Pembuatan pembuka wawancara masih lancar saja. Namun, begitu mulai penutupan.... "Thanks for watching—" Ucapan mereka terpotong tubuh adik Ines yang berjalan menutupi lensa kamera.
"Misi, Ali mau lewat," ucap Ali sembari tertawa cekikikan, dadah-dadah ke kamera selagi dirinya melewati benda hitam itu.
"Thanks for wa—ADUH, ALI JANGAN BOLAK-BALIK MULU, DONG!" Ines gemas setengah mati. Karena lagi-lagi, adiknya lewat begitu saja. Mesti harus maklum, jarak mereka ke kamera itu menutupi jalan.
Cowok kecil rambut botak itu tidak mau disalahkan. "Orang mau ngambil puding juga, ye," ucap dia seraya menjulurkan lidah pada saudara satu-satunya.
"Thanks for—"
"DUH, ALIIII!"
"Thanks—"
Ines kalap. Dia menggunakan cara jahat, "MAMAAA, ALI TUH MAH!"
Ali langsung ngacir ke kamar Mama, tergelak seolah telah memenangkan rekor dunia. "Ali! Jangan gangguin kakak lagi kerja, dong!" seruan Mama terdengar dari kamarnya.
"Kerja apaan, orang lagi ngomong nggak jelas gitu kayak orang alien!" gerutu bocah itu. Suaranya terendam karena dia menelungkupkan kepala pada perut Mama.
Seketika tawa mereka meledak, "ORANG ALIEN MAKSUDNYA APA COBA?!"
•∞•
Sifat Tiara akhir-akhir ini aneh, juga sudah jarang terlihat bersama-sama dengan teman-temannya—Ines, Delia, dan Flora. Air muka ketika bertemu tatap dengan mereka pun tak kalah aneh. Selalu berkerut, sungguh tidak enak dilihat.
"Tiara kenapa, Del?" Ines bertanya pada Delia setelah melihat raut wajah Tiara kesekian kali. Delia hanya mengidik dan melanjutkan makan kudapan. Ines pikir, dia mengangkat bahu karena tidak tahu, makanya bertanya, "Nggak sadar? Dari tadi Tiara main sama Cindy gitu-gitu," tambahnya.
Pertanyaan sekaligus pernyataan Ines hanya dibalas dengan putaran bola mata Delia. "Ya bodo amat, kagak ngurus," ketusnya.
"Dih. Lo kan sahabat deketnya."
Delia tertawa hambar, "Udah bukan lagi, kale." Terdapat kekesalan dari suaranya.
"Lah?" Ines mengernyit bingung. Dari pagi juga, Tiara menjaga jarak dari mereka. Meski otaknya bertanya-tanya, tidak pernah dia berniat untuk bertanya langsung pada Tiara. Rasa senang sekelebat lewat karena Tiara jadi jarang main dengan Delia.
Seperti pagi tadi, Delia mengalihkan pandangannya dari Ines kepada Tiara, cewek hijab cokelat gelap itu sedang duduk di samping Cindy. Sebelumnya, mereka berdua sedang berbincang mengenai ekstrakulikuler masing-masing. "Eh, Ra! Lo bawa uang buat seragam eks—" ucapan Delia terpotong oleh sahutan ketus Tiara.
"Gue bawa, elah!" begitu katanya. Matanya melirik Ines dan Delia dengan sinis. Heran, Delia menatap Ines mencoba meminta penjelasan—siapa tahu Ines mengerti. Namun, Ines hanya mengidikan bahu tak tahu apa-apa, alis terangkat mengiringi bahunya.
Kembali, Delia menoleh pada Tiara, "Gue nanya baik-baik, Ra!" serunya tak kalah ketus. Delia memukul tangannya ke atas meja, menatap Tiara lurus-lurus. Sedangkan yang ditatap diam bergeming di tempatnya.
Juga, saat jam perlajaran Fisika tadi, Delia mencatat latihan soal dari papan tulis terburu-buru, dikejar waktu dan seruan Ines, "Gece nyatetnya, Del! Entar dapet tempat duduknya malah paling belakang," serbu Ines sembari menata alat tulis dan buku yang ingin dibawa ke laboratorium. Mengingat Pak Hardi sudah memperingati mereka untuk segera menyusul ke lab.

KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Novela JuvenilKehidupan gadis SMP ini nggak senormal yang kalian pikir. Baru kali ini, Ines merasakan bagaimana rasanya ditinggal seorang ibu. Walaupun dia sudah terbiasa tanpa ayah, rasanya beda jika orang tersebut adalah ibu, wanita yang rela membesarkannya dar...