Ines tengah bersantai di atas sofa sembari menonton televisi, saat Mama keluar dari kamar dengan pakaian rapi dan wangi. Seperti biasa, Ines bertanya guna memastikan, "Mama mau kemana lagi?" Selalu begitu, persis.
Setelah itu, Mama akan menjawab dengan, "Ke ruko lagi, ngurusin titipan. Uang jajannya ada di laci meja belajar kamu, tuh," atau sesuatu yang berbau ruko dan titipan. Tiap ingin meninggalkan rumah pula, kerap kali Mama mengingatkan Ines untuk— "Jagain adeknya, ya. Panasin nasi dulu kalau laper. Jangan jailin Ali, jangan dibikin nangis, jangan main ponsel melulu, jangan nonton mulu, belajar." Dan lainnya. Dan sebagainya.
"Iya, Mama." Sudah begitu, Mama akan keluar melewati pintu, teras, dan membawa motornya melaju pergi. Menatap kepergian Mama, Ines menghela napas panjang. Acap kali dia merasa ada kejanggalan menghimpit dada setiap memerhatikan seperti tadi.
Perasaan itu akhir-akhir ini menganggunya. Ines pikir itu hanya sementara. Mungkin hanyalah sebuah perasaan melupakan sesuatu atau apa. Jadi, dia diam saja. Toh nanti juga ingat, begitu pikirnya. Walaupun terkadang rasa itu terus saja menghantui.
Namun, dia pun tidak bisa begini terus. Sudah satu bulan lebih. Memangnya, apa yang dia lupakan? Tugas? Teman sekelas Ines selama ini tidak ada yang mengingatkan. Beli sesuatu? Tidak juga. Lalu apa?
Cewek berambut sedikit ikal itu terus berpikir, hingga pintu utama tahu-tahu sudah menjeblak terbuka. Nampak seorang bocah laki-laki lima tahun, menyeringai lebar di sana. Dia berseru, "Kak, bagi duit mau jajan!"
Ines beranjak, berjalan menuju meja belajar di kamar berniat mengambil uang berwarna kelabu. Letak kamar Ines tidak jauh dari ruang tamu dan kamar Mama—lagi pula, rumah mereka memang tidak sebesar yang kalian bayangkan. Dia menaruh kertas bernilai itu di atas ranjang, mengisyaratkan Ali untuk mengambil sendiri.
Selepas mengambil uang itu, Ali langsung ngacir ke luar rumah. "Kalo keluar kamar Kakak, tutup lagi dong!" pekik Ines gemas. Kebiasaan.
•∞•
Nama Delia disebut oleh Bu Tina setelah beliau memandang struktur organisasi kelas. Cewek itu mengacungkan tangan kanan ke udara sebelum menghampiri beliau. Biasanya, sih, akan ditugaskan sesuatu menyangkut jabatan yang dia pegang jika guru sudah melirik struktur tersebut.
Delia diberikan beberapa lembar kertas oleh Bu Tina, diminta untuk mengopi lembaran tersebut agar bisa mempelajari beberapa materi bab selanjutnya. Cindy beranjak maju ketika diperintahkan membagikan buku-buku tulis Matematika yang bertumpuk di atas meja. Menganggu pemandangan, katanya.
Seperti guru normal lainnya. Sebelum kaki Bu Tina melewati garis pembatas daerah luar dengan kelas, beliau memperingatkan mereka agar tidak berisik. Menugaskan Cindy untuk mengontrol murid-murid selagi Bu Tina belum kembali. Padahal, Cindy akan termasuk menjadi kelompok siswa yang berisik.
Jari ramping Delia cekatan membalik tumpukan uang di tangannya, menghitung. "Untung uang kas masih ada," gumam dia, "kalo mintain ke anak-anak satu-satu lagi, nggak keburu waktu. Ayo, Nes! Temenin gue."
Tanpa perlu disetujui, Delia sudah menggamit tangan Ines, menariknya ke luar kelas. Lekas berlari menuju toko fotokopi yang lumayan. Seharusnya di sekolah bisa, tetapi mesin fotokopi tersebut hanya khusus karyawan dan urusan OSIS.
Mereka berpapasan dengan Uzi di koridor kelas delapan. Boleh jadi dia sedang menuju toilet laki-laki, letaknya di samping kelas Ines. Uzi sama sekali tidak melihat, melirik, maupun menoleh sedikitpun ke arah Ines. Atau ..., pura-pura tidak melihat? Entahlah.
Namun, Uzi dan Delia sempat saling melempar senyum satu sama lain.
•∞•
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Novela JuvenilKehidupan gadis SMP ini nggak senormal yang kalian pikir. Baru kali ini, Ines merasakan bagaimana rasanya ditinggal seorang ibu. Walaupun dia sudah terbiasa tanpa ayah, rasanya beda jika orang tersebut adalah ibu, wanita yang rela membesarkannya dar...