JESSICA membuka matanya sementara pengumuman bahwa pesawat akan segera mendarat mulai terdengar.
Ketika akhirnya pesawat mendarat dan beberapa penumpang di kabin VVIP itu mulai bergerak, Jessica masih tetap duduk tenang di tempat duduknya. Ketika kabin benar-benar kosong, seorang pramugari datang dan membungkuk hormat padanya.
"Mobil dan pengawal sudah siap di depan bandara, Nona. Dan jalan sampai ke mobil sudah disiapkan. Koper Anda sudah diangkut. Ada lagi yang bisa Saya bantu, Nona?"
Jessica memakai kacamatanya dan bangkit berdiri. "Tidak."
Setelah itu Jessica turun dari pesawat dan sesuai perkataan pramugari itu, jalan menuju mobilnya sudah terbuka dengan polisi dan beberapa bodyguard berjaga di sampingnya.
Ketika Jessica sampai di pintu bandara, seorang pria datang dan membungkuk padanya.
"Selamat datang kembali, Nona."
"Paman Hery," sapa Jessica dan seulas senyum tulus terukir di bibirnya. "Apa kabar, Paman?"
"Baik, Nona. Silahkan,"
"Aku akan pulang dengan mobil temanku," kata Jessica sambil mengedarkan pandangannya. Ia tersenyum saat pandangannya jatuh pada sebuah Range Rover putih dengan gadis di depannya. "Jangan ikuti aku! Bawa saja barang-barangku ke rumah."
"Baik, Nona."
Jessica berjalan ke arah Range Rover itu dan masuk ke dalam mobil sementara gadis itu juga masuk ke kursi pengemudi.
"Nona Besar akhirnya pulang, eh?" kata gadis itu.
Jessica melepaskan kacamatanya. "Diam, Rach!"
Rachel tertawa dan mulai mengemudikan mobilnya.
"Kau tahu, para polisi menyebalkan itu hampir menilangku karena bersikeras ingin masuk ke 'daerah steril' sebelum aku diselamatkan oleh Paman Hery." cerita Rachel. "Sudahkah kukatakan bahwa aku benci ketika kau mulai diperlakukan seperti putri?"
"Kau sudah sering mengatakannya saat kita SMA dulu," kata Jessica.
"Ya. Dan tiap kali kau ingin kabur, kau selalu pergi ke rumahku dan membawa masalah untuk keluargaku." gerutu Rachel.
Jessica hanya tersenyum.
"Kau tidak datang saat pemakaman," kata Rachel pelan.
"Aku mengurus kepindahanku ke Jakarta. Jujur saja mereka sangat memperlambat proses pengunduran diriku." kata Jessica. "Dan sejujurnya, sebisa mungkin aku tidak ingin bertemu dengan Mary ataupun Nicole."
"Mungkin mereka benar-benar takut kehilangan staf ahli mereka." kata Rachel. "Ngomong-ngomong, Nicole sudah bertunangan dengan..."
"Aku tahu, Rach." potong Jessica. "Hanya karena aku tinggal di Berlin tidak berarti aku tidak tahu apa yang terjadi di sini."
"Dan kau benar-benar akan menggantikan ayahmu memimpin perusahaan?" tanya Rachel.
"Aku pewaris sah, Rach. Hanya aku yang boleh menggantikan Dad.Jika aku tidak kembali, Mary akan mengambil alih perusahaan. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi." kata Jessica. "Itu perusahaan yang dibangun Dad dan Mom."
"Dan aku tetap tidak akan bisa membujukmu untuk tinggal denganku di apartemen, 'kan?"
"Aku harus mempertahankan rumahku, Rach." gumam Jessica. "Kalau boleh memilih, aku tidak ingin kembali."
Rachel diam cukup lama.
"Maaf," kata Jessica sambil tersenyum. "Ini pertama kalinya kita bertemu setelah empat tahun lebih dan kita malah membicarakan sesuatu yang buruk."
"Yah, kurasa aku sudah biasa jadi tempat sampah bagimu," kata Rachel santai. "Makan siang dulu, kumohon? Kau baru mulai bekerja besok, 'kan?"
Jessica mengangguk. "Mau makan siang dimana?"
"Ada restoran Korea enak didekat butikku. Bagaimana?" Rachel menawarkan.
"Tentu," kata Jessica setuju. "Kurasa aku sedikit bosan dengan roti dan sosis."
Rachel tertawa. "Hei! Menemukan pria menarik di Berlin?"
"Banyak laki-laki tampan di sana," Jessica mengakui. "Tapi tak ada yang menarik bagiku."
"Masih memikirkan sang cassanova?" tanya Rachel.
Jessica mengalihkan pandangan ke jalanan. "Aku harus berhenti memikirkannya, 'kan?"
Jessica ingat masa-masa SMAnya dulu.
Bagaimana semua siswi di SMAnya jatuh cinta pada sang cassanova. Semuanya.
Kecuali Jessica.
Bahkan Rachel mengagumi cassanova itu.
Tapi pada akhirnya, justru Jessica-lah yang paling tidak bisa melupakan cassanova itu.
"Jess?" panggil Rachel lembut. "Kita sudah sampai."
Jessica mengerjapkan matanya dan memandang sahabat baiknya. "Tentu,"
Mereka turun dan masuk ke dalam restoran.
Orang-orang di sekitar sana langsung memandang keduanya.
"Berita bahwa kau kembali ke Jakarta cukup sering terdengar. Orang-orang pasti dengan mudah mengenalimu seperti mereka akan mengenali adik..."
"She's not my sister," geram Jessica.
"Sorry, Jess." kata Rachel sambil mengangkat kedua tangannya.
Mereka memilih untuk duduk di pojok ruangan yang jarang dipilih pengunjung dan memesan makanan.
"Jadi," kata Rachel sambil mengamati Jessica yang melempar rambut panjangnya kebelakang. "Kurasa kau sudah berubah."
Jessica mengangkat alisnya. "Apa maksudmu?"
"Dulu, seorang Jessica Lauren tidak akan pernah merapikan rambutnya. Bahkan jarang membiarkannya tergerai. Kau juga tak pernah mau mengenakan gaun. Tapi sekarang..."
"Everything changes, Rach." kata Jessica. "Bukan berarti aku tidak membenci pakaian-pakaian ini. Tapi sebagai Presiden Direktur, aku tidak bisa lagi berpakaian seenaknya."
Rachel tersenyum mendengarnya. "Kau benar-benar sudah lebih dewasa. Aku jadi seperti Ibu yang bangga pada anaknya."
Jessica memutar matanya sementara Rachel tergelak.
"Mau mampir ke kantorku setelah ini?" tanya Rachel setelah mereka selesai makan. "Ada beberapa desain yang kubuat untuk artis-artismu. Dan kurasa ada beberapa pakaian yang akan kau sukai."
"Oke," kata Jessica santai. "Tapi kau harus mengantarku pulang nanti. Karena hari ini aku sedang tidak ingin melakukan apapun."
"Dasar Nona Besar," gerutu Rachel yang hanya mengundang tawa dari pihak Jessica.
@@@
Rachel dan Jessica berjalan ke kantor Rachel setelah ia menelepon sekretarisnya untuk mengambil mobilnya.
"Panas," keluh Jessica.
"Setuju," kata Rachel sambil mengipasi lehernya dengan tangan. "Kita akan selamat begitu sampai."
Ketika akhirnya mereka masuk ke sebuah butik, Rachel menghela napas lega.
"Siapa yang mengatakan padaku bahwa kantornya tidak jauh dari restoran tadi?" tuntut Jessica.
Rachel hanya nyengir. "Ayo naik ke kantorku!"
Jessica memutar matanya meskipun ia tetap mengikuti Rachel.
Rachel lulusan fashion design di New York. Dan ia membuka butiknya sendiri di Jakarta sejak setahun belakangan. Dan yang ia sebut sebagai kantor adalah keseluruhan lantai tiga dari butiknya yang penuh dengan bermacam kain dan kertas-kertas desain.
"Keren," puji Jessica sebelum ia mulai sibuk melihat-lihat.
"Rak di sana akan jadi kostum debut untuk artis terbarumu," kata Rachel sambil menunjukkan rak di dekat lift. "Bagaimana pendapatmu?"
"Untuk Blue Bird?"
Rachel mengangguk. "Warna biru sebagai ciri khas warna dari grup itu sendiri. Dan konsep gadis ceria yang dikatakan oleh sekretarismu. Tapi aku tetap membuatnya sesimple mungkin agar tetap nyaman untuk digunakan saat menari."
"Aku belum bisa memutuskan, Rach. Maaf. Aku harus menemui mereka dulu dan melihat penampilan mereka." kata Jessica. "Tapi kau bisa menghilangkan aksen renda di bagian rok dan menggantinya dengan pita di punggung. Bukankah itu lebih manis?"
"Tidak buruk," kata Rachel. "Akan kubuat kombinasinya. Aku akan menemui gadis-gadis itu besok setelah mereka tampil di depanmu."
"Oke," kata Jessica sambil yang sudah menelusuri rak-rak lainnya.
"Dua rak di kananmu," kata Rachel. "Ada baju-baju kantor yang nyaman tapi tetap modis."
Jessica langsung menuju rak yang ditujukan dan mengambil sebuah dress pendek simple.
"Kuakui kau desainer berbakat, Rach." kata Jessica sambil tersenyum sementara ia mengambil kemeja putih tanpa lengan. "Mau jadi desainer pribadiku?"
"Itu akan sedikit membosankan," aku Rachel.
Jessica tertawa. "Kirimkan tagihan ke sekretarisku, oke?"
"Ambil saja apa yang kau suka, Jess." kata Rachel.
Jessica menurunkan kedua tangannya dan memandang Rachel muram.
"Ada apa, Jess?" tanya Rachel khawatir sambil mendekati sahabat baiknya itu.
"Aku harus menemui Johnson Corporation besok," katanya pelan. "Apa yang harus kukenakan?"
"Kenapa kau begitu peduli bagaimana penampilanmu di hadapannya?" tanya Rachel tak mengerti. "Kau sendiri yang berkata bahwa kau harus melupakannya. Jadi kenapa...?"
"Aku juga tidak tahu," kata Jessica sambil merunduk.
Rachel merasa mencelos.
Jessica hampir tidak pernah menangis. Setau Rachel, Jessica hanya pernah menangis saat ibunya meninggal dan kejadian empat setengah tahun lalu.
"Jess..."
"Aku tahu aku harus melupakannya. Tapi..." Jessica mendongak dan menghapus air matanya. "Aku benci terlihat lemah seperti ini."
"Tidak apa untuk terlihat lemah di depan sahabatmu, Jess." kata Rachel sambil memeluk Jessica. "Kau sudah terlalu sering berpura-pura di depan semua orang. Kau tak harus berpura-pura ketika ada di depanku."
Jessica tersenyum mendengarnya.
"Well... kembalilah bekerja! Aku akan melihat-lihat lebih dulu." kata Jessica,
Rachel mengangguk dan memanggil sekretarisnya. "Dia Angel. Dia yang akan membantumu."
"Oke,"
Rachel berjalan menuju mejanya dan mulai mendesain.
Yah... tak bisa disebut mendesain juga karena pada dasarnya Rachel hanya mencoret-coret kertas.
"Rach...?"
"Hmm...?" gumam Rachel sambil mendongak.
"Apakah menurutmu kemeja ini cocok dipadu dengan skirt putih polos?" tanya Jessica sambil menunjukkan sebuah kemeja hitam tipis yang sedikit transparan di bagian bahu dan lengannya.
Rachel tersenyum mendengarnya.
Kenapa orang cuek seperti Jessica yang tidak pernah peduli pada penampilan justru punya selera fashion yang sangat bagus? Jessica hanya kurang percaya diri.
Tapi mungkin juga Jessica memang sudah berubah. Ia jadi lebih memperhatikan penampilan sejak kejadian itu...
"Kau akan terlihat mengangumkan," kata Rachel jujur.
"Trims," kata Jessica sambil tersenyum tipis. "Apakah menurutmu akan sopan kalau aku memakainya ke kantor? Apalagi besok aku harus bertemu dengan..."
"Kau presiden direktur, Jess. Kau bebas menggunakan apapun yang kau inginkan dan tak ada seorang pun yang akan berani melarangmu." potong Rachel. "Dan lagi... percaya dirilah sedikit!"
Jessica tersenyum mendengarnya.
"Kau mau pulang sekarang?" tanya Rachel. "Kau harus istirahat. Besok kau akan benar-benar sibuk."
"Aku tahu," kata Jessica. "Well... aku benar-benar merepotkanmu, bukan?"
"Karena kau sahabat baikku, maka kau dimaafkan." kata Rachel ceria. "Serahkan saja semuanya pada Angel. Dia yang akan mengirimnya ke rumahmu nanti."
Jessica menyerahkan kemeja itu pada Angel. "Well, kirimkan tagihan ke Paman Hery. Aku tak tahu apakah ia sudah menemukan sekretaris untukku."
"Tak perlu terlalu memikirkannya," kata Rachel sambil menarik tangan Jessica menuju ke lift. "Lagipula aku tahu kau tak akan kabur tanpa membayarnya."
Jessica tertawa.
Rachel ikut-ikutan tertawa.
Dan begitu mereka berdua tertawa, semakin sulit bagi mereka untuk berhenti.
Detik itu Rachel baru menyadari betapa ia merindukan sahabatnya ini.
@@@
"Jessica Lauren Ronald, pewaris GL Entertainment yang menaungi banyak artis-artis terkenal Ibu Kota seperti Seth August, Nicole Gracia, Samuel Edward, dan grup idol terkenal seperti X0Y, Double D, Girlfriend, MaxUnit, dan banyak lainnya ini, baru saja kembali dari Jerman setelah empat tahun melanjutkan studinya di sana. Masih sama memukaunya seperti empat tahun lalu, Jessica bahkan tampak lebih cantik dan anggun.
Ketika ditemui di bandara, gadis yang masih berusia 21 tahun ini enggan memberi komentar perihal ketidakhadirannya di pemakaman sang ayah dua hari lalu, yang juga merupakan Presiden Direktur GL Entertainment sebelumnya. Hanya memamerkan senyumnya, Jessica kemudian masuk ke dalam mobil milik temannya, Rachel Octavia, sebelum meninggalkan bandara.
Pengacara pribadi keluarga Ronald sudah memberi pernyataan bahwa ketidakhadiran Jessica bukan disebabkan karena hubungannya dengan sang ayah yang sering dikabarkan kurang baik, melainkan lebih karena Jessica harus mengurus pengunduran dirinya di salah satu perusahaan multinasional di Jerman yang tampaknya sedikit keberatan dengan pengunduran dirinya.
Di lain pihak, GL Entertainment memastikan bahwa Jessica akan mulai mengambil alih jalannya perusahaan mulai besok. Beban yang cukup besar diletakkan di pundak Jessica ketika ia diharapkan mampu memastikan bahwa semua artis naungannya tetap dapat berkarya tanpa menimbulkan kontrofersi seperti yang selama ini menjadi ciri khas artis-artis GL Entertainment.
Sementara itu, masih dalam topik yang sama, tampaknya masyarakat masih menunggu-nunggu mengenai debut..."
Suara pembawa berita itu terputus sementara seorang wanita mematikan televisi di depannya dan melempar remotenya ke meja di depannya.
"Memukau? Cantik? Mereka pasti buta," gerutunya sebelum meminum anggur dalam gelas yang ia pegang. "Dan beraninya mereka hanya menyebut nama putriku sambil lalu."
"Nyonya," Seorang pelayan wanita datang dan membungkuk kepadanya. "Nona Besar sudah datang..."
"Nona Besar?" ulang wanita itu tidak percaya. "Kau berani menyebut orang lain selain putriku dengan sebutan Nona Besar sementara kau hanya memanggil kami dengan sebutan Nyonya dan Nona?"
"Nyonya..."
"Apa yang salah dengan itu?" tanya seseorang di belakangnya.
Wanita itu menghela napas sebelum menoleh dengan senyum di wajahnya.
"Jessica,"
Jessica mendengus. "Kita berdua sudah sama-sama tahu, jadi mari lewati fase memuakkan seperti basa-basi, Mary. Apa yang dikatakan gadis ini benar. Aku memang Nona Besar di rumah ini."
"Yah, sedikit melegakan tidak harus berbasa-basi." kata Mary datar. "Kau yakin tidak mau kabur seperti yang kau lakukan empat tahun lalu?"
"Kuakui aku masih kekanakan saat itu," kata Jessica tenang. "Tapi percayalah bahwa itu tak akan terjadi. Aku tak akan pernah meninggalkan rumah ini. Kaulah yang harus bersiap untuk membereskan barang-barangmu."
Mary tertawa. "Menggelikan, Jess. Aku berhasil mengusirmu satu kali dari rumah ini. Menurutmu aku tak mampu melakukannya lagi?"
"Tidak akan pernah," kata Jessica. "Kau tidak berhak berada dan menginjakkan kaki di rumah ini."
"Menarik," kata Mary. "Mau lihat siapa yang berhasil?"
"Kenapa tidak?" kata Jessica tenang sebelum berbalik dan berjalan menuju kamarnya.
Mary langsung berbalik dan membanting gelas yang ia pegang.
"Dasar sialan!"
@@@
Jessica bisa mendengar suara bantingan kaca dan suara wanita itu mengumpat.
Ia menyeringai tanpa menghentikan langkahnya.
"Jangan jadi gila dulu, Mary," katanya pelan sambil menaiki tangga. "Ini bahkan belum dimulai,"
@@@
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm [Not] A Cinderella
RomanceEmpat tahun lalu, Jessica Lauren bersumpah ia akan melupakan semuanya dan memulai hidup baru di Berlin. Tapi kemudian ia mendapat kabar tentang kematian ayahnya dan harus kembali ke Jakarta untuk mengambil alih posisi ayahnya. Kembali ke kota yang m...