TIGA

5.1K 303 3
                                    

JESSICA Lauren.
Nama itu terus menerus mengganggunya.
Nama itu terus menerus muncul di benaknya.

Dan itu membuat Stefan uring-uringan. Hingga untuk pertama kalinya Stefan tidak fokus pada pekerjaannya hingga mendapat teguran dari ayahnya.

"Kita akan segera menemui saudara iparmu," kata ayahnya saat mereka turun. "Dan ia juga rekan bisnis. Jadi masalah apapun yang mengganggumu pagi ini, buang jauh-jauh. Mengerti?"

"Ya, Pak."

Well, andai saja ayahnya tahu kalau Jessica-lah yang justru jadi alasan kenapa ia kacau sejak tadi.

Tepat ketika mereka mencapai lobby, sebuah mobil hitam berhenti dan seorang gadis keluar dari dalamnya.
Stefan bisa merasakan jantungnya berhenti selama beberapa saat dan ia lupa caranya bernapas.

Jessica mengenakan kemeja hitam lengan panjang, tapi bagian lengan bahunya transparan sehingga Stefan bisa melihat kulit pucat dibaliknya. Dan dipadu dengan rok pendek berwarna putih membuatnya terlihat benar-benar cantik.

She is goddamn it like a goddess!

Jessica bahkan mengenakan heels.
Stefan harus menampar bagian dalam dirinya keras-keras untuk berusaha fokus.

Jessica berhenti di depan mereka dan merunduk. "Selamat siang, Mr. Johnson. Senang bertemu dengan Anda."

"Jessica," sapa ayahnya sambil mengulurkan tangan yang kemudian dijabat oleh Jessica. "Senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Aku sudah mendengar mengenai kesuksesanmu di Jerman."

"Itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan," kata Jessica ringan sebelum akhirnya memandangnya. "Selamat siang, Mr. Johnson."

Stefan menjabat tangan Jessica meskipun sejujurnya ia sedikit kecewa dengan reaksi yang diberikan oleh Jessica.

Kenapa gadis itu bersikap begitu dingin padanya?
Kenapa gadis itu bersikap seolah tidak terjadi apapun di antara mereka?
Kenapa gadis itu seolah menjaga jarak darinya?

Kemudian Stefan menertawakan dirinya sendiri. Tentu saja Jessica bersikap dingin padanya. Ia sudah terlalu banyak melukai gadis itu. Dan saat ini ia bertunangan dengan adik tirinya yang bagi Jessica adalah musuh terbesarnya.

Tapi Stefan tak bisa diam saja.
Ada terlalu banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya.

Kenapa Jessica meninggalkannya?
Kenapa Jessica meninggalkannya di saat Stefan sangat membutuhkannya?
Kalau saja... kalau saja gadis itu tidak pergi... kalau saja gadis itu mau menghadapi masalah itu bersama... kalau saja gadis itu tetap di sampingnya di saat-saat terburuk itu... mereka tidak akan menjadi seperti ini. Mereka akan masih bersama.
Dan Stefan tidak akan pernah bertunangan dengan Nicole!

"Mereka belum siap,"

Samar-samar Stefan bisa mendengar kembali suara Jessica dan ia harus berusaha keras untuk fokus pada pekerjaan saat ini.

"Saya sudah dengar bahwa panggung debut untuk Blue Bird adalah saat perayaan ulang tahun hotel Anda. Tapi mereka belum siap. Dan Saya percaya bahwa Anda tidak akan suka pada penampilan yang setengah-setengah." jelas Jessica.

Ayahnya mengangguk paham. "Well... urusan siapa pengisi di acara itu akan diurus oleh bagian acara. Mereka yang akan menghubungimu untuk melakukan rapat selanjutnya. Bagaimana dengan proyek terbaru yang sedang kukembangkan?"

Jessica tersenyum. "Saya sudah membacanya. Saya merasa terhormat Anda memilih Seth August dan DoubleD untuk menjadi brand ambassador taman hiburan Anda di Hongkong. Tapi kurasa masih ada beberapa detail kesepakatan yang masih perlu dibahas ulang."

"Tentu," kata ayahnya setuju. "Stefan yang akan mengurusnya karena itu idenya. Jadi kalau ada apapun yang ingin kau tanyakan, tanyakan saja pada Stefan."

Stefan mengamati wajah Jessica yang kehilangan senyumnya meski hanya beberapa detik.
"Tentu,"

Seorang sekretaris ayahnya datang dan membisikkan sesuatu sebelum ayahnya memandang Jessica dengan pandangan meminta maaf.
"Ada sedikit masalah. Bisa aku undur diri? Lanjutkan dengan Stefan. Dia tahu semua proyek yang berhubungan denganmu."

Jessica kehilangan senyumnya dua kali meskipun sekali lagi ia bisa menutupinya dengan cepat.
"Tentu, Mr. Johnson,"

Ketika ayahnya pergi, ada sedikit kecanggungan dalam ruangan karena tidak ada seorang pun yang bicara.

"Ehm... bagaimana kabarmu?" tanya Stefan.

"Saya rasa itu tidak ada hubungannya dengan masalah bisnis," kata Jessica datar meskipun ia tetap tersenyum.

Stefan menghela napas panjang. "Ryan?"

Sekretarisnya mendekat. "Ya, Tuan?"

"Cek lagi perizinan untuk pembangunan hotel di Jenewa. Kemudian hubungi pihak kontraktor dan jadwalkan pertemuan denganku!"

"Baik, Tuan."

Kemudian Ryan meninggalkan ruangan dan Stefan menatap Jessica yang balas menatapnya datar.

"Tak ada siapapun sekarang," kata Stefan. "Mari lewati tahap profesionalisme? Kita bisa diskusikan masalah pekerjaan lain waktu."

Jessica mendengus. "Bukankah kau akan menggantikan Mr. Johnson dalam waktu dekat? Kau yakin bisa memimpin perusahaan sebesar ini dengan sikapmu yang seperti itu?"

"Sica,"

"Jangan panggil aku seperti itu!" teriak Jessica sebelum ia berhenti dan menarik napas panjang. "Jangan pernah lagi memanggilku seperti itu. Bisakah kita bersikap profesional, Stefan Johnson? Atau Anda masih terlalu kekanakan untuk itu?"

Stefan bangkit berdiri dan mencengkeram lengan Jessica sambil merundukkan kepalanya mendekati Jessica.

"Kekanakan?" bisiknya pelan. "Kau mau melihat seberapa kekanakannya aku?"

"Kau masih sama brengseknya seperti dulu!" kata Jessica tak kalah pelannya.

Tapi perkataan itu sukses menohok Stefan begitu kerasnya hingga ia tak mampu bicara selama beberapa saat.

"Kau sudah punya tunangan," kata Jessica tanpa mengalihkan pandangan dari Stefan. "Dan aku muak melihatmu. Jadi jangan sentuh aku lagi,"

Setelah berkata seperti itu, Jessica mendorongnya menyingkir dan berjalan menuju pintu.

Stefan mengejarnya dan memegang tangannya sehingga Jessica menoleh dengan pandangan tak suka dan mata memerah. Sesuatu yang selalu terjadi saat ia marah.

"Maaf. Tak seharusnya aku melakukan ini," gumam Stefan. "Ayo bicara tentang bisnis."

"Kita bicarakan lain kali, Mr. Johnson. Tapi kuharap, di lain kesempatan itu akan ada orang lain yang memastikan bahwa Anda tidak akan bersikap kurang ajar." kata Jessica tenang sebelum menepis tangan Stefan.

Setelah itu Jessica berjalan pergi tanpa sekalipun menoleh.
@@@
Jessica langsung masuk ke dalam mobil dan seketika itu juga mobil berjalan. Tak butuh waktu lama baginya untuk mulai menangis.

"Nona...?"

"Tetap jalan, kumohon?" pinta Jessica pada sopirnya. "Aku baik-baik saja,"

Jessica kemudian mendongakkan kepalanya untuk mencegah air matanya mengalir lebih deras.

Kemudian ia bisa mendengar musik mengalun cukup keras di mobil. Dan ia bersyukur untuk itu. Sopirnya pasti bisa memahami Jessica yang tidak ingin menangis di depan orang lain. Karena itulah ia berpura-pura menutup mata dan telinga.

Jessica menghela napas panjang.
Rasanya benar-benar menyesakkan.
Kematian ayahnya... perasaannya... ketakutannya memimpin sebuah perusahaan besar... ketidakpercayaan dirinya... rasa bencinya pada Mary dan Nicole... semua rasa takutnya... semuanya berbaur menjadi satu dan rasanya benar-benar memuakkan.

Jessica benci merasa seperti ini.
Rasanya ia ingin kembali ke masa ketika ibunya masih hidup, dan ketika ia tidak mengenal Stefan.

Demi Tuhan! Ia hanya ingin hidup normal dan bahagia.
Salahkah?
@@@

I'm [Not] A CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang