Ulangan Tengah Semester genap baru saja selesai mereka ikuti. Seiring waktu berjalan, ikatan persahabatan makin kuat. Berpisah kelas menjadi dua tidak meretakkan hubungan pertemanan mereka. Dua kelompok sejoli menjadi satu. Perbedaan gender pun tak membuat pisah setiap saat. Justru dengan frekuensi lebih banyaknya frekuensi perempuan, yang laki-laki akan terpaksa mengikuti.
Jam istirahat kali ini, mereka memilih berkumpul bersama. Sekali-kali, mumpung sedikit lagi mau naik kelas. Uzi, Bima, Mulin, Vania, Sasa, Ines, Delia, Flora, dan juga Tiara mengobrol santai dan bersenda gurau sembari mengemil camilan masing-masing. Tak ada beban, seakan masalah yang lalu tidak pernah mereka lewati.
Tiba-tiba, salah satu dari mereka mendapat ide. Kedua matanya melebar, kemudian tersenyum. "Nonton, yuk?" ajak cewek itu. Respons teman-temannya berbeda. Tentu, perempuan dengan laki-laki berbeda pendapat.
"Ayo, ayo, ayo."
"Mainstream amat ngajaknya nonton."
"Iya aja gue."
"Gak."
"Yang penting sih, fix aja."
"Bayarin."
"Iya, woi. Seru banget film-filmnya sekarang."
Suara mereka bertumpuk-tumpuk, sampai tidak jelas didengar si pengajak. "Apaan sih. Ngomong atu-atu napa," Vania mencibir. Yang laki-laki, menolak dengan alasan nggak ada yang seru. Justru, yang perempuan, membujuk dengan alasan sebaliknya. Mereka merayu, terus meminta hingga raut wajah malas si laki-laki berubah menjadi iya dah iya, berisik ah. Tiga lawan enam, kalah tiga. Ha!
Setelah tiba di hari-H, saat hari libur karena kelas sembilan sedang mengikuti Ujian Nasional. Tiara berhalangan hadir karena harus mengikuti latihan modern dance dadakan yang harus dihadirinya untuk lomba. Dengan alasan sama, Vania ikut-ikutan tidak datang ke tempat tujuan. Sedangkan Flora, harus ikut bersama saudaranya berlibur ke Malang.
Ines memandangi semua teman yang duduk satu meja dengannya, ngambek karena nggak semua orang bisa datang. "Nggak seru banget cuma segini," celetuk perempuan dengan rambut tergerai selengan——sudah dipotong beberapa waktu lalu, sembari bersandar pada kursi dan memutar-mutar ponsel dengan bosan. Mereka sedang berada di salah satu kedai es krim untuk menunggu film dimulai.
"Au," Sasa ikutan mengerutu kesal, menyendok es krim miliknya ganas setelah hening beberapa detik menyelimuti mereka.
Delia turut-menurut sebal, "Padahal Vania yang ngajak."
Mulin menghela. Cowok itu bosan dengan gerutuan cewek-cewek di depannya ini. Lagi pula, mereka sudah meminta maaf. Tidak perlu diungkit segala. "Berapa menit lagi, sih?" katanya mengalihkan pembicaraan.
"Sepuluh. Langsung ke sana aja, yuk," ajak Delia setelah melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Uzi berdiri disusul Bima, lalu Mulin. Terakhir, bunyi gesekan tiga bangku yang digeser ke belakang bersamaan—Ines, Sasa, dan Delia.
Tawaan terdengar dari mulut mereka masing-masing, juga dari pengunjung lainnya, menertawakan karakter dari film tersebut. Ketika sinema sudah berakhir, tawa mereka makin meledak kembali ketika menuju pintu exit, saat Bima jatuh di ujung anak tangga. Apalagi, tadi Mulin menyandungi kaki Bima hingga laki-laki bertubuh besar itu jatuh terduduk. Bima begitu gondok, hingga menghentakkan kakinya saat berjalan. Mereka mengatakan bahwa beberapa detik lagi akan terjadi gempa. Uzi, Mulin, Sasa, Ines, dan Delia malah tertawa makin keras alih-alih membela Bima.
Uzi mensejajarkan langkah agar setara dengan Bima. Kemudian menyeletuk masih dengan sisa tawa, "Waktu itu lo ngatain gue 'cowok macem apaan'. Lo sendiri, cowok macem apaan yang ngambek abis jatoh doang?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionKehidupan gadis SMP ini nggak senormal yang kalian pikir. Baru kali ini, Ines merasakan bagaimana rasanya ditinggal seorang ibu. Walaupun dia sudah terbiasa tanpa ayah, rasanya beda jika orang tersebut adalah ibu, wanita yang rela membesarkannya dar...