Part 15 - Hayoloh Dipanggil BK

331 18 0
                                    

     "Ines dipanggil ke ruang BK sama Bu Eva."

     Setelah Bima mengatakan itu, satu kelas langsung heboh, memborbardir Ines dan Bima dengan berbagai pertanyaan. Memang begitulah kebiasaan para murid di SMP Nya. Hanya sekedar kepo, bukan peduli. Ines pula jarang membuat masalah, itu membuat mereka semakin heran. Bukan jarang, malah hampir tidak pernah.

     Suara Delia yang paling besar tedengar, bahkan sebelum Bima menutup mulut. "LAH KENAPA, BIM?"

     Cindy ikut-ikutan, "INES NGAPA?"

     "EH, BIM, BIM, JANGAN PERGI DULU!" Melihat gerak-gerik Bima terlihat ingin pergi, teman Cindy menahan pergerakan cowok itu.

     Si Bima lelah. Dia tahu dampak dari dimintai bantuan untuk memanggil seseorang ke ruang Bimbingan Konseling. "Nggak tau. Tadi gue lewat ruang BK cuma disuruh manggil," katanya malas. Baru saja ingin melengos pergi ketika dilihatnya Ines menghampiri. Tidak tampak panik atau gelisah ketika tahu dirinya dipanggil maut, sedang di ujung tanduk. Rasa kesalnya hilang tergantikan heran dengan sikap Ines, tidak seperti cewek-cewek lain yang akan belingsatan.

     Ines tahu apa maskud ekspresi Bima. Toh, dia berpikir dirinya sama sekali tidak mempunyai masalah dan berbuat onar di sekolah. "Boong lo," hardiknya ke Bima, hanya basa-basi.

     "Serius gue, disuruh manggil doang," ujar Bima masih keder. Satu sisi pengen nanya, tapi Ines nggak kelihatan berbuat apapun dan terlihat tidak ingin menjawab pertanyaan apapun. Sisi lain ingin kembali ke kelas, meski dipenuhi tanda tanya.

     Ines mengangguk dan mengucapkan terimakasih, kemudian berjalan menuju ruangan yang dimaksud Bima. Di sana sudah ada Bu Eva, duduk manis di mejanya. Serta, Bu Rina yang seperti biasa selalu ada di ruangan tersebut. (Walau sebenarnya ruangan beliau ada di ruang guru, bukan ruang BK.) Ines berasumsi guru BK lain sedang berpatroli keliling kelas, memeriksa kelas yang tidak ada guru.

     Ragu-ragu Ines mendekat setelah membuka pintu. Takut kalau ternyata Bima hanya menjahili dirinya seperti tahun lalu. "Bu Eva, ada apa ya Bima manggil saya ke sini?" tanyanya mencoba sopan.

     Bu Eva menyudahi kesibukannya dalam meninjau kertas berisikan siswa-siswi terlambat. "Ya, Ines," ujarnya sembari memberikan gestur menyuruh Ines duduk. "Ibu mau tanya, boleh? Maaf kalo kalo kamu tersinggung," tambah beliau lagi, membuat dada Ines memberat ketika mendengar kalimat terakhir.

     Ines mengulas senyum tipis sebagai formalitas, "Tanya apa, Bu?"

     "Tadi pagi Mama kamu nelepon Ibu, belum sempet ngomong apa-apa sambungannya udah putus. Semalam 'kan kamu sempat minta izin ngasih nomor hp Ibu ke Mama kamu, katanya," Bu Eva menjelaskan sebagai pembuka obrolan. Kemudian kembali pada poin, "Ada masalah apa, Nes?" Sebelum Ines sempat menjawab, Bu Eva kembali menambahkan, "Oh ya, kamu kenapa akhir-akhir ini melamun terus? Ibu lihat juga kamu jarang ngobrol ketawa-ketiwi sama temen-temen kamu."

     Deg.

     Segitu menonjolnya, kah?

     Teringat kejadian yang menimpa keluarganya, pandangan seorang Bu Eva yang sedang mengaitkan jari-jari tangannya di atas meja berubah. Langsung kabur menjadi selaput air, berteriak ingin keluar. Ines merutuki dirinya sendiri. Setiap ditanya soal Mama, kelenjar air mata selalu bereaksi.

     Sebelum air itu sempat menetes, dengan segera dia usap dengan punggung tangan. Ines mengalihkan pandangan sembarang, tidak mau Bu Eva melihatnya sedang menahan tangis hidup-hidupan.

     Tapi, terlambat. Khas beliau, mengambil sekotak tisu dari laci meja tanpa bicara apa-apa, disodorkan pada Ines. Ines pernah dengar ini dari bisik-bisik temannya yang pernah mengadu pada BK. Sebuah kode agar Ines mengambilnya untuk menyeka air mata. "Soal apa? Teman-teman kamu? Tapi Ibu liat kamu masih ngumpul walau nggak ikut ngobrol," Bu Eva kembali bersuara.

