Jam kosong dijadikan mereka sebagai alasan untuk bergerombol dengan kelompok masing-masing. Termasuk meja yang dikelilingi oleh lima orang sekaligus itu. Menghabiskan jam kosong dengan bermain permainan sangat mainstream, menurut Uzi. Pasalnya, sudah dua kali berturut-turut dia ditunjuk oleh botol kosong milik Vania.
Punya dendam kesumat, rupanya.
Lagi, suara teriakan Vania membuat Uzi rasanya kembali ingin kabur saja. "UZI KENA LAGI! HAHAHAHA," kata cewek itu sembari tertawa jahat.
Uzi berdecak, tidak terima tiga kali beruntun dia kena melulu. "Gue pilih T. Gc, apaan?" tanyanya malas, mendesak agar cepat-cepat. Sudah dua pertanyaan dia dibuat malu. Kalau dia pilih tantangan, nasibnya hampir pasti akan sama dengan Bima, disuruh lari keliling kelas lima kali. Cowok bertubuh bongsor dan gemuk itu sudah pasti kewalahan. Larangan mengganti pilihan membuat dia terpaksa melaksanakan tantangan daripada dapat hukuman.
Imbalan tidak melaksanakan tantangan itu memberikan masing-masing gocap alias Rp50.000,00 setiap pemain. Berarti, total pengeluaran Rp200.000,00! Itu sanksi atau pemerasan? Udah gitu, mereka benar-benar serius! Hadeh. Terlalu parah untuk ukuran anak kelas dua SMP.
"Ye, cemen. Daritadi lo milih truth mulu, Nyet. Dare kek kali-kali. Cowok macem apaan lo," hardik Bima seraya menghusap peluh di dahi. Masih lelah dia. Cowok itu merebut botol minum Uzi dari dalam tas cowok itu, meneguknya sampai habis.
Kedua mata Uzi melebar. Kembali merampas hak miliknya, menatap nanar apa yang baru saja Bima lakukan pada dirinya. Teriakan 'lebay' menjadi latar belakang aksi melankonis cowok berkulit sawo matang itu.
"Gue tau, gue tau!" Sasa menimpali, baru saja mendapat ilham berupa pertanyaan untuk Uzi. "Kenapa sih lo cuek banget sama Ines? Ke Ines doang loh, lo cueknya."
"Yaelah, basi!"
"Jawab!"
Tidak yakin, Uzi mengalihkan pandangannya asal dan berdeham dua kali. Padahal, tadi dia semangat bilang kalau pertanyaan Sasa itu terlalu basi. Tambah lagi, yang ikut bermain kali ini lumayan ramai. Ada Sasa, Bima, Vania, dirinya, dan Mulin. Ini memang bukan rahasia besarnya, tetapi Uzi sudah terbiasa dan berusaha menyimpan hal ini sendirian. "Nggak penting juga. Mau tau banget apa?" dia balik bertanya berusaha mengganti pertanyaan secara tidak langsung.
"Please deh, Ji. Ini truth," ucap Vania, "boong, dosa."
"Tau gue," Uzi menimpali malas. "Nih ya...." Menatap wajah teman-temannya satu persatu dia lakukan agar lebih dramatis. "Bener nih gue jawab?" Berusaha untuk mengalihkan topik, nyatanya Uzi malah mendapat sebuah jitakan dari Mulin. "Sialan. Nih gue serius. Awas aja lo pada bocor, hati-hati." Lagi, Uzi mendapatkan jitakan lebih keras.
Teman seperjuangan Uzi dalam game yang mereka tekuni menyahut kesal, "Bacot lo kayak cewek." Tahu apa motif temannya itu sengaja mengulur waktu.
Mengabaikan sindiran Mulin, akhirnya Uzi menjawab, "Gue nggak mau terlalu akrab sama dia. Kesannya kayak ... ngasih harapan gitu. Karena gue udah tahu perasaan dia 'kan, gara-gara mbateng kelas cepu ke gue." Jeda sebentar. Uzi memandangi satu persatu wajah temannya lagi. Ternyata, mereka benar-benar menantikan jawaban Uzi. "Agak risih juga, sih. Temen-temennya ngeledekin gitu. Termasuk lo tuh, Sa!" Uzi menunjuk Sasa dengan bibirnya. Yang ditunjuk hanya prangas-pringis.
Putaran keenam, berhenti lagi ke arah Uzi. "JHA, MANTAP!" Bima seneng banget kelihatannya.
Sasa nggak mau menyia-nyiakan kesempatan, "Harus D lo, ya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Ficção AdolescenteKehidupan gadis SMP ini nggak senormal yang kalian pikir. Baru kali ini, Ines merasakan bagaimana rasanya ditinggal seorang ibu. Walaupun dia sudah terbiasa tanpa ayah, rasanya beda jika orang tersebut adalah ibu, wanita yang rela membesarkannya dar...