Epilog

527 22 0
                                    

     Seorang gadis enam belas tahun berjalan menyusuri koridor, menenteng sebuah buku tebal, dan satu setel baju seragam. Buku tersebut dibawa berhubungan dengan ekstrakulikuler yang ia ikuti. Bulir-bulir keringat bercucuran pada wajah dan leher. Rambut ikalnya diikat kucir kuda, menyisakan poni dan anak rambut pada bagian pelipis. Dia menuju loker bertuliskan nomor absen dan kelasnya, mengambil tas ransel dan hendak menaruh barang-barang tersebut ke dalam. Sekolah sudah sangat sepi, hanya menyisakan siswa-siswi pengikut ekstrakulikuler yang baru ingin pulang.

     Baru saja meletakkan dua benda itu ke dalam loker, namanya menggema di seluruh koridor lantai dasar. "INES!" pekik seorang cewek dari kejauhan, sembari melambaikan tangan dengan ceria. Dengan heran, cewek sebutan 'Ines' itu menoleh dengan kerut di dahi.

     Tidak hanya Ines. Setelah mendengar nama seseorang yang dikenalnya disebut, cowok dengan rambut cepak ikut menoleh.

     Ines bertanya seraya mengambil tas dari sana dan merapikan isi loker, "Loh, Jeje? Lo nggak pulang?"

     Yang ditanya berhenti berlari. Napasnya masih memburu, padahal dia hanya berlari beberapa meter saja. "Abis rapat. Udah dari tadi, sih. Tapi sekalian aja gue nunggu lo. Lagian, gue nggak ada temen pulang," jawab si Jeje. Kedua alisnya diangkat, seakan pertanyaan tersebut adalah pertanyaan terbodoh sedunia.

     Memutar mata, Ines membalas, "Yaelah, biasanya juga sendiri kalo gue ekskul." Dia menata buku-buku dalam loker sesuai ukuran dan pelajaran agar rapi. Yah, tanggung. Sudah sore, sekalian saja membereskan lokernya yang berantakan hampir persis seperti kamarnya.

     Sama sekali tidak menghiraukan, Jeje justru bertanya, "Capek banget, kayaknya. Lo abis praktek, ya?" Gadis itu sudah menjadi sahabat karib Ines semenjak masa OSPEK atau MOS, sampai mereka duduk di bangku kelas sebelas. Sudah menjadi rahasia umum mereka berdua, bahwa jika ada keringat pada wajah Ines, dipastikan cewek bermata hazel itu melakukan praktik pada ekskul minggu ini. Ines hanya menjawab dengan gumaman.

     Mereka berdua tidak sadar, kalau tidak jauh dari mereka bediri, laki-laki tadi memerhatikan mereka dengan seksama. Tadinya, cowok itu hanya perlu mengambil barangnya dari loker, tidak seharusnya dia menaruh loker di sana. Karena, dia tidak termasuk anak MIA dan loker ini adalah milik MIA atau IPA. Dia terlalu fokus mengamati gadis yang lebih pendek dari Jeje, sehingga tidak sadar dirinya menjadi topik perbincangan.

     "Eh, Nes. Lo tau gosip anak baru yang di kelas IPS nggak?" Jeje bertanya dengan binaran di mata.

     Tetap tidak menoleh, Ines menjawab dengan tangan yang masih sibuk menata loker. "Tau," katanya malas.

     Senyum Jeje semakin merekah. Kemudian, memberikan info dengan antusias, "Udah liat belom orangnya? Ganteng abis! Lo harus liat!"

     Laki-laki itu. Masih terpaku di tempat dengan tangan kanan menggantung pada pintu loker. Tidak percaya siapa yang baru saja dia lihat. Siapa yang baru saja dia temui.

     Ines melirik temannya sekilas, memutar bola mata dengan malas. Sudah biasa menghadapi sikap Jeje yang seperti ini. "Jadi ..., pacar lo itu mau dikemanain, Zerina Adzra Nafisha? Lo mah! Kebiasaan, deh, Rafa dilupain begitu." Begitulah nama temannya yang disapa Jeje oleh dirinya sendiri.

     Zerina membuka mulutnya hendak berbicara. Namun, menutupnya lagi setelah melihat orang yang sedang diperbincangkan, tengah berdiri tidak jauh dari mereka. Matanya melebar sejenak, kembali menetralkan wajah sebelum berbisik, "Ih, Ines! Gue serius! Lo liat ke kanan lo tuh, yang lagi bengong ngeliat ke arah sini." Sembari melirik sedikit ke arah yang dimaksud, dia mencolek pinggang Ines berkali-kali. Pun Ines akhirnya terpaksa menoleh setelah menutup pintu loker dan menepis tangan Zerina. "Gue lupa namanya, duh. Siapa ya, Nes?" Zerina bertanya-tanya.

     Gadis berseragam olahraga itu terpaku di tempat. Tubuhnya beku seketika. Ines dan laki-laki tersebut masih berhadapan dengan jarak empat meter, dengan rasa terkejut yang sama. Tambah lagi, sama-sama sempat merasakan bahwa jantungnya berhenti bekerja sekejap. Dia menghela napas pelan sebelum menjawab, "Uzi.

     "Uzi Edward."

Putih BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang