Ines sedang mengerjakan tugas Matematika saat ponselnya bergetar. Tanpa menghiraukannya, Ines tetap melanjutkan tugas hingga selesai. Kalau Mama sampai lihat Ines sempat memainkan ponsel, Mama bisa marah. Kemudian, Mama akan bilang Ines harus belajar. Kemudian—yah, kalian sudah mengerti.
Setelah ia selesai mengerjakan nomor terakhir, Ines membuka ponsel. Melihat notifnya, Ines agak heran. Dia memilih bertanya pada Nadira, entah apa yang mendorongnya membuka kontak cewek itu. Hanya insting.
Ines: Adcandra-01 sp?
❤Nadira❤: Abang2an gue
Ines: Gue nanyanya siapa gila bkn siapanya lo
❤Nadira❤: Rangga
Ines: Ooh. Adicandra y? Ok
❤Nadira❤: Yy
Setelah membaca pesan dari Nadira, ia kembali ke menu chat online. Invitation→ Adcandra-01→ Accept.
Karena Ines pikir ia mengenalnya—ya setidaknya Ines tahu dia. Jadi, ia terima saja. Lagi pula, Ines memang hanya menerima undangan dari orang-orang yang dikenal. Toh, buat apa memenuhi kontak dengan orang yang sama sekali tidak dikenal? Tambah, tak tahu bagaimana rupanya. Tidak berguna, menurut Ines pribadi.
Tidak lama, Rangga mengirimi Ines pesan. Sama sekali tidak ia hiraukan, Ines memilih membuka komik online, membaca komik yang belum sempat ia lanjutkan karena keburu disuruh Mama belajar.
-
Ines: Bukannya kita baru kenal?
Ines: Kok lo udh berani nembak gue.
"HAH?! Serius?"
"GILA."
"Mantep mamang."
Itulah kalimat yang dilontarkan Delia, Tiara, dan Flora setelah Ines menceritakan detailnya. Selagi mengetik balasan untuk Rangga. Sebelumnya, Flora menyarankan untuk menolak Rangga mentah-mentah. Justru, Ines menolak saran itu mentah-mentah karena masih mempunyai rasa kasihan.
Tiara, dia menyarankan untuk menerima Rangga. Dia bilang, Rangga mempunyai paras wajah yang lumayan tampan. Ayolah, Ines tidak semurahan itu!
Ines memilih saran dari Delia untuk mengetikan balasan seperti itu. Jauh lebih baik dari menolak mentah-mentah, bukan?
Ting!
Adcandra-01: Plisss
Ines: Lah tai
Ines: Lagian lo suka sm gue sejak kapan?
Tawa Ines seketika meledak setelah memeriksa pesan darinya, ternyata hanya dibaca oleh Rangga. Ketiga temannya melirik ponsel Ines, ikut tertawa.
Ada apa dengan Rangga?
•∞•
"Jangan, Kak. Berengsek namanya." Itu apa kata Mama setelah Ines curhat soal Rangga. Padahal, Mama belum tahu, kalau sebenarnya kelakuan Rangga itu setengah laki-laki dan setengah perempuan. Letoy, maksudnya.
"Dia benco—" Baru saja ingin mengatakan bahwa Rangga itu banci, nada dering tanda telpon masuk milik Mama berbunyi. Mendengar itu, perasaan tanpa nama kembali menggerayangi hati, dada, dan kepalanya. Ines menghela nafas keras, bersandar pada sofa, meraih remot, dan mematikan televisi. Menunda beberapa detik untuk kembali masuk ke kamar. Tipikal Ines setiap Mama mendapat telpon masuk.
Ines berbaring tengkurap di atas tempat tidur, kemudian membuka ponsel dan menjalankan aplikasi komunikasi berwarna hijau. Berderet notifikasi memenuhi aplikasi itu, kebanyakan dari akun resmi. Setelah menghapus semua yang tidak penting, Ines mengabsen satu-persatu pesan dari teman dan grup.
Flora Fels (3)
Ava Grup Mirip Nista [13] (532)
tiaralalita (2)
Anaknya Bu Rina [32] (45)
PMR [18] (23)
putri n (5)
Kak Aris (1)
Seperti yang sudah dia duga, Tiara dan Flora hanya ingin menyontek tugas Ines dengan meminta Ines memfotonya. Karena Ines teman yang baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung, Ines mengiyakan permintaan mereka. Putri menanyakan sesuatu berhubungan dengan acara Jumbara, sekaligus seleksi. Sementara isi ruang obrolan Kak Aris, hanya sebuah undangan LINE Let's Get Rich.
Ines melempar ponselnya ke samping, bosan. Setelah berguling ke sana-ke mari, ia tertidur pulas. Kedua kelopak matanya menutup, semua redup. Kegelapan itu tidak bertahan lama. Karena, hampir lima menit setelah sang mimpi memastikan Ines tertidur pulas, terang menyusul. Ruangan putih terlihat. Ruangan yang tidak nampak layaknya ruangan biasa. Ruangan itu tak terpandang di mana sudut dan sisinya. Hanya sisi yang Ines injak yang terasa.
Kemudian, mimpi mulai berjalan.
•∞•
Jam masih menunjukan pukul 00.55 dini hari saat mata Ines terbuka. Langsung menggeratak bantal untuk mencari ponsel. Kemudian, mengambil kabel charger di atas nakas karena baterainya tersisa seperempat persen.
Mimpi itu datang lagi. Aduh. Ines sungguh butuh kejelasan soal maksud mimpi itu. Ayolah, sudah berapa kali dia dapat mimpi yang sama persis? Apakah itu normal? Lagi, kenapa dadanya bergemuruh seperti ini?
Mungkin, Ines akan begadang karena setelah beberapa menit berusaha menutup mata, tidak juga berhasil. Dia melihat ke langit-langit kamar sembari berbaring, menerawang. Mengkhayal sesuatu yang—
Ah tunggu, suara pintu rumahnya diketuk beberapa kali. Terlalu malas, Ines mendiamkannya sejenak. Hingga ia tidak mendengar tanda-tanda Mama ingin membuka pintu, Ines baru beranjak. Baru ingin membuka panel pintu kamar dan menyambut siapapun itu yang datang malam-malam, sebuah pikiran melintas.
Jangan-jangan setan? Atau ... pocong? Biasanya 'kan, di film-film suka kayak gitu.
Saat itu pula, ia mendengar pintu kamar Mama terbuka. Niat untuk membukakan pintu akhirnya ia urungkan.
Barulah ketika ingin kembali naik ke ranjang, Ines menajamkan telinga. Mendengar obrolan singkat si tamu malam dengan Mama.
Seketika, cewek bermata hazel itu mematung di tempat. Rasanya, ia ingin telinganya tuli sekarang juga. Seharusnya, dia saja yang membuka pintu.
Kini, ia tahu maksud mimpi setiap malamnya. Dan, siapa dua pria itu.
Lagi, Ines tak hanya menjadi tahu apa arti mimpi tersebut. Karena ..., mimpi itu telah menjadi nyata.[]
-----
Status: Revisi
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Biru
Teen FictionKehidupan gadis SMP ini nggak senormal yang kalian pikir. Baru kali ini, Ines merasakan bagaimana rasanya ditinggal seorang ibu. Walaupun dia sudah terbiasa tanpa ayah, rasanya beda jika orang tersebut adalah ibu, wanita yang rela membesarkannya dar...