JESSICA benci hujan.
Alasan pertama sudah pasti karena itu membuatnya naik motor. Apalagi jika hujan turun saat ia di sekolah. Jadilah Jessica duduk sendirian di depan auditoriun dekat lapangan parkir sepeda motor dan hanya bisa memandangi sepeda motornya sedih.
Jessica duduk sambil memeluk lututnya dan menghela napas panjang.
Melihat dari awan yang tetap gelap, rasanya hujan tak akan secepat itu berhenti. Jadi ia hanya punya dua pilihan. Benar-benar menunggu hingga hujan reda dengan kemungkinan ia tidur di sekolah. Atau menerobos hujan dengan kemungkinan ia akan jatuh sakit dan terpaksa tidak masuk sekolah esoknya.
Sebenarnya kalau boleh memilih, Jessica ingin memilih opsi kedua.
Tapi kalau ia tidak masuk, otomatis ia harus menghabiskan waktu dengan Mary. Dan Jessica lebih memilih mengerjakan ulangan Fisika daripada harus bertahan melihat wajah orang yang ia benci.
"Kau bisa basah kuyub jika tetap di sini," kata seseorang.
Jessica mendongak dan mendengus melihat siapa yang bicara.
"Kau tak mau pulang?" tanya Stefan.
"Aku naik motor. Aku akan menunggu hujan reda sebelum pulang," jawab Jessica datar.
"Akhir-akhir ini intensitas hujan semakin sering. Aku tidak yakin hujan akan segera reda. Lagipula, kalau kau menunggu sampai nanti, jalanan akan mulai banjir." kata Stefan. "Kau serius tetap ingin menunggu?"
Demi Tuhan! Jessica tidak butuh jadi jenius untuk tahu itu. Lagipula Jessica yakin ia masih lebih pintar dibanding Stefan.
"Terima kasih sudah mengkhawatirkanku," kata Jessica tak peduli. "Tapi kau tak perlu melakukannya. Pergilah!"
Bukannya pergi, Stefan justru duduk di samping Jessica.
"Aku sedang malas pulang," kata Stefan.
"Lalu?" tanya Jessica jengkel. "Kalau kau mau menunggu, maka cari tempat lain. Aku sudah menunggu lebih dulu di sini."
"Memangnya ada papan pengumuman yang mengungkapkan tempat ini hanya boleh dipakai oleh satu orang?" tanya Stefan dengan nada memuakkan.
Jessica menghela napas panjang. "Kenapa akhir-akhir ini kau sangat suka membuatku jengkel? Apakah tangan patahku tidak cukup?'
"Tanganmu tidak patah! Itu hanya terkilir!" protes Stefan. "Lagipula sekarang kau sudah sembuh dan bisa menaiki sepeda motormu lagi, bukan?"
"Kau tahu berapa minggu aku harus menunggu sampai tanganku dinyatakan pulih sepenuhnya dan bisa naik motor lagi?" tanya Jessica jengkel.
"Tidak," jawab Stefan polos. "Memangnya berapa lama? Rasa-rasanya tidak sampai dua minggu."
"Tiga belas hari! Hampir dua minggu penuh!" kata Jessica jengkel. "Kau tak tahu betapa menderitanya aku terpaksa naik mobil tiap kali pergi."
Stefan memutar matanya. 'Aku sudah tahu tentangmu. Kau putri paman Ronald, bukan? Pemilik GLEnt., kan? Kalau begitu kau harusnya lebih terbiasa dengan semua tetek-bengek mengenai pewaris, saham, perusahaan, dan lainnya, 'kan?"
"Hanya karna ayahku pengusaha sukses bukan berarti aku ingin jadi pengusaha juga," gumam Jessica. "Aku benci membayangkan aku harus jadi pengganti ayahku suatu hari nanti."
Stefan mengangkat alisnya. "Kenapa?"
Jessica menghela napas sebelum menggeleng. "Bukan apa-apa."
Well, Jessica tidak bisa menceritakan semua tentang dirinya pada seseorang yang pernah mematahkan tangannya, 'kan?
Stefan menghela napas. "Kurasa kau juga tahu, terlahir sebagai seorang pewaris sebuah perusahaan besar membuatmu mendapatkan segalanya dengan mudah. Kau dihormati. Bahkan orang-orang yang jauh lebih tua pun merunduk hormat padamu. Di sekolah, guru-guru dan semua siswa juga memperlakukanmu dengan hormat. Saat aku bertemu denganmu, untuk pertama kalinya seseorang membentakku. Untuk pertama kalinya seseorang memutar matanya padaku. Untuk pertama kalinya seseorang menamparku. Aku tak bisa mengendalikan diri saat itu. Egoku terlalu besar. Maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm [Not] A Cinderella
RomanceEmpat tahun lalu, Jessica Lauren bersumpah ia akan melupakan semuanya dan memulai hidup baru di Berlin. Tapi kemudian ia mendapat kabar tentang kematian ayahnya dan harus kembali ke Jakarta untuk mengambil alih posisi ayahnya. Kembali ke kota yang m...