"Jagain adeknya setiap hari ya, Kak."
Begitu mendengar suara yang sudah begitu familier, Ines mencari di mana suara itu berasal. "Mama mau ke mana lagi?" tanya dia dengan kerut pada kening.
Wanita itu, berdiri tak jauh di depan Ines, memasang senyum manisnya. Terlihat sangat tulus. Rompi tipis berwarna jingga menutupi tubuhnya. Padahal, tidak ada apapun di sana, secara harfiah. Seperti sedang berada di ruangan putih yang sangat luas. Raut wajah dan mata Mama menyiratkan kesedihan dan kekecewaan mendalam. "Doain Mama terus, biar cepet pulang," lirihnya, beursaha agar terdengar biasa saja.
Kerutan alis Ines semakin mendalam ketika wanita dengan peran penting dalam hidupnya berbicara seperti itu. Apa maksudnya? pikir Ines.
Sekelebat cahaya menusuk mata Ines tiba-tiba. Refleks, Ines memejamkan mata. Setelah mengerjap dua kali, dia tak menemukan sosok itu lagi.
Ines terus memutar tubuh beberapa kali sampai menemukan seor—tidak. Maksudnya, tiga orang berjalan sangat jauh di depannya. Ines sangat mengenali wanita yang berjalan di antara dua orang lelaki di sana, Mama. Laki-laki pertama menggunakan atribut topi hitam polos dengan tas kecil melingkari pinggang—persis seperti tukang kredit. Sedangkan laki-laki kedua, tidak memakai atribut apa-apa selain jaket hitam tebal.
Ines mengerjapkan matanya sekali lagi, dan semuanya hilang begitu saja.
Mimpi itu lagi. Ines sudah mendapatkan mimpi itu lima belas malam berturut-turut. Entah apa maksudnya, tetapi perasaannya sangat tidak enak sekarang.
Ines menghela nafas keras, menilik jam dinding. Pukul sepuluh lewat lima belas pagi. Dia menegakkan tubuh dan bersandar pada kepala kasur untuk mengumpulkan nyawa.
Sekarang, ia duduk di samping Mama yang sedang menonton berita di channel NET. Memandang wajah Mama terus-menerus, hingga memberanikan diri bertanya, "Mama mau kemana?" Padahal, biasanya juga Ines tidak perlu takut-takut seperti itu untuk bertanya.
Mama mengernyit bingung dengan pertanyaan tiba-tiba Ines. Kemudian memutar mata ke atas, berpikir. "Ke ruko. Titipannya dateng lagi hari ini."
Entah dorongan dari mana, Ines berkata, "Mama di rumah aja, ya? Jangan kemana-mana." Ines menggaruk tengkuknya yang tentu saja tidak gatal.
Tentu, Mama menggeleng pelan. "Nggak bisa. Mama 'kan juga sekalian kerja. Nanti kalian makan apa kalo Mama nggak kerja?" tuturnya. Ines memejamkan mata dan menghela nafas pelan. "Emang kenapa, sih?"
Tentu saja Ines menggeleng sebagai jawaban. Karena, ya, dia tidak tahu apa motifnya meminta Mama untuk tetap diam di rumah.
•∞•
Sekarang hari Minggu, Ines menghabiskan waktunya di rumah dengan berleha-leha. Makan, tidur, bermain ponsel, dan nonton televisi. Diulang dari awal. Mama sedang sangat, sangat pengertian padanya karena hari ini ia tidak diminta untuk membantunya dalam bentuk apapun. Mungkin karena Mama juga sedang beristirahat.
Ting!
Ting!Ines melirik ponsel di atas nakas sebelum mengambilnya. Ada beberapa pesan dari Nadira, sahabat karibnya sejak Ines menduduki Sekolah Dasar.
Nadira Syahira Helmi: Ke rumah gue kek!
Nadira Syahira Helmi: Boring sumpah
Ines menggeser bibirnya ke samping. Yah, Ines juga bosan di rumah terus. Namun, begitu mencium bau kwetiaw goreng masakan Mama, Ines menunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionKehidupan gadis SMP ini nggak senormal yang kalian pikir. Baru kali ini, Ines merasakan bagaimana rasanya ditinggal seorang ibu. Walaupun dia sudah terbiasa tanpa ayah, rasanya beda jika orang tersebut adalah ibu, wanita yang rela membesarkannya dar...