WARNING! VIOLENCE WORDS MAY OCCUR. PLEASE READ WISELY.
***
"DHIR, GUE DAPET TIKET PREMIER X-MEN APOCALYPSE!!"
Walaupun tidak dapat melihat langsung wajah Nadhira, tapi Reihan tahu sahabatnya itu pasti senang bukan main. X-Men adalah salah satu film superhero favorit mereka, walaupun ada beberapa franchise-nya yang menurut mereka gagal total, seperti X-Men Origins: Wolverine—namun tertolong berkat munculnya Deadpool. Menurut Nadhira, satu-satunya sutradara yang paling cocok untuk X-Men adalah Bryan Singer, terbukti dengan First Class dan Days of Future Past yang seolah-olah memperbaiki 'luka' masa lalu akibat film-film sebelumnya. Sedangkan Reihan sendiri tidak terlalu peduli dengan siapa sutradara dari film ini-itu, yang dia pedulikan hanyalah apakah filmnya itu sesuai dengan komik atau tidak, dan kalau tidak, maka ia akan langsung mencoret judul film itu dari daftar panjang film-film superhero favoritnya.
"Iyaa serius! Pokoknya sekarang mending lo cepetan pulang deh, udah malem. Nggak enak diliat tetangga kan kalo balik malem-malem."
Setelah mematikan sambungan telepon, Reihan langsung segera menekan saklar lampu, membuat satu-satunya penerangan di rumahnya itu padam.
***
Lapangan futsal kampus yang biasa dipakai sparing cowok-cowok dari jurusan dan angkatan mana saja itu kini sedang sepi, pasalnya sedang dilakukan renovasi dan persiapan untuk olimpiade tahunan antar fakultas yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.
"Oi, Mir!" sapa Reihan sambil menghampiri Emir serta beberapa panitia yang terlihat sibuk entah melakukan apa.
Reihan sendiri tidak berminat ikut berkecimpung di organisasi karena itu—kesibukan mengatur dan mengurus ini-itu yang menurutnya tidak terlalu penting dan tidak berpengaruh di hidupnya, selain itu ia memang pada dasarnya pemalas. Yang ada kalau ia ikut organisasi, ia akan jadi tipe-tipe anggota yang selalu kabur kalau ada rapat, atau datang sebentar dan sesegera mungkin izin dengan alasan-alasan sepele yang kadang tidak masuk akal sama sekali. Kontras dengan Jasmine, pacarnya itu memang sangat suka bergaul dan bertemu orang-orang baru. Auranya memang kuat dan bersifat persuasif, tidak ada satupun orang yang tidak senang berteman dengan Jasmine—setidaknya sampai mereka tahu yang sebenarnya.
"Eh, Rei?" Emir malah terlihat terkejut melihat kedatangan Reihan, "Ngapain ke sini?"
Alih-alih menjawab, Reihan malah celingukan.
"Nyari siapa? Jasmine?"
Kalau Jasmine, ia tidak perlu jauh-jauh mencari sampai lapangan futsal yang letaknya cukup jauh dari gedung fakultas sampai-sampai ia harus menaiki bis kuning. Fakta bahwa Nadhira dan Jasmine berada di satu tempat yang sama lah yang membuatnya memutuskan untuk datang.
Sambil menggaruk tengkuknya, Reihan menggeleng, "Dhira mana, Mir? Tadi gue nanya Niko, katanya Dhira nyusulin lo ke sini."
"Wahaha! Niko masih ngampus? Gilaa, gue udah lama banget nggak ketemu dia sama Arkan, absen mulu!" respon Emir sambil geleng-geleng kepala mengingat kelakuan kedua teman dekatnya yang belakangan ini sudah jarang terlihat di kampus itu, kemudian ia melanjutkan, "Tuh tasnya, tungguin aja. Tadi sih bilangnya kebelet, dia kesini sekalian nungguin lo selesai kelas. Jadi nonton X-Men?"
Reihan mengangguk sambil duduk di bench yang terletak di pinggir lapangan, di sebelah Jansport marun milik Nadhira, sementara matanya menyusuri sejauh kapabilitas matanya memandang. Entah kenapa ia merasa agak resah ketika tidak dapat menemukan Nadhira di mana pun, dan fakta bahwa Jasmine tidak pula berada di tempat seharusnya ia berada membuat Reihan semakin panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends, Lovers, or Nothing?
Genç KurguFriends, lovers, or nothing? We can really only ever be one. Don't you know, we'll never be the inbetween ♪