Part 4 - Terlalu Rajin

684 27 0
                                    

     Tidak seperti hari Senin lalu, Ines datang pagi hari ini. Terlalu pagi, bahkan matahari saja belum ingin menampakkan diri. Tugasnya pun belum mulai. Manusia di sekolah hanya penjual kantin dan beberapa murid yang terlalu rajin. Masih sangat amat sepi. Padahal, sekolah masih masuk pukul tujuh. Mama memang sangat tidak ingin terjebak macet sedikitpun pada pagi hari.

     Ralat ..., pagi buta.

     Tepat setelah Ines menaruh tasnya di atas kursi, seseorang menyeletuk dari depan kelas, "Hari ini kegiatannya kebersihan, kan ya?" Dia Zidan. Laki-laki yang termasuk kelompok terlalu rajin. Setiap hari membawa laptop. Bukan untuk tugas, tetapi bermain game. Sudah diperingati guru berkali-kali, Zidan tetep bersikeras dengan pendiriannya.

     Ines malas meladeni cowok itu sepagi ini. Tambah lagi, kejadian beberapa minggu lalu masih mengganggunya, terngiang di kepala. "Nggak tau," jawabnya singkat.

     Merasa dijuteki, Zidan mengalihkan pandangan dari laptop, memutar tubuh, menatap Ines heran. Bingung, apa salah dia sampai Ines selalu acuh tak acuh seperti itu.

     Sementara cewek berponi tersebut hanya menatapnya datar, mengangkat bahu sekilas. "Iya, kali." Setelah itu, Ines bangkit dari duduknya menuju pagar balkon. Jam segini biasanya Uzi udah dateng, pikirnya.

     Lampu kelas VIII-8 sudah menyala, berarti memang sudah ada yang datang—orang itu pasti termasuk kelompok terlalu rajin. Ines mengira kalau orang di dalam itu adalah Uzi. Karena, yah, Uzi juga termasuk manusia terlalu rajin.

     Benar saja, kecengan Ines tersebut keluar menuju pagar balkon yang berada tepat di depan kelasnya. Spontan, Ines mengalihkan pandangan ke lapangan, berusaha tidak peduli. Nyatanya, dia melirik Uzi lewat ujung mata. Cowok itu sedang meletakkan kedua tangannya ke atas pilar balkon—hal sama seperti yang Ines lakukan.

     Beberapa detik setelah Uzi melihat Ines yang sedang menatap lapangan—atau lebih tepatnya menatap gerbang berpura menunggu kehadiran tiga temannya. Dia menarik tubuh dari pagar balkon, kembali menuju kelas dengan wajah datar.

     Saat ini, yang biasa Ines salahkan adalah temannya-yang-selalu-mengikat-rambut-tinggi-tinggi atas perbuatan cewek itu, dengan lancang menyebarkan perasaan Ines tanpa dosa.

     Menyebarluaskan.

     Kalau saja saat itu Ines mengelak, apa Uzi akan tetap cuek? Dia tidak melawan gosip itu, atau hanya sekedar bilang tidak. Ines terlalu santai membiarkan berita itu mengalir begitu saja.

     Semenjak itu, orang-orang menatapnya dengan seringaian pada wajah. Kemudian menaikkan alis berkali-kali, dan mengatakan "Uzi, ya?" Bermaksud menggoda, berujung membuat Ines jengkel.

     Jangankan Ines, Uzi yang menjadi korban pergunjingan juga ikut dongkol.

     Ines terhentak dari lamunan begitu mendengar seseorang menyerukan namanya di koridor kelas delapan. Saat menoleh, ia mendapati Sasa tengah melambaikan tangan sembari berjinjit di balkon seberang, tempat Uzi sebelumnya. Ines tersenyum dan melambaikan balik tangannya. Cewek itu berjalan menuju kelas Ines.

     "Pendek sih lo, jinjit segala," sambut Ines saat Sasa sudah dekat.

     Ines menaruh dagunya di atas pilar balkon, memikirkan kembali perginya Uzi karena melihat kehadiran dirinya. Bagaimana ekspresi cowok itu sangat jahat di mata Ines.

     Sasa menepuk bahu sahabatnya. Ines terkekeh, membayangkan ekspresi cewek bermata lebar itu sekarang. "Tau, kok," umpatnya dengan bibir ditekuk. Selepas itu, Sasa menceritakan bagaimana seru ulangtahunnya kemarin. Serta, bagaimana kesal saat dia tahu bahwa ternyata, kacamata miliknya disembunyikan oleh teman-teman sekelas. Sesekali Ines menggumam dan terkekeh, agar Sasa mengerti bahwa Ines tetap mendengarkan.

     "Ines!" pekik seseorang sembari menepuk kedua bahu Ines. Reflek, cewek itu mengangkat dagu dari pilar dan meringis pelan. Di sana ada Flora memasang seringai lebar.

     Sasa pamit, kembali ke kelas sesaat setelah ada seseorang yang berteriak—ingin menyontek pekerjaan rumah Sasa. Ah, setiap pagi selalu saja banyak orang berteriak. Ines berjalan masuk ke kelas bersama Flora karena telinga mereka terlalu lelah mendengar teriakan manusia-manusia goa.

     Delia dan Tiara sudah datang. Mereka tengah berbincang, di tempat Delia dan Ines. Yang pasti—lagi-lagi—topiknya tidak jauh dari band atau drama Korea.

     Ines menarik kursi Bayu—laki-laki yang duduk di samping Flora—bermaksud duduk di sana. Baru saja Ines menghembuskan napas, begitu Pak Hardi mengumumkan kegiatan pagi di hari Jumat lewat speaker sekolah.

     "Pengumuman untuk seluruh siswa kelas VII, VIII, dan IX. Kegiatan pagi ini adalah Kebersihan. Sekali lagi, pengumuman untuk seluruh siswa kelas VII, VIII, dan IX. Kegiatan pagi ini adalah Kebersihan. Terimakasih."

     Ines melirik Zidan sekilas. Kini, cowok itu sedang menatapnya penuh kemenangan. Karena kala itu Ines tidak merasa sedang beradu argumen, jadi dia hanya membalas dengan tatapan datar. Kalau iya hari ini memang kegiatan kebersihan, lalu kenapa? Apa yang harus Ines lakukan? Kayang sambil menyapu kelas?

     "Baru juga duduk," dia menggerutu sembari beranjak dan menaiki kursi ke atas meja, saat itu juga Bayu datang dengan wajah polos dan menaruh tasnya asal di atas kursi. Mereka tergelak melihat wajah bantal Bayu sebelum melakukan hal yang sama. Kusut di mana-mana. Seperti wajah belum disetrika.

     Suara gedebak gedebuk terdengar bergantian, siswa maupun siswi kelas VIII-4 melakukan kegiatan yang sama agar lebih mudah menyapu debu di bawah meja. Baru saja Ines memenggenggam gagang sapu, berniat memulai kegiatan pagi, Tiara menahan lengan Ines. "Jangan nyapu, nanti kan kita piket."

     Ines mengangkat sebelah alis dan berpikir sejenak. Lalu mengiyakan ucapan negatif Tiara. (Berhubung pagi ini dia sedang malas melakukan apapun.)

     Setelah mengambil ponsel dari dalam tas, Ines keluar dari kelas bersama tiga temannya menuju koridor depan. Duduk di sana, bergabung bersama murid malas lain. Ines memiringkan tubuh ke arah teman-temannya, sebelum mulai menceritakan kejadian pagi tadi menyangkut Uzi.

     Mereka bertiga terbahak, dibalas dengan tatapan horor khas Ines. "Kok pada ketawa sih, ish," dia mendesis, mengalihkan pandangan ke gerombolan siswa yang duduk lesehan di samping pintu kelas, bergelut dengan ponsel masing-masing. Bermain game.

     Bagas kepergok sedang menatap Tiara saat Ines mengalihkan pandangan ke arahnya. Merasa diperhatikan, Bagas bertemu tatap dengan Ines, langsung diputuskan sendiri oleh cowok berambut gondrong itu. Bagas mengacak rambutnya asal, kembali bertekun dengan ponsel. Salah tingkah.

     Melihat itu, Ines memicingkan mata. Apa tingkah Bagas berhubungan dengan tulisan di kertas Senin lalu? Berarti, hampir pasti kalau huruf pertama di kertas itu adalah T. Artinya, Tiara. Tapi, baru tepergok sekali. Belum tentu Bagas menaruh rasa pada temannya itu.

     Teman Ines yang lain sibuk sendiri. Ada yang bermain ponsel, mengobrol, iseng mengorek ubin yang pecah, dan lain-lain. Tidak menampak Delia di mana pun, akhirnya Ines memutuskan untuk ikut bermain ponsel juga, menjalankan aplikasi kotak bewarna hijau.

     Padahal, Delia belum mendengar cerita mengenai Uzi tadi.

Putih BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang