Setelah berselang lima belas menit Ines duduk di kursi guru, diskusi tidak juga selesai. Mulutnya juga sedaritadi tertutup, enggan bicara. Masih kesal. "Lo nggak nyaranin pertanyaan, Nes?" Delia bertanya lebih dahulu.
Mengangkat sebelah alisnya ke atas ia lakukan, lalu memutar bola matanya ke samping, berpikir. "'Apa tindakan yang Bapak lakukan jika memergoki seorang siswa merokok?' gitu," jawab Ines. Memang, dia sudah menyiapkan itu sebelumnya. Hanya menunggu seseorang bertanya, baru dia bersuara. Dasar.
Tiara membalas cepat, "Itu udah ada."
Merasa tidak pernah mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Delia saat menyebutkan semua pertanyaan, Ines mengerutkan kening. Lantas bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri Tiara, tepatnya ingin mengambil kertas wawancara dari tangan cewek itu. Membacanya lamat-lamat.
Tidak ada pertanyaan yang Ines sarankan tertera di sana. Pertanyaan mirip pun, tidak ada. Ines menatap Tiara malas—atau bisa disebut tatapan intimidasi khas cewek itu. Sedangkan dia, mengalihkan pandangannya sembarang, asal tidak menatap mata Ines. Lalu, Ines melirik Delia yang kini sedang menatap Tiara heran.
Ines berjalan ke luar kelas, setelah menaruh kertas wawancara di atas meja dengan kasar dan mengatakan, "Yaudah, terserah aja mau kayak gimana." Asik. Lagi marah ni gue ceritanya, Ines membatin. Dia menuju kantin, berniat membeli beberapa camilan sekaligus mencari angin. Siapa tahu, rasa kesalnya akan berkurang.
Dia berjalan menyusuri setiap koridor seraya melamun, entah memikirkan apa. Tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan kios Pak Lana. Ines mengambil dua bungkus Oreo rasa strawberry dan empat bungkus Chocolatos dari sana.
Hafal harganya, Ines bertanya sembari mengeluarkan uang dari saku, "Goceng 'kan?" Seseorang menanyakan sebuah kalimat sama persis seperti yang dilontarkan Ines!
Dia berdiri tepat di samping Ines. Sontak, Ines menoleh ke samping kanannya. Laki-laki itu menggenggam sebuah botol Fruit Tea rasa apel. Karena tingginya berbeda beberapa sentimeter di atas Ines, mengharuskan dia untuk mendongak jika ingin melihat wajah laki-laki tersebut.
Uzi.
Jantungnya berhenti berfungsi sementara. Lekas Ines menaruh selembar uang lima ribuan ke atas tangan Pak Lana—beliau sudah menodongkan tangannya. Begitu juga dengan Uzi. Dengan terburu-buru, Ines melangkah ke arah kanan dan—
DUG.
Ya, seperti yang kalian duga. Persis. Dahi Ines menabrak dagu Uzi. "Aduh," dia meringis sembari menghusap dahinya pelan, sementara Uzi membelalakan mata. Sama-sama terkejut dengan cara berbeda. Sebetulnya, beradunya dahi dengan dagu tidak menimbulkan bunyi. Hanya saja, Ines merasakan sakit menjalar ke seluruh tulang pelipis.
Ingin cepat-cepat kembali ke kelas, Ines berujar, "Sorry." Namun kesamaan kata yang dilontarkan Uzi, membuat Ines sedikit jengkel. Apa sih, gerutunya tanpa dilisankan. Buru-buru cewek itu menggeser kakinya ke kanan berniat melanjutkan jalan, Uzi menghalanginya. Kemudian digeser lagi ke kiri, Uzi juga melakukan itu. Terjadi terus sampai dua kali, hingga Ines memutuskan untuk bicara, "Lo duluan," katanya.
Bersamaan lagi dengan Uzi! Ingin sekali Ines mencakar wajah cowok di depannya ini. (Yah, walaupun tidak akan Ines lakukan karena ... gitu deh.) Helaan nafas keras keluar dari bibir Ines, Uzi mengacak rambutnya gemas. Jangan lupakan bahwa jarak tubuh mereka berdua hanya berjarak kurang lebih 30 sentimeter.
Setelah mundur beberapa langkah, Ines berjalan melewati lengan kiri Uzi. "Sinetron abis," dia bergumam pelan saat tubuhnya berada tepat bersebelahan dengan Uzi. Dia yakin Uzi akan mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionKehidupan gadis SMP ini nggak senormal yang kalian pikir. Baru kali ini, Ines merasakan bagaimana rasanya ditinggal seorang ibu. Walaupun dia sudah terbiasa tanpa ayah, rasanya beda jika orang tersebut adalah ibu, wanita yang rela membesarkannya dar...