Hari berganti menjadi bulan, semua dilewatkan Ines dengan berbagai perubahan. Mulai dari fisik, teman, sifat, mental, dan iman. Meski baru beberapa bulan, perubahan berarti sudah Ines dapatkan. Ines dan Uzi mulai terlihat sebagai sepasang teman—lagi—setelah permainan konyol yang diikuti Uzi dan teman sekelas lainnya. Uzi rasa tidak ada salahnya bersikap biasa pada Ines. Toh, sebenarnya cuek bukanlah salah satu sifat dalam diri Uzi. Sejauh ini berteman, semua biasa saja. Ines tidak bertingkah menggelikan atau semacam itu.
Keluarga besar Ines mulai mengurusi sidang demi sidang yang diikuti Mama. Mama sudah menghadiri sidang beberapa kali, meski palu belum juga diketuk oleh sang hakim. Rasanya Ines ingin berteriak pada mereka, agar tidak menggantung sekian lama.
Di depan teman-temannya, Ines tertawa lepas. Selepas mungkin. Menjadi orang super memalukan, idiot, konyol, dan sebagainya. Melupakan semua masalah yang menimpa, seakan masalah itu tidak pernah datang ke dalam hidupnya.
Namun, jauh di lubuk hati Ines paling dalam, semua berbanding terbalik. Jika kau melihat mata Ines dengan tegas, kau akan menemukannya. Menemukan kepalsuan dari tawanya, keterpaksaan dari senyumnya, kekonyolan yang dia buat-buat, dan kesedihan yang mendalam.
Ines selalu mengurung diri di dalam kamar Mama (hampir) setiap malam. Membiarkan Ali tertidur pulas di atas tempat tidur Mama, membuka lemari Mama lebar-lebar, mengambil jaket tebal berwarna skyblue yang selalu dipakai Mama jika berpergian bersamanya. Memeluknya, mencium aroma khas tubuh Mama, membayangkan wujud seorang Mama memang benar-benar sedang dalam dekapan.
"Inget, Kak, akan ada pelangi di setiap hadirnya hujan." Begitu kata Mama kepada Ines, putri satu-satunya. Tetapi, Ines malah membantah kutipan itu, "Pelangi itu 'kan nggak akan bertahan lama." Mama tersenyum, kemudian menghusap kepala Ines lembut dengan penuh makna. "Setelah pelangi itu menghilang, langit cerah yang bersahabat akan menggantikan badai atau hujan tersebut, Sayang."
Setelah itu, setelah mendapat kalimat motivasi dari Mama. Setelah Mama meyakinkan Ines bahwa segalanya akan terus baik-baik saja. Ines percaya. Ines akhirnya yakin semua akan baik-baik saja.
Mama sudah mengetahui kebiasaan Ines setiap malam. Beliau pun tak mau jika anaknya terus-menerus seperti itu. Orangtua mana yang ingin demikian? Melihat dan mendengar anaknya menderita?
Ines masih menyimpan masalah ini rapat-rapat. Hanya Delia, Sasa, dan Nadira—temannya yang mengetahui hal ini. Juga, Ines berharap mereka untuk tutup mulut.
Ting!
Ting!
Ting!Ini bukan pertama kalinya setelah pesan singkat tempo lalu dari Uzi. Tidak ada lagi ritme jantung yang berdetak lebih cepat saat Uzi mengirim pesan atau men-spam akunnya. Tidak ada lagi kupu-kupu berterbangan di dalam perut Ines saat dia jalan berdampingan dengan Uzi. Tidak ada lagi. Entah karena Ines sudah terbiasa dengan keadaan, atau karena dia sudah membuang jauh-jauh perasaan lebih pada cinta pertamanya itu.
Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Uzi. Sekarang, Uzi yang merasakan ritme jantungnya berdetak lebih cepat saat ingin mengirim pesan kepada Ines. Sekarang, Uzi yang merasakan ada sesuatu menjanggal di dalam dadanya saat berdampingan atau melakukan hal gila dengan Ines—bersama teman-temannya. Sekarang, dia.
Uzi Edward
Eh eh
Bagi bocoran uh mtk dong
Gue tau lo udh ulangan
Ga usah pelit.Ines F
Gue punya namaUzi Edward
Weilah
Nes, bagi bocoran mtkInes F
Ntar. Mager.
Btw sejak kpn lo make kapital di awal gt?
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionKehidupan gadis SMP ini nggak senormal yang kalian pikir. Baru kali ini, Ines merasakan bagaimana rasanya ditinggal seorang ibu. Walaupun dia sudah terbiasa tanpa ayah, rasanya beda jika orang tersebut adalah ibu, wanita yang rela membesarkannya dar...