Tubuh perempuan itu terlihat tegang setelah tanpa sengaja mendengar cerita Ines. Yah, sebetulnya, bohong kalau dia bilang tidak sengaja. Pasalnya, dia merasa dapat kesempatan emas ketika mendengar Ines bercerita sembari terisak.
Siapa tahu, dia jadi paham mengapa sikap Ines aneh akhir-akhir ini?
Lagi, dia bohong. Cewek itu sengaja bersandar pada dinding di samping pintu supaya bisa mendengar semuanya dengan jelas. Mendengar sahabatnya tersedu-sedu ... membuat tenggorokannya tercekat. Tak kuat menahan emosi yang membuncah. Ikut marah pada mereka. Ibu Ines hanya korban! Beliau tak patut ikut mendapat ganjaran.
Lagi pula, kemana si pelaku pergi? Mengapa para polisi tidak mencoba mencari mereka?
Getaran pada ponsel Ines membuat lamunannya buyar. Layar ponsel Ines menampilkan pop-up pesan dari—dia yakini—paman Ines. Kemudian, cewek itu memutuskan menampakkan diri daripada terpergok. Ines menghampirinya dengan wajah tak terbaca, membuat tubuhnya lagi-lagi membeku. Takut-takut Ines akan semakin marah padanya.
Cewek berponi itu mengambil—atau merebut(?)—ponsel miliknya yang telah disodorkan. Mencegah pikiran negatif yang akan muncul ke kepala Ines, dia berujar, "Gue nggak bak—"
Ines memotong. "Lo denger?" tanyanya, masih bertahan dengan air muka tak terbaca.
Tidak mengindahkan pertanyaan Ines, dia tetap bersikeras ingin menjelaskan. Padahal, tidak tahu apa yang harus dia jelaskan. "Nes, gue—"
"Lo denger, Del?" Ines sama kerasnya. Ingin mendapat jawaban dari cewek itu, Delia.
Tetap tidak menjawab, Delia menggaruk tengkuknya. Melihat itu, Ines yakin Delia berkata iya. Beruntung tidak ada siapa-siapa di sekitar UKS, selain mereka bertiga. Selain karena letak UKS di tengah gedung sekolah (jarang orang lewati untuk menuju gerbang,) juga karena bel pulang sudah lewat satu jam lalu. "Gue nggak bakal nyebar, Nes," ujar Delia lagi, kembali ingin meyakinkan.
Ines mengidik, kembali masuk ke dalam UKS untuk mengambil tas ranselnya. "Btw, thanks, Del, udah nganterin hp gue. Thanks juga, lo berdua, udah dengerin cerita gue," katanya dengan wajah datar. Setelah itu, langsung pergi meninggalkan kedua sahabatnya.
•∞•
Begitu sampai depan pagar, terlihat beberapa pasang sepatu berjejer di teras rumah Ines. Ada tamu, begitu pikirnya. Dua di antaranya, dia tahu itu adalah milik Oom Torim dan Tante Sara. Satu pasang lagi ..., entahlah. Dia tak pernah melihat.
Ines masih terus berjalan lambat dari pagar ke pintu rumahnya yang terbuka lebar. Benar, terlihat punggung seseorang yang tidak Ines kenal. Wajahnya pun tidak tertangkap jelas.
Suara Om Torim menyambut, "Ines udah pulang?" Di samping beliau ada seorang pria tua, nampak habis pergi jauh untuk mendatangi rumah Ines.
Meski masih agak bingung mengapa Oom Torim menerima tamu di rumahnya, Ines pamit ingin masuk ke kamar guna menaruh tas dan berganti baju. Merasa ada sesuatu yang harus dibicarakan padanya, Ines kembali lagi dan duduk di samping Tante Sara.
Hening menyelimuti mereka, canggung. Tak ada yang memutuskan berbicara lebih dulu. Terlebih lagi, setelah Ines mengatakan bahwa dia tak kenal siapa pria tersebut. Benar-benar kikuk. Hanya raut Ines yang membenarkan pertanyaan Oom Torim ini, "Kamu bener nggak kenal bapak ini?"
Pria yang dimaksud Oom Torim menoleh ke si pembicara sekilas, air mukanya tidak enak. Rasanya aneh disebut sebagai 'bapak ini' di depan perempuan remaja tanggung itu. Hatinya mencelos. Rasa bersalah menjalar ke seluruh kulitnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionKehidupan gadis SMP ini nggak senormal yang kalian pikir. Baru kali ini, Ines merasakan bagaimana rasanya ditinggal seorang ibu. Walaupun dia sudah terbiasa tanpa ayah, rasanya beda jika orang tersebut adalah ibu, wanita yang rela membesarkannya dar...