Hari ini adalah hari dimulainya tahun pertama menginjak kelas sembilan. Tahun yang dipenuhi dengan belajar, ujian, dan try out. Pengacakan kelas sudah dilaksanakan satu minggu sebelum sekolah mulai, diumumkan lewat website resmi SMP Nya. Ines, Delia, dan Sasa satu kelas—lagi—di kelas IX-3. Vania dengan Tiara di kelas IX-6. Sementara Flora, Mulin, dan Bima bersama di kelas IX-5.
"Anak cowoknya kayak tai," Delia menyeletuk ketika Mulin dan Bima berjalan melewati gerombolan mereka, yang tengah berkumpul di koridor dekat laboratorium IPA—sekarang menjadi tempat spesial—sembari makan siang.
Sasa berujar tidak setuju, "Nggak mungkin juga kalo Mulin sama Bima ngumpul sama cewek, Del. Mereka pasti tetep bareng sama temen-temen mereka."
Berpikir sejenak, Delia akhirnya menimpali, "Kita juga kayaknya nggak mungkin setiap hari kayak gini deh, ngumpul bareng. Kita beda kelas."
"Sepi, ya, nggak ada Uzi," ujar Vania. Beberapa menoleh dengan tatapan berbeda, layaknya seseorang kehilangan teman dekat. Satu-persatu mulai membalas.
"Iya."
"Nggak ada yang joget-joget kalo ada lagu dangdut, di manapun."
"Nggak ada orang yang jail banget."
"Nggak ada yang bacot."
"Nggak ada yang protes kalo harga di koperasi kemahalan. Terus bilang mbak-mbak koperasi mau naik haji."
"Kita kehilangan wakil ketua OSIS dua. Padahal, LDKS aja belom dilaksanain. Calon ketua OSIS baru juga belum ada." Yang lain mengangguk membenarkan ucapan Delia. Fertha jadi pontang-panting mencari pengganti yang cocok. Sampai akhirnya Delia menggantikan posisi Uzi menjadi wakil ketua OSIS dua. Tidak mudah untuk menempati posisi tersebut. Meski hanya untuk sementara, Delia tetap bersyukur. "Kalian nggak tau gimana puyengnya Fertha pas Uzi keluar dari sekolah," katanya.
Ines masih manggut-manggut membenarkan. Kemudian tatapannya beralih dari kudapan di tangan ke wajah Flora. "Pesantren. Apa enaknya sih, Flo?" dia bertanya, mengingat Flora memang sempat sekolah di pesantren saat Sekolah Dasar.
Menoleh sekilas, Flora menggeleng, "Au. Gue juga lupa gimana rasanya. Intinya, nggak enak."
•∞•
Benar saja. Seiring berjalannya waktu (bahkan baru Ujian Tengah Semester diadakan) Ines, Delia, Flora, Tiara, Sasa, dan Vania sudah berpisah, bergabung dengan teman-teman barunya. Walau disuatu waktu mereka akan membuat janji untuk berkumpul bersama, tetapi tetap saja Ines tidak merasakan hal yang sama. Sekarang, mereka akan berkumpul jika ada waktu. Jika ada waktu. Kentara sekali.
Gadis berponi itu duduk termenung di kursinya, memikirkan nasib persahabatan mereka sembari menunggu kedatangan Delia dan Sasa. Beberapa teman sekelasnya menoleh, saling berbisik. Kemudian salah satu dari mereka menimpal, "Ines ngegalau mulu. Nggak ada Uzi, ya?" Kekehan keluar dari masing-masing bibir mereka.
Ines memasang wajah heran khasnya, dengan kening berkerut. "Apaan, gila? Kagak," bantahnya.
Yah, memang tidak. Uzi bukan lagi prioritasnya. Prioritas dia di sekolah saat ini adalah teman lamanya, selain belajar. Yang sudah sibuk dengan teman baru mereka masing-masing. Ines memang pernah merasakan hal yang sama saat baru duduk kelas delapan, tetapi Sasa—yang notabenenya sahabat karib Ines sejak kelas tujuh—masih akrab dengannya sampai sekarang, jadi Ines merasakan hal berbeda saat ini. Sungguh disayangkan.
Kalian harus tahu, setelah peristiwa Bagas yang me-nembak-nya dan Tiara karena tantangan semata, mereka bertiga menjadi jauh-jauhan. Bagas tidak lagi mencoba menjahili Ines dan kawan-kawan. Tidak lagi. Apalagi, saat itu Bagas memang sangat malu. Mukanya mau ditaruh di mana? Ditolak mentah-mentah walau hanya semata karena permainan belaka.
Entahlah dengan Iwan. Sekarang, Iwan tetap satu kelas dengan Tiara. Mungkin Iwan akan tetap mengganggu Tiara sebagai pendekatan.
Eh, pendekatan?
Baru saja Ines akan menelungkupkan kepala di atas lipatan tangannya, Sasa sudah memukul meja tepat di samping Ines, berniat untuk mengagetkan—dan berhasil. Setelah terbahak melihat reaksi Ines, dia menarik kursi miliknya tepat di samping cewek galau itu. "Pagi-pagi masih merem aja. Mandi sono lu," dia terkekeh.