     Tidak ada jawaban, Ines masih diam. Labil untuk memutuskan apa yang lebih baik. Bercerita ..., atau berdusta? Otak bilang tidak baik memilih opsi kedua, sementara hati tidak ingin ditatap rasa kasihan. Ines pribadi, harus memilih di antara semua itu. Diam-diam mengharapkan pilihan ketiga. Mungkin berpura-pura kebelet boker? Beresiko akan dipanggil ke BK lagi karena urusannya belum selesai.

     Senyum tulus Bu Eva tersungging, beliau menambahkan, "Cerita aja sama Ibu. Mumpung ada Bu Rina tuh, wali kelas kamu, kan?" Malah membuat tangis Ines membuncah. Sedaritadi Bu Rina menyimak dari meja sebelah meja Bu Eva. (Yang tersusun rapi dan terdapat sebuah papan bertuliskan nama guru BK lain, di bawahnya terdapat NIP dan angka-angka.)

     Detik jam terdengar ke telinga Ines saking heningnya. Suara berisik kelas sebelah sayup-sayup terdengar karena pintu terbuka sedikit. Ines berujar, memilih opsi pertama daripada ketiga, "Mama ... dijebak." Sama orang berengsek yang katanya sayang sama Mama. Yang menjanjikan sebagian titipan sejumlah sepatu menjadi milik Mama. Yang tinggal di luar Indonesia. Yang kenal Mama dari media sosial. Si pelaku dari alasan Mama terjebak dalam jeruji besi, Ines menambahkan dalam hati. Mengepalkan kedua tangannya erat, menyalurkan rasa dendam pada tisu yang dia pegang.

     Kerutan pada dahi Bu Eva menandakan bahwa beliau tidak mengerti. Ines sengaja memberi jeda lama pada kelanjutan ceritanya, dia tahu tak lama Bu Eva akan paham. Terbukti. Raut wajah beliau kembali berubah dan manggut-manggut.

     Ines melanjutkan, "Saya juga nggak terlalu ngerti masalahnya, Bu. Yang saya tahu, Mama dititipin banyak pasang sepatu. Dan ternyata ...," Ines menggantung ucapannya, entah tegar atau tidak jika mengatakannya gamblang di depan Bu Eva. "... di dalamnya diselipin s—sabu."

     Seketika, Bu Rina bangkit dari tempat duduk menuju kursi yang Ines duduki di depan meja Bu Eva untuk menghusap punggung Ines, berusaha mengalirkan rasa tenang. Tatapan Bu Eva berubah menjadi keibaan. Jauh di dalam lubuk hati, Ines melaung ingin sekali cepat-cepat keluar dari ruangan tersebut. Tidak tahan ditatap dan diperlakukan seperti itu.

     Setelah Ines menceritakan ringkasan kejadian yang menimpa Mama, Bu Eva memberikan saran, masukan, dan motivasi layaknya guru BK biasanya. Mengatakan kalau dunia luar itu kejam, Ines harus berhati-hati agar tidak mendapat kejadian seperti Mama. Insiden Mama harus Ines jadikan pelajaran. Kemudian, Ines diperbolehkan keluar. Bel istirahat kedua berbunyi saat Ines menutup pintu ruang BK, berniat kembali ke kelas alih-alih turun ke lantai bawah.

     "Jangan cepat percaya sama orang ya, Ines," Bu Eva mengingatkan.

•∞•

     "LO DIAPAIN, NES?"

     "INES ADA MASALAH APAAN?"

     "KENAPA, NES?"

     Begitulah kira-kira teriakan dari teman-teman sekelasnya yang masih berada di dalam kelas. Tanpa repot-repot menjawab pertanyaan mereka, Ines menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum tipis. Hanya itu yang sanggup dia lemparkan. Kedua bola matanya masih merah, selepas mengeluarkan banyak air mata.

     Ternyata, ketiga temannya masih menunggu. Delia memerhatikan Ines intens setelah dia duduk di kursi dan mengambil botol minum dari dalam tas. "Lo abis nangis, Nes?" dia bertanya. Kentara sekali jika dilihat dari dekat, mata Ines benar-benar merah.

     "Emang lo ada masalah apaan?" pertanyaan Flora terkesan menyela karena tiba-tiba.

     Ines hanya menjawab pertanyaan mereka dengan gelengan kepala. Dusta. Tubuh Delia dicondongkan mendekat ke arahnya, berniat membisikan sesuatu, "Yang waktu itu, bukan?"

     Reflek, Ines menoleh setelah posisi duduk Delia kembali normal. Kok tau? tanyanya dalam hati. Sempat mengira kalau Delia mengadukan hal tersebut ke BK, namun segera dia tepis pikiran itu jauh-jauh. Tidak mungkin, mengingat Bu Eva menyinggung telepon Mama tadi pagi. Dan juga, Delia adalah temannya yang pandai menyimpan rahasia setelah Sasa. Anggukan kepala Ines menjadi jawaban atas pertanyaan dia.

     Ines tidak ikut Delia, Tiara, dan Flora turun ke lantai bawah. Lebih memilih duduk untuk terus bertafakur.

-----

Status: Revisi

Putih BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang