"Tuh kan, kaget! Jangan norak ya, Dhir. Anggep aja lo nggak tau nyokap gue, biar dia nggak geer film-filmnya ditonton banyak orang," ucap Emir ketika melihat ekspresi terkejut yang terlihat jelas di wajah Nadhira.
Memang, selama ini Emir tidak pernah menunjukkan atau memberi tahu foto ibunya kepada siapapun, walaupun ia tidak menutupi fakta kalau ibunya adalah seorang aktris dan hanya teman-teman sekolahnya lah yang pernah melihat langsung wajah ibunya ketika pembagian rapot semester. Selain karena faktor ibunya dulu adalah mantan aktris sehingga ia takut apapun yang ia bagi ke sosial media akan jadi bahan pemberitaan, ia juga merasa kalau tidak ada yang perlu ia bagi tentang keluarganya ke siapapun—khususnya ibunya, karena ia cukup sering mempublikasikan kegiatan-kegiatan ayahnya, baik ketika ia mengantar ayahnya ke bandara untuk dinas ke luar negeri ataupun ketika ia hanya sedang menemani ayahnya mengopi di kedai favoritnya—dan, yah, tak ada pula yang patut dibanggakan dari ibunya.
"Tante apa kab—" sapaan yang baru akan dilontarkan Nadhira ketika kedua orang tua Emir berjalan mendekati meja tempat mereka duduk itu terpotong begitu saja.
"Halo," sapa ibunya cepat seraya tersenyum anggun, "Udah lama nunggunya, Nak?"
Emir menggeleng sambil tersenyum formal—jenis senyuman yang biasa ia lakukan kalau sedang bertemu dengan teman-teman ibunya yang juga berasal dari dunia hiburan, atau di depan teman-teman dekat ibunya ketika sedang arisan. Jenis senyuman yang kalau ia bisa, ia lebih memilih untuk tidak melakukannya.
"Wah, cantiknya!" seru ayah Emir sambil tersenyum lebar, sedangkan matanya terpaku pada seseorang yang duduk di sebelah Emir. "Siapa ini, Mir?" lanjutnya lagi tanpa menghilangkan senyumannya.
"Namanya Nadhira Idris, Ma, Pa. Panggil aja Dhira. Kita sama-sama masuk kelas unggulan di kampus. Business plan yang aku bikin juga itu proyekku dan Dhira," jelas Emir singkat dan menekankan pada keterangan 'sama-sama masuk kelas unggulan'.
Orang tuanya bukanlah tipe yang terbuka, hanya yang menurut mereka 'pantas' saja yang akan diperlakukan dengan baik. Ayahnya sendiri walaupun sebenarnya tipikal orang yang hangat dan ramah kepada siapa saja, akan tetap bersikap selektif kalau sudah berhubungan dengan dunia pribadi Emir, anak semata wayangnya. Bagi kedua orang tua Emir, siapapun yang sedang dekat dengan Emir sudah harus lolos kualifikasi—yang biasanya dilihat dari inner beauty-nya, apakah dia pintar dalam akademis, bakat apa yang ia miliki, apakah ia aktif dalam kegiatan sosial atau tidak, serta latar belakang keluarganya yang harus terpandang—karena baik ibu dan ayahnya adalah tokoh yang dilihat publik.
"Idris?" tanya ayahnya dengan ekspresi tertarik, "Kamu keturunan Tjandra Idris? Yang pengusaha kelapa sawit itu?"
Dengan ekspresi kecewa, Nadhira menggeleng.
"Bukan, Om... Papa saya konsultan di dirjen pajak," jawab Nadhira kalem.
"Wah, Om baru aja bikin e-Filling! Bagus itu, terobosan baru dan modern. Biar negara kita nggak ketinggalan banget lah sama negara-negara tetangga."
Nadhira tersenyum simpul, "Iya ya, Om. Menghemat waktu dan tenaga. Penyampaian SPT juga bisa melalui e-Filling, jadi nggak harus repot pakai pos lagi."
"Sudah masuk anggota IKPI, Papamu itu? Nanti biar kalau ada acara siapa tau Om bisa ngobrol-ngobrol," tanya ayah Emir lagi.
Nadhira mengangguk kikuk, "Sudah, Om. Papa juga salah salah satu pengurus, dan sempat beberapa kali ikut kongres lokal dan di luar negeri."
Melihat ayahnya tersenyum puas, Emir langsung merasa lega! Background check? Oke. Setidaknya Nadhira sudah memenuhi dua kualifikasi; bukti bahwa ia kompeten di bidang akademis dengan masuk ke kelas unggulan, dan latar belakang keluarga yang memiliki track record baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends, Lovers, or Nothing?
Novela JuvenilFriends, lovers, or nothing? We can really only ever be one. Don't you know, we'll never be the inbetween ♪