Ines menoleh dengan raut wajah lelah. Mereka sudah sempat membicarakan tentang ini sebelumnya, Delia dan Sasa bilang tidak usah terlalu dipikirkan. Toh, mereka masih berusaha untuk berkumpul bersama. Kendati begitu, Ines tetap menjawab, "Puyeng gue, Sa."
Lagi-lagi, cewek berkacamata itu tergelak. "Sok-sokan," katanya.
•∞•
Jam kosong setelah istirahat, ketua kelas sudah memberi peringatan bahwa mereka harus tenang meski tidak ada guru. Sang guru berhalangan hadir dikarenakan istrinya sedang melahirkan, beliau mengambil cuti selama satu minggu. Fertha, si ketua kelas sekaligus ketua OSIS, rupanya sangat menghargai wali kelas. Jadi, sekalipun ada yang berteriak, Fertha akan memelototi orang itu hingga dia terdiam. Murid kelas IX-3 juga tidak heran dengan sikap menaati peraturan-nya Fertha. Lagi pula, mau seberisik apapun mereka, Fertha tidak akan mengambil tindakan sebelum guru piket menegur. Alhasil, Fertha juga yang disalahkan karena dituduh tidak bisa mengurus kelas.
Lebih-lebih lagi, Sasa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk jajan di kantin. Nggak tanggung-tanggung. "Gue nitip teh kotak dong," pinta Delia setelah mendengar bahwa Sasa dan Ines akan pergi ke kantin. Mereka berdua mengiyakan, izin pada Fertha, bilang ingin ke toilet. (Seperti biasa.)
Mereka masih saja melangkah santai, sembari sibuk menghitung titipan beberapa teman sekelas. Sesekali tergelak, menertawakan kebodohan mereka yang mau-mau saja dibebani dengan berbagai titipan jajanan, sekalian menertawakan Fertha yang bertanggungjawab tetapi pasif. Ines dan Sasa menghentikan langkah seketika di pintu selatan kantin, begitu menangkap wujud Pak Kepsek, berdiri di koridor kantin. Reflek, Sasa memekik, "EH ADA PAK KEPSEK! PAK KEPSEK!" Lekas lari putar balik menuju pintu kantin utara. Lebih aman, mungkin.
Padahal, sama saja. Kantinnya juga sama, hanya beda pintu.
Ines meringis mendengar teriakan Sasa. "Jangan teriak-teriak lah, bodoh," dia menggerutu, menarik lengan seragam cewek berhijab itu agar menutup mulutnya lagi.
Ternyata benar saja, mereka salah. Di koridor kantin dalam, ada Pak Jamal yang katanya kelewat disiplin dan galaknya nggak ketulungan. Lagi, Sasa melebarkan mata dan merefleks, "WAH GILA, PAK JAMAL! GC, GC!"
Dengan cepat, Ines dan Sasa membeli titipan Delia. Kios minuman memang berada dekat pintu utara, kebetulan (atau keberuntungan?) menyenangkan bagi Delia. Yah, memang hanya bagi dia. Karena Ines dan Sasa gagal membeli titipan dan jajanan mereka sendiri. Cari mati, namanya.
Setelah sampai di kelas dengan nafas yang tidak beraturan, Fertha mulai curiga. Dia menyipitkan mata, jadi sangsi dengan alasan mereka keluar kelas. Kemudian bertanya ketus, "Abis kemana lo?"
Sasa memilih menjawab, berhubung nafasnya sudah lumayan teratur meski masih tersenggal. Sementara Ines, dia bahkan tidak bisa bicara saking paniknya. "Tadi gue—hhh—izinnya kemana ... emang? Toilet—hhh—'kan. Yaudah.... Huh."
Alis Fertha menyatu. "Lo pada jogging di toilet?" tanya dia lagi, tetap menggunakan nada ketus. Daripada urusannya jadi panjang, Ines hanya mengiyakan. Memutar mata, Fertha sudah biasa dengan perilaku tiga sejoli itu, "Sinting."
Sedaritadi, Delia hanya memerhatikan perdebatan—jika bisa disebut begitu—mereka sembari terkekeh, mulai bertanya apa yang terjadi ketika keduanya sudah menempatkan diri di belakang Delia. Sasa mulai bercerita dengan heboh. Hampir saja didengar Fertha jika Ines tidak mengingatkan untuk mengecilkan volume suaranya. Alih-alih kasihan, Delia tertawa terbahak-bahak sembari memegang perut.
Sasa naik pitam. Ditaruhnya minuman pesanan Delia ke atas meja dengan kasar, kemudian berujar, "SAMA-SAMA, DEL. SAMA-SAMA. TUH TEH NYA!"
Masih tergelak, Delia mengambil teh itu dan ditusuk dengan sedotan. "Iya-iya makasih. HAHAHAHAHAHHA."
Mata Fertha kembali disipitkan setelah mendengar seluruh dongeng gratis Sasa, dia menceyeletuk dari belakang, "Tadi lo ke kantin ya, Nes? Wah, wah, wah."
--------
Status: Revisi
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Ficção AdolescenteKehidupan gadis SMP ini nggak senormal yang kalian pikir. Baru kali ini, Ines merasakan bagaimana rasanya ditinggal seorang ibu. Walaupun dia sudah terbiasa tanpa ayah, rasanya beda jika orang tersebut adalah ibu, wanita yang rela membesarkannya dar...