mau kasih sarannya, silahkan komentar :)

RianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang