"Apaan?"
Kedua alis Ines menyatu, sementara milik Tiara terangkat. Ciri khas masing-masing kala sedang bingung. Acap kali orang-orang bilang Ines jutek dan galak, padahal itu memang wajah herannya. Bahkan jika mengikuti gaya bingung Tiara pun, dia malah dicap sedang melotot. Pernah sesekali ditegur guru karena tampang Ines.
Flora menggeleng-geleng, hingga ujung jilbabnya ikut bergoyang mengikuti arah kepalanya bergerak. "Lo berdua tuh nggak peka atau apa?" kata cewek itu sembari menyeruput jus buah naga miliknya —dibawa naik ke kelas.
"Hah?" sahut Tiara, masih bertahan dengan kedua alis diangkat serta mulut terbuka.
Beda dengan Ines. Dia malah sibuk menggumam sendiri, "Itu apa sih tadi? T atau I, ya?" tanpa menghiraukan tatapan sang teman. Lalu ia memutar kepalanya ke kanan, memerhatikan kumpulan mimik serius para cowok. "Intan anak kelas sebelah bukan, sih? Atau ... Tania? Kagak jelas banget tadi tulisannya." Perempuan itu menopang dagu dan menarik kepalanya kembali, menatap papan tulis.
Delia bertanya dengan nada menggoda, "Nggak mikirin nama lain?" Mendukung aksen suara, kedua alisnya diangkat berkali-kali. Beserta senyum menggelikan, mengakibatkan Ines dan Tiara bergidik. Bertanya pada diri sendiri, mengapa dia bisa menemukan teman macam Delia.
"Iwan kali," tebak Tiara asal. Cewek berhijab itu menatap kerumunan siswa tersebut sekilas, beralih pada kuku-kuku jarinya dengan cat kuku baru. Sedang dalam masa PMS, katanya.
Ines terbahak. Delia hanya tertawa, tidak tertawa garing juga tidak terpingkal. Menghargai lelucon jayus Tiara yang menurut Flora sama sekali tidak lucu. Maklum, kalau Ines, humornya memang di bawah rata-rata.
•∞•
Suara bel surga berdering lima menit lalu. Kala sudah diperbolehkan keluar oleh sang guru, mereka mulai berhambur berlomba mencapai pintu kelas. Bunyi bel itu persis seperti nada pengumuman kalau kereta sudah datang. Mungkin SMP Nya memang menerapkan sebuah filosofi, menyatakan bahwa kesenangan penumpang kereta dan siswa-siswi sama besarnya ketika mendengar dering tersebut.
Omong-omong, nama Sekolah Menengah Pertama yang diduduki Ines memang bernama Nya. SMP Nya.
Baiklah.
Sebagai seksi kebersihan yang baik, Flora memerintah setiap bel pulang sudah berbunyi, "Yang piket, piket yaaa...! Jangan kabur!" Selalu begitu setiap hari. Tidak ada jaminan pasti kalau teriakan Flora akan membuat semua anggota piket menjadi penurut. Malah, suaranya hanya numpang melewati telinga mereka.
Di depan sana, siswa maupun siswi kelas VIII-4 mengelilingi meja guru sampai sumpek. Hampir seluruh isi kelas bergerumbul di sana, kegiatan rutin. Yakni berebut untuk mengambil ponsel masing-masing dari dalam sebuah kotak. Mungkin tubuh mereka dengan ponsel mempunyai gaya tarik, seperti kutub utara dan kutub selatan pada magnet. Saat kerumunan sudah mulai sepi, Ines beringsut menuju meja guru untuk mengambil benda elektronik tersebut.
Ah, ya. Kegiatan rutin kedua: menyembunyikan ponsel teman sekelas. Iseng. Namun tentu saja, membuat jengkel setengah mati. Sudah berpisah sekian jam dengan pacar, masa ditikung?
Ines mendecak sebelum berbalik menatap seluruh penjuru kelas. "Mana hp gue?!" Beberapa manusia di kelas —sekadar duduk ataupun piket—hanya menoleh sekilas, lantas kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing. Menganggap Ines hanya angin lewat.
Lagi, Ines mencebik. Matanya menelusuri seluruh bagian kelas hanya untuk mencari benda persegi panjang berwarna kelabu. (Mungkin tidak lagi disebut kelabu karena Ines menggunakan casing bergambar vokalis favorit.) Tiga orang yang patut dicurigai: Delia, Azka, dan Bagas.
Apa sudah dikatakan bahwa Bagas adalah manusia biang rusuh kelas? Biang keributan kelas, pokoknya biang dari segala biang-biangnya. Jika belum, sudah kuperingati barusan. Meskipun Bagas adalah si biang, banyak omong, dan nggak pintar, dia humoris. Ines menyukai sifatnya yang satu itu, sumber tawa kelas VIII-4. Siapa yang tidak?
Tapi Delia, Tiara, dan Flora justru menganggapnya suka dalam arti lain.
Kaki Ines melangkah mendekati Delia. Cewek berambut lurus itu sibuk menyapu di bagian tengah kelas. Begitu sudah dekat, Ines langsung bertanya, "Hp gue sama lo, Del?" Meski Delia sudah menggeleng, Ines tak percaya. Apalagi Delia tidak mendongak, memilih tetap fokus menyapukan debu-debu berserakan —seakan para debu itu lebih menarik daripada wajah Ines.
Ines malah tidak puas dan curiga atas jawabannya, dia merogoh saku seragam Delia tanpa permisi. "Batu lo," ketus Delia kala Ines tidak menemukan apapun di sakunya, selain uang logam seribu perak.
Mata Ines kembali berputar, mencari seseorang. "Bagas! Hp gue sama lo?" pekiknya dari tempat yang sama, samping Delia.
Mengusap daun telinganya, Delia meringis. "Nggak usah suudzon," katanya, lantas membawa debu-debu ke luar kelas, menyekop, dan membuangnya ke tempat sampah depan pintu kelas.
Ines memerhatikan gerak-gerik Delia dengan wajah heran. "Ih, kan gue nanya." Kemudian beralih lagi ke Bagas dan menghampiri cowok itu ke depan papan tulis. "Mana?" Menodongkan tangan, Ines meminta ponsel miliknya yang dicurigai berada bersama Bagas.
"Lah, bukan sama gue...."
Tidak yakin, sebelas alis Ines terangkat. Cewek berkucir kuda itu menatap wajah Bagas yang mulai membuang muka, menghindari tatapan Ines. "Sepik?" tuduhnya, kedua mata Ines sampai memicing. Karena dia baca di sebuah artikel, jika lawan bicara tidak berani menatap matamu, maka patut dicurigai bahwa orang itu sedang berbohong.
"Serius!" Bagas meyakinkan Ines dengan membentuk jarinya menjadi huruf V. Ines menghela kecewa, lalu membalikan badan seratus delapan puluh derajat ketika merasa terpanggil.
Azka di sana. Tersangka ketiga alias terakhir, tengah mengangkat ponsel Ines seakan tak punya dosa. "Passcode-nya apaan, Nes?" tanya dia. Ines meghampiri, mengambil paksa ponselnya dan berjalan ke luar kelas, menuju pagar balkon. "Yee ..., pelit amat dah, lo," umpat Azka dengan suara keras.
Tepat pada saat Ines mengalihkan pandangannya dari ponsel ke pagar balkon seberang —tempat kelas VIII-8 berada—Ines bertemu tatap dengan cowok itu. Hanya tiga detik, dia lebih dulu memutus kontak mata tersebut. Cowok yang melewati kursi Ines saat istirahat tadi. Dia memang sudah mengetahui perasaan Ines sejak lama, mungkin itu alasannya.
Atau ..., karena kontak mata lebih dari tiga detik itu dosa?
Seseorang menepuk bahu Ines sekilas. Reflek, Ines menoleh ke arah si penepuk, Flora. Merasa tidak penting jika terus memandangnya lama-lama, Ines mengalihkan pandangannya lagi ke arah pagar balkon tadi. Cowok itu sudah tidak ada di sana. Sudah turun ke lantai bawah, mungkin?
Pun Ines menarik kepalanya lagi-dan-lagi dari pagar balkon seberang ke lapangan. Dia juga tidak ada di sana. Lekas Ines menoleh ke arah pintu tangga ..., dia di sana! Sedang bersama Bima, teman sebangku Ines dulu saat masih duduk di kelas tujuh, menuju gerbang sekolah.
"Nyari siapa, sih? Uzi?" celetuk Flora enteng. Seakan kegiatan tersebut rutin Ines lakukan. Padahal ..., ya benar, sih.
Ines memutar bola mata. "Nggak." Gemuruh di dada masih dia rasakan, setiap kali melihat sosok Uzi. Bunga di perutnya masih tumbuh cepat, tiap Uzi membalas tatapannya—meski hanya nol koma sekian detik. Mereka seakan tidak peduli respons cowok itu, yang bahkan menganggap Ines hanya obsesif.
Obsesif, ya? Benarkah begitu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Fiksi RemajaKehidupan gadis SMP ini nggak senormal yang kalian pikir. Baru kali ini, Ines merasakan bagaimana rasanya ditinggal seorang ibu. Walaupun dia sudah terbiasa tanpa ayah, rasanya beda jika orang tersebut adalah ibu, wanita yang rela membesarkannya dar...