Berita guru rapat membuat seluruh siswa-siswi bersorak gembira. Tak terkecuali kelas VIII-4 ini. Seperti biasa, setiap anak berkumpul dengan temannya masing-masing, bermain masing-masing. Ada kelompok yang sedang bergosip seru. Ada gerombol yang duduk lesehan belakang kelas, bermain UNO. Sebagian besar laki-laki membuat regu sendiri di pojok kelas—seperti biasa—menonton Zidan bermain game. (Ines heran mengapa menonton orang bermain bisa seseru dan seserius itu.) Azka tetap melacarkan hobinya, berkeliling kelas entah ingin apa.
Tidak sedikit yang memilih berjalan ke luar kelas. Ke toilet, alasannya. Berujung ke pojok gedung bernama kantin. Caraka sudah memperingati untuk kembali ke kelas, tidak ada yang menurut. Mereka bilang percuma, guru sedang tidak bisa mengajar dan ketua kelas pun tidak tahu rimbanya.
Melihat kegaduhan yang tercipta di dalam kelas, Ines menghela nafas bosan. "Main suit taro, yuk?" ajak dia pada ketiga temannya yang sedang berkumpul di daerah meja Ines. Jika ada jam kosong seperti ini, Tiara memilih menghampiri meja Flora dan duduk di sampingnya.
Tidak tertarik, Tiara mengerutkan hidung. "Nggak ah."
"ToD?"
Flora, Delia dan Tiara saling bertukar pandang. Merasa akan terhibur, mereka mengangguk sebagai jawaban. Sebagai alat bermain, Flora mengambil botol mineralnya yang sudah kosong tidak bersisa. Kemudian Tiara memutar botol itu di atas meja, berhenti dengan tutup botol mengarah ke Delia.
Sudah terbiasa, tidak perlu ditanya Delia sudah berkata, "Truth aja, deh."
Merasa punya kesempatan, Flora melirik dua temannya dengan senyum miring tersungging. "Lo suka sama siapa sih, sebenernya, Del?"
Delia mengidik sembari menjawab, "Nggak ada."
"Truth, loh," sahut Ines tidak percaya. Kedua alisnya menyatu, namun bibirnya menyunggingkan senyum.
Air muka Delia berubah, seakan mengatakan, ye-nggak-percayaan. "Serius, nggak ada," balas Delia tak mau kalah.
"Jujur."
"Ih. Demi, dah."
Ketika semua sudah percaya, Delia kembali memutar botol. (Diam-diam dia menghela nafas lega karena tak membuat ikatan pertemanan rusak lagi.) Berakhir dengan mengarah ke Tiara. Seringai lebar terpasang pada wajah Ines saat Tiara memutuskan memilih truth. "Pernah suka sama Iwan?" tanyanya langsung. Padahal, Tiara belum menutup mulut alias mingkem.
"Nggak," jawab Tiara cepat.
Kelewat cepat, hingga Delia membantah, "Boong banget lo, Ra!" pekiknya sembari terkekeh. Dia menepuk meja sekali, seakan sangat tahu apa motif Tiara berbohong.
Tiara meringis sekaligus mencebik. "Berisik, ah. Iya. Pernah," dia menggerutu. Flora langsung teriak 'Cie' sepanjang-panjangnya. Belum sepenuhnya percaya, Ines menatap Tiara menggoda. "Cuma pernah, sumpah. Udah nggak lagi," ujarnya sembari mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke udara, membentuk huruf V.
Wajah Ines masih terlihat menggelikan, hingga Delia memutuskan memutar botol itu lagi, mengarah ke dirinya sendiri. "Yah elah. Gue lagi." Yang lain tertawa puas.
Flora dan Tiara tampak berpikir keras saat Delia memilih dare, sementara otak Ines sudah kemasukan sebuah ide. "Ngomong aku-kamu selama seminggu," ucapnya dengan senyum miring di wajah. Delia mendecak sebal, menatap Ines tajam. "Ke siapapun, termasuk cowok." Sepertinya mereka sangat tahu apa kelemahan Delia.
Helaan nafas keras keluar dari bibir Delia. "Fine!" serunya sembari kembali memutarkan botol itu. Ujungnya mengarah ke Ines.
Saat Ines memilih dare, mereka menatap cewek itu dengan tatapan menggoda—sungguh menganggu kesehatan perut Ines. Kedua alis Ines terangkat, mengundang ucapan Delia alasan lebarnya mata Ines. "Lo harus centil ke anak cowok," ujar Delia. Dare macam apa itu? Ines mengguman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionKehidupan gadis SMP ini nggak senormal yang kalian pikir. Baru kali ini, Ines merasakan bagaimana rasanya ditinggal seorang ibu. Walaupun dia sudah terbiasa tanpa ayah, rasanya beda jika orang tersebut adalah ibu, wanita yang rela membesarkannya dar...