Part 13 - Mama Dibawa Pergi

360 21 0
                                    

     Kebimbangan mengiringi kegiatan Ines pagi ini. Dia memang sudah mengenakan seragam sekolah lengkap, namun melihat tubuh lemah Ali terbaring di atas ranjang di kamar Mama, membuat Ines mengurungkan niatnya seketika. Apakah dia harus masuk sekolah hari ini?

     Tidak. Siapa yang akan mengantarnya ke sekolah? Siapa yang akan menjaga Ali? Dan ... Ines masih penasaran mengapa Mama meninggalkan mereka.

     Melihat Ali tertidur pulas di atas tempat tidur Mama ..., membuat rasa kasihan Ines pada anak itu membuncah. Semalam, dia baru saja memeluk Mama sebelum tidur. Sekarang ..., rasanya mustahil untuk mewujudkan kebiasaan itu seperti semula. Semalam sebelum Mama menyuruh Ines dan Ali tidur, mereka bertiga baru saja bercanda bersama. Sekarang ..., Ines tidak yakin apakah menangis bersama bisa menggantikan bercanda bersama.

     Tentu saja tidak, bodoh, hatinya berbisik.

     Lagi, membayangkan Ali terbangun tanpa Mama di sisinya, menyebabkan hati Ines teriris. Mengkhayal ekspresi Ali ketika mengetahui Mama tidak akan ada bersamanya dalam jangka waktu yang tidak ditentukan ..., sungguh. Ines tidak akan kuat.

     Kembali ke apakah Ines jadi berangkat sekolah atau tidak. Jawabannya, bisa jadi. Karena, cewek itu bisa saja menumpang bus sekolah, serta menitipkan Ali ke Tante Sara seperti biasa. Tapi tentu, dia sangat penasaran apa yang sebenarnya terjadi semalam. Siapa tidak?

     Setelah beradu argumen dengan hati dan otak, akhirnya Ines memutuskan untuk tetap sekolah dan menitipkan Ali ke Tante Sara, sekaligus menceritakan apa yang terjadi semalam. Entah bagaimana caranya, Tante Sara dan Om Torim sudah mengetahui hal tersebut. Ines tidak memusingkan hal itu, karena sekelebat ingatan tentang ulangan harian Matematika tiba-tiba lewat di kepalanya.

     Sebagai siswi yang masih dianggap baik-baik oleh hampir seluruh guru, Ines panik. Kebetulan, Adit datang menanyakan apa yang terjadi sembari mengenakan kemeja sekolah. Kedua sudut bibir Ines tahu-tahu sudah tertarik lebar. Melihatnya, Adit rada terkejut, berpikir bahwa cewek ini punya rasa pada kakak sepupunya sendiri yang terpaut umur dua tahun. Saat itu pula, Tante Sara meminta Adit untuk mempercepat kegiatan, serta merelakan jok belakang motornya diduduki Ines hari ini dan seterusnya.

•∞•

     Ini sudah hari ke-tujuh. Mama belum pulang dan sama sekali tidak bisa dihubungi. Ines sudah mencoba mengirim pesan lewat sosial media, ataupun lewat pesan singkat. Sudah ditelpon berkali-kali pun, hasilnya nihil. Tidak ada jawaban sampai sekarang.

     Ines tahu, semua yang dia lakukan akan percuma. Ayolah, Ines hanya mencoba! Seharusnya usaha berbanding lurus dengan gaya dan—tentu saja—hasil. Untuk kasus ini, usaha sama dengan nol, meski sudah berabad-abad Ines berupaya.

     Ponsel berada dalam genggamannya kali ini, sembari berharap cemas. Sudah berkali-kali layarnya menunjukkan gambar yang sama. Sudah berulang kali pula, cewek itu menelpon ke nomor yang sama hari itu. Dengan jumlah yang sama, operator tetap sabar dan tidak bosan menjawab.

     "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.

     The number you're calling its not exist or out ofTUT."

     Ines menghusap wajahnya kasar. Matanya berpindah ke arah motor milik Mama yang terparkir di ruang tengah, nanar. Teralihkan oleh suara seseorang datang dari pintu, membawa senampan makanan untuk makan malam. "Udah, Kak. Tunggu kabar aja. Jangan terus-terusan kayak gini," ujar suara tersebut. Setelah melatakkan nampan ke atas meja di ruang tengah, Tante Sara menghampiri dan menghusap punggung Ines lembut. Ines juga tak paham mengapa dia sefrustasi ini. "Besok izin nggak masuk sekolah dulu, ya?"

Putih BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